Tag: Self-Care

  • Meningkatkan Self-Love Lewat Olahraga

    Meningkatkan Self-Love Lewat Olahraga

    MANUNGSA— Kadang kita mikir self-love itu cukup dengan bilang “aku nerima diriku apa adanya.” Namun, kadang kita masih merasa insecure, bandingin diri sama orang lain, atau malah merasa ingin nyerah. Padahal, merawat tubuh juga bisa jadi cara kita buat nunjukin rasa sayang ke diri sendiri. Salah satu cara simpel tapi powerful buat nunjukin itu adalah olahraga.

    Olahraga sebagai Bentuk Self-Love

    Menurut ScienceDaily, penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Clinical Psychological Science menunjukkan bahwa orang yang mencintai dirinya sendiri cenderung terdorong untuk melakukan hal-hal positif. Salah satunya adalah menjaga kesehatan tubuh. Ketika seseorang merasa layak untuk dirawat, ia akan lebih mudah mengambil keputusan yang baik untuk dirinya sendiri termasuk rutin olahraga.

    Olahraga bukan cuma soal fisik. Saat tubuh aktif bergerak, otak ikut merespons dengan melepaskan hormon endorfin yang bisa bantu memperbaiki suasana hati. Dari situ, muncul perasaan tenang, bahagia, dan puas dengan diri sendiri.

    Berikan hadiah terbaik untuk tubuhmu. Tubuhmu layak mendapat yang terbaik. Coba mulai dengan rutin berolahraga, makan makanan bergizi seimbang, perbanyak minum air putih, dan cukup istirahat. Untuk menjaga tubuh tetap sehat, hindari juga rokok dan minuman beralkohol.

    Nggak Harus Berat, Mulai dari yang Ringan

    Masih banyak yang berfikir olahraga itu harus ribet dan berat. Padahal, olahraga ringan dan konsisten jauh lebih berguna daripada olahraga ekstrem yang cuma sesekali.

    Yoga group classes inside the gym

    Beberapa contoh olahraga ringan yang bisa kamu mulai dari sekarang:

    • Jalan kaki santai 15–30 menit tiap pagi atau sore. Bisa sambil mendengarkan musik, ajak teman, atau sekedar nikmati udara luar.
    • Stretching setelah bangun tidur atau sebelum tidur. Gerakan sederhana ini bisa bikin tubuh lebih rileks dan segar.
    • Yoga pemula, cocok buat kamu yang pengin gabungin gerakan fisik dan ketenangan pikiran. Bisa cari tutorial gratis di YouTube.
    • Zumba atau dance cardio buat yang suka gerak aktif. Selain sehat, olahraga ini bisa bantu kamu naik mood seharian.
    • Naik turun tangga, kalau nggak sempat keluar rumah. Lakukan 5–10 menit setiap hari.
    • Bersepeda santai, kalau ingin olahraga sambil menikmati suasana sekitar.

    Kuncinya bukan seberapa berat kamu olahraga, tapi seberapa rutin kamu melakukannya. Dengan olahraga, kamu nunjukin ke tubuhmu bahwa kamu peduli. Kamu ingin tubuhmu tetap kuat, sehat, dan bisa kamu andalkan. Dan itu adalah bentuk self-love yang paling nyata.

    Kamu nggak harus ikut standar siapa pun, cukup dengerin tubuh sendiri dan ajak untuk bergerak. Jadi, mulai sekarang, jangan tunggu mood atau motivasi datang. Ajak tubuhmu gerak, walau hanya sebentar. Karena kamu layak dicintai termasuk dengan dirimu sendiri.

    Baca Juga : Seni Berkata “Tidak” Untuk Seorang People Pleaser

  • Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

    Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

    MANUNGSA— Dunia yang berputar cepat dan penuh tuntutan kerap menganggap berhenti sejenak untuk merawat diri sebagai kelemahan, bahkan kemewahan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi “produkivitas” sebagai simbol nilai diri, self-care adalah tindakan yang egois. Padahal, self-care berarti memberi kita kesempatan untuk menjadi manusia sepenuhnya, bukan hanya orang yang terus bekerja.

    Self-Care Bukan Bentuk Egoisme

    Banyak yang masih menganggap bahwa perawatan diri (self-care) ada;ah tindakan egois, hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Namun, budaya produktivitas eksploitatif lah yang melahirkan asumsi ini—sebuah sistem yang hanya menganggap waktu, tenaga, dan tubuh manusia hanya bernilai ketika “berguna”.

    Audre Lorde, aktivis feminis kulit hitam, menantang konsep ini dengan menulis, “Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare” (Sister Outsider, 1988). Dengan kata lain, merawat diri adalah bentuk pertahanan terhadap sistem yang sering kali meniadakan nilai manusia di luar peran produktifnya.

    Sebuah studi yang diterbitkan oleh American Psychological Association (APA) bahkan menunjukkan bahwa tekanan untuk terus produktif dapat meningkatkan risiko burnout, depresi, dan isolasi sosial (APA, 2019). Oleh karena itu, memilih untuk beristirahat atau menetapkan batas waktu kerja tidak hanya penting secara pribadi, tetapi juga bentuk protes terhadap sistem kerja yang toxic.

    Budaya Toxic Productivity dan Ilusi Nilai Diri

    5 tanda toxic productivity

    Dunia kerja modern, khususnya di lingkungan urban dan digital, mengangkat kesibukan sebagai simbol prestise dan kompetensi. Semakin sibuk seseorang, semakin pula tinggi anggapan bahwa ia berharga. Namun, Dr. Devon Price psikolog sosial, meneyebut ini sebagai “produk dari kapitalisme yang mengondisikan kita untuk merasa bersalah jika tidak terus bekerja” (Price, 2021)

    Laporan Deloitte 2022 mengungkapkan bahwa milenial dan Gen Z kini menghadapi tingkat stres yang tinggi akibat tekanan untuk terus produktif, bahkan di luar jam kerja. Dalam hal ini, self-care bukan hanya pelepasaan sesaat, melainkan langkah menyelamatkan kesehatan mental jangka panjang.

    Aksi Self-Care yang Bisa Dilakukan

    Kita bisa memulai praktik self-care dari hal-hal sederhana sehari-hari. Seperti menolak pekerjaan tambahan saat tubuh lelah, mengambil waktu tanpa gadget, hingga tidur yang cukup. Walau tampak sederhana, tindakan-tindakan ini menyampaikan pesan bahwa manusia bukan mesin.

    Berbagai macam self-care

    Lebih jauh, ketika individu dalam satu komunitas saling mendukung praktik perawatan diri, dampaknya menjadi kolektif. Freelancer mengadvokasi kebijakan kerja fleksibel, sementara berbagai perusahaan mengampanyekan cuti haid dan kesehatan mental—keduanya merupakan contoh nyata bagaimana self-care menginspirasi perubahan struktural.

    Menyadari Hak Untuk Beristirahat

    Di tengah arus hustle culture yang membius, memilih untuk berhenti dan merawat diri bisa terasa seperti langkah mundur. Tetapi justru dalam diam dan istirahat itu, seseorang bisa memulihkan kesadarannya—bahwa hidup bukan tentang menjadi alat produksi tanpa henti.

    Merawat diri adalah pengingat bahwa kita manusia. Dan dalam dunia yang memuliakan kesibukan, menjaga kewarasan adalah tindakan paling berani.

    Baca juga: Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

    Referensi:

    • Audre Lorde. 1988. Sister Outsider: Essays and Speeches. Crossing Press.
    • American Psychological Association. 2019. Stress in America Report.
    • Dr. Devon Price. 2021. Laziness Does Not Exist. Simon & Schuster.
    • Deloitte. 2022. Deloitte’s Gen Z and Millennial Survey reveals two generations striving for balance and advocating for change.