Suara Perempuan dari Ruang Publik Masih Tak Aman
Masih Tak Aman di Jalan. Pagi hari yang cerah dan sejuk yang seharusnya membawa nuansa ketenangan berubah menjadi membawa nuansa yang tidak tenang lagi bagi para Perempuan khususnya. Seorang perempuan duga menjadi sasaran pelecehan saat berada di Jalan Simpang Ijen Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Korban yang awalnya sedang asyik bersepeda mengalami trauma usai kejadian yang menimpanya. Saat itu, korban yang seorang diri sedang bersepeda melintasi jalan tersebut dan saat yang bersamaan, ada pria tak dikenal mengendarai sepeda motor membuntuti korban dari belakang, pelaku naik sepeda motor mendekati korban untuk melakukan aksi pelecehannya yang membuat korban mengalami trauma dan ketakutan.
Pengalaman ini bukan kasus tunggal. Jutaan perempuan Indonesia menghadapi pelecehan seksual di ruang publik setiap hari, dari yang bersifat verbal hingga fisik. Ini bukan hanya persoalan kenyamanan, tetapi menyangkut hak perempuan atas rasa aman saat berada di luar rumah.
Meskipun berbagai kota di Indonesia tengah gencar melakukan modernisasi dan mendorong kesetaraan gender, ruang publik masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan. Berbagai tempat seperti transportasi umum, trotoar, jembatan penyeberangan, pusat perbelanjaan, hingga taman kota, masih sering menjadi lokasi terjadinya pelecehan seksual.
Aksinya pun beragam, mulai dari ucapan tidak senonoh, siulan, sentuhan tanpa persetujuan, hingga tindakan yang lebih serius seperti memperlihatkan alat kelamin secara sengaja dan upaya pemaksaan fisik. Komnas Perempuan mencatat bahwa laporan pelecehan di ruang publik terus meningkat, namun masih banyak korban yang memilih diam. Dalam laporan Catcalling Jakarta 2023, 7 dari 10 responden mengaku mengalami pelecehan jalanan, tetapi hanya 1 dari 10 yang pernah melapor kepada pihak berwenang.
Penyebab Utama Pelecehan Masih Marak
Masih Tak Aman di Jalan. Salah satu penyebab utama mengapa pelecehan masih marak adalah budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Banyak orang masih memandang perempuan sebagai objek, bukan subjek yang setara. Banyak orang menyalahkan korban karena menganggap meraka “mengundang” tindakan pelecehan melalui cara berpakaian atau perilaku. Padahal saya sedang memakai jaket dan celana longgar,” ujar Rani. Seorang mahasiswi di Bandung. “Itu bukan soal pakaian, tapi soal sikap dan kurangnya edukasi.”
Di sisi lain, pelaku sering merasa kebal hukum karena kurangnya penegakan aturan. Banyak perempuan yang akhirnya memilih bungkam karena takut akan stigma sosial atau pengalaman tidak menyenangkan saat melapor. Pemerintah memang telah melakukan beberapa upaya dalam menangani kasus kekerasan seksual. Pemerintah mengesahkan UU TPKS pada tahun 2022 untuk memberikan perlindungan kepada korban, termasuk mereka yang mengalami pelecehan diruang publik. Namun sayangnya, penerapannya di lapangan masih jauh dari kata ideal.
Banyak aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya belum dibekali pelatihan yang cukup dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender. Lala, seorang perempuan yang pernah mengalami pelecehan di bus kota, menceritakan pengalamannya saat mencoba melapor. Alih-alih mendapat perlindungan, ia justru mendapatkan serangkaian pertanyaan menyudutkan. “Saya malah ditanya kenapa pulang malam, kenapa naik bus, kenapa nggak naik ojek online. Rasanya kayak saya yang salah,” katanya dengan suara lirih.
Semangat Perempuan
Meski begitu, semangat untuk melawan tidak pernah padam. Sejumlah komunitas dan gerakan sosial kini aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan. Nama-nama seperti Hollaback! Jakarta, Perempuan Mahardhika, hingga Jakarta Feminist tak asing lagi dalam berbagai kampanye online, edukasi publik, hingga pelaporan pelecehan secara kolektif. Selain itu, perkembangan teknologi juga dimanfaatkan sebagai alat perjuangan. Aplikasi seperti Safecity serta fitur pelaporan pelecehan di layanan transportasi daring memungkinkan korban untuk mencatat dan menyuarakan kejadian yang mereka alami. Media sosial pun kini menjadi ruang alternatif yang memberdayakan perempuan untuk berbagi pengalaman dan saling menguatkan.
Masalah pelecehan di ruang publik bukan hanya persoalan hukum atau keamanan, tapi juga menyangkut desain kota yang ramah perempuan. Penerangan jalan, kamera pengawas, transportasi aman, hingga pelatihan sopir dan petugas publik harus menjadi bagian dari solusi jangka panjang. Pendidikan juga memegang peran penting, tanpa mengubah pola pikir masyarakat sejak dini tentang kesetaraan gender, penghargaan terhadap tubuh orang lain, dan pentingnya persetujuan maka pelecehan akan terus berulang lintas generasi.
Bagi kebanyakan Perempuan esok pagi mungkin tak banyak berbeda akan tetapi tetap harus berjalan, tetap waspada, dan tetap berharap tidak mengalami pelecehan. Tapi dengan semakin banyak suara perempuan yang bersuara, dan solidaritas yang dibangun hari demi hari, harapan untuk ruang publik yang lebih aman dan manusiawi terus menyala. Karena berjalan kaki maupun bersepeda seharusnya menjadi aktivitas yang menguntungkan bukan malah merugikan.