Tag: Perempuan

  • Langkah Bersama: Komunitas Girls on Path Malang

    Langkah Bersama: Komunitas Girls on Path Malang

    MANUNGSA – Puluhan perempuan di Malang melangkah bersama lewat komunitas Girls on Path. Mereka berlari, saling menyemangati, dan menunjukkan bahwa hidup sehat bisa dimulai dari langkah kecil.

    Setiap Minggu pagi di Kota Malang, puluhan perempuan berkumpul di satu titik, mengenakan pakaian olahraga, tersenyum hangat, dan siap berlari. Mereka bukan atlet profesional, bukan pula peserta lomba. Mereka adalah bagian dari komunitas ‘Girls on Path’, sebuah gerakan perempuan yang tidak hanya mengusung semangat hidup sehat, tetapi juga mendorong perempuan untuk berdaya dan saling mendukung. Semua itu mereka wujudkan lewat satu langkah sederhana, yaitu berlari bersama.

    Komunitas ini lahir dari keresahan sekaligus harapan. Banyak perempuan ingin mulai hidup sehat, tapi merasa sendirian. Ada yang takut dipandang aneh saat lari sendirian di jalan, ada yang bingung harus mulai dari mana, dan tak sedikit pula yang kehilangan motivasi karena lingkungan tak mendukung.

    Tempat Aman dan Nyaman untuk Bergerak

    “Awalnya saya cuma ingin punya teman lari,” ungkap Fani, salah satu pendiri Girls on Path Malang. “Tapi lama-lama saya sadar, ternyata banyak perempuan punya keresahan yang sama.”

    Dari situ, mereka mulai mengajak orang terdekat untuk lari bareng. Tidak ada target jarak, tidak ada tekanan, yang penting bergerak. Semakin hari, jumlah peserta bertambah. Mereka mulai rutin mengadakan sesi lari mingguan, berbagi tips kesehatan, bahkan mengundang narasumber untuk ngobrol soal isu perempuan dan kesehatan mental.

    Girls on Path bukan sekadar komunitas olahraga. Girls on Path membuat ruang aman yang memungkinkan perempuan menjadi diri sendiri tanpa takut dibandingkan, atau dituntut sempurna. Setiap langkah yang mereka ambil bersama adalah bentuk dukungan satu sama lain.

    Lebih dari Sekadar Lari

    Bagi banyak anggota, Girls on Path memberi dampak lebih dari sekadar kesehatan fisik. Lari menjadi jembatan untuk mengenal diri sendiri, memperluas pertemanan, dan membangun kepercayaan diri.

    Mereka percaya bahwa olahraga bukan hanya tentang menurunkan berat badan atau mengejar standar kecantikan. Bagi mereka, olahraga adalah bentuk merawat tubuh, mencintai diri sendiri, dan bersyukur atas kesehatan. Yang membuat Girls on Path istimewa adalah suasana kebersamaannya. Tidak ada hierarki, tidak ada keharusan, tidak ada kompetisi. Semua perempuan, dari berbagai latar belakang, usia, dan kondisi fisik, diterima dengan hangat.

    Selain itu, mereka juga aktif di media sosial dengan membagikan cerita para anggota, jadwal kegiatan, serta edukasi seputar hidup sehat dan isu perempuan. Tak hanya itu, kegiatan mereka mencakup lari santai, yoga outdoor, diskusi komunitas, hingga kampanye kesadaran mental health.

    Mendorong Perempuan untuk Bergerak

    Tujuan besar Girls on Path adalah mendorong lebih banyak perempuan untuk mulai bergerak, secara harfiah maupun makna yang lebih dalam. Bergerak melawan rasa takut, bergerak keluar dari zona nyaman, bergerak menuju kehidupan yang lebih sehat dan bahagia.

    Komunitas ini juga terbuka untuk siapa saja. Tidak harus punya pengalaman lari, tidak harus berbadan atletis. Yang dibutuhkan hanya niat dan keberanian untuk memulai. Girls on Path Malang perlahan tumbuh menjadi inspirasi. Beberapa kota mulai mengikuti jejak mereka, membentuk komunitas serupa dengan semangat yang sama seperti membangun perempuan lewat olahraga dan kebersamaan.

    Dari sekadar lari pagi, tumbuh solidaritas, kepedulian, dan semangat untuk hidup lebih sehat secara fisik maupun emosional. Melalui Girls on Path, perempuan Malang membuktikan bahwa kekuatan bisa tumbuh dari kebersamaan. Bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, bisa menjadi awal dari perubahan besar.

    Baca juga: Dr. Tirta: Olahraga sebagai Wujud Syukur atas Kesehatan

  • Dibalik Kesuksesan Seminar Kampung 3 Balai Dusun Busu

    Dibalik Kesuksesan Seminar Kampung 3 Balai Dusun Busu

    Perempuan dan Peradaban

    Sayangnya, sejarah sering mencatat nama laki-laki lebih banyak. Padahal, perempuan juga bekerja keras di balik layar. Mereka mendidik generasi penerus, menjaga perdamaian, dan ikut menciptakan kehidupan yang lebih baik. Sekarang, perempuan terus memperkuat peran mereka di berbagai bidang. Mereka menjadi pemimpin, guru, dokter, peneliti, hingga pengusaha. Perempuan membawa pandangan baru yang lebih adil dan menyeluruh. Kehadiran mereka membantu menciptakan masyarakat yang lebih seimbang dan manusiawi.

    Maka dari itu, terbentuklah seminar kampung yang ke-3 kali nya di Balai Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Semina ini terbentuk dengan maksud untuk membangun semangat dan edukasi masyarakat terkhususnya perempuan di Dusun Busu. Panitia telah menyelenggarakan seminar kampung sebanyak tiga kali. Panitia menyelenggarakan seminar kampung pertama pada tahun 2020 dengan mengangkat tema ‘Wanita dan Karir’. Kemudian pada tahun 2023 dengan tema “Pemuda Pemudi Kreatif”, dan seminar kampus yang ketiga ini yang mengambil tema “Perempuan dan Peradaban”.

    Seminar kampung yang ke-3 ini sedikit berbeda dan istimewa.Siswa tingkat akhir jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) biasanya mengambil peran sebagai panitia setiap kali seminar kampung diselenggarakan. Namun berbeda, untuk seminar kali ini justru panitianya adalah siswa tingkat Sekolah Menengah Pertama bahkan ada yang masih Sekolah Dasar yang seharusnya belum saatnya memegang event dalam bentuk seminar.

    Tema kali ini yaitu “Perempuan dan Peradaban” yang tentunya untuk menjunjung tinggi lebih perempuan Indonesia khususnya perempuan Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Para lelaki di sana telah membentuk wadah mereka sendiri, seperti karang taruna, grup seni budaya, dan berbagai komunitas lainnya.

    Awal Mula Seminar Kampung

    Tujuan diadakannya seminar kampung ini untuk membentuk mentalitas, kemandirian, dan tentunya kreativitas anak-anak Dusun Busu. Seminar kampung ini awalnya hanya sebuah candaan yang memang juga di rencanakan.

    Seminar kampung ini sebenarnya hanya kelas di gubug. Kelas event pertama ditujukan untuk perempuan tingkat Sekolah Dasar (SD), yang telah diajarkan cara membuat event sederhana seperti halaman atar latar. Mereka juga sudah mampu membentuk kepanitiaan sendiri di lingkungan mereka, serta menyelenggarakan kegiatan seperti outbound mini dan lomba-lomba kecil lainnya.

    Di kelas event kedua, siswa SMP belajar langsung mengorganisasi event di tingkat gang. Mereka belajar menyusun proposal, membuat surat-menyurat, serta mengurus perizinan acara yang mencakup lingkup Rukun Warga (RW).

    Event ketiga atau yang terakhir yaitu kelas event besar dari anak Sekolah Menengah Akhir (SMA). Tugasnya melaksanakan acara besar di kampung halaman sepeti seminar kampung ini.

    Sebuah Kebanggan

    Seminar kampung yang ke-3 kali ini seharusnya dilaksanakan oleh siswa SMA. Namun, secara mengejutkan, siswa SMP justru mengambil alih tanggung jawab tersebut dan berhasil menyelenggarakan seminar berskala kampung. Mereka bahkan menabung selama satu tahun dengan menyisihkan uang jajan, hingga berhasil mengumpulkan dana sebesar satu juta delapan ratus ribu rupiah demi terlaksananya seminar ini. Dengan rasa bangga dan campur aduk, Pakde Abid Hunter ini penuh haru dan semangat yang membara.

    “Saya berharap ada support untuk Dusun Busu, seperti support sarana proyektor, sound system, dari orang yang peduli. Dan untuk anak-anak saya yakin meraka sudah memiliki tekad tersendiri dari hati mereka.” Kata Khusnadi Abid atau kerap dipanggil dengan sebutan Pakde Abid Hunter.

    Kita perlu mengakui bahwa perempuan bukan pelengkap, tapi bagian penting dari setiap langkah kemajuan. Mereka tidak hanya membentuk keluarga, tetapi juga ikut membentuk dunia. Dengan memberi kesempatan yang sama, kita bisa membangun peradaban yang lebih kuat dan adil. Karena di balik setiap bangsa yang maju, ada perempuan yang bekerja dengan hati dan penuh semangat.

    Baca juga: Fourtwnty dan “Mangu” Sukses Mendunia

  • Masih Tak Aman di Jalan: Suara Perempuan dari Ruang Publik

    Masih Tak Aman di Jalan: Suara Perempuan dari Ruang Publik

    Suara Perempuan dari Ruang Publik Masih Tak Aman

    Masih Tak Aman di Jalan. Pagi hari yang cerah dan sejuk yang seharusnya membawa nuansa ketenangan berubah menjadi membawa nuansa yang tidak tenang lagi bagi para Perempuan khususnya. Seorang perempuan duga menjadi sasaran pelecehan saat berada di Jalan Simpang Ijen Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Korban yang awalnya sedang asyik bersepeda mengalami trauma usai kejadian yang menimpanya. Saat itu, korban yang seorang diri sedang bersepeda melintasi jalan tersebut dan saat yang bersamaan, ada pria tak dikenal mengendarai sepeda motor membuntuti korban dari belakang, pelaku naik sepeda motor mendekati korban untuk melakukan aksi pelecehannya yang membuat korban mengalami trauma dan ketakutan.


    Pengalaman ini bukan kasus tunggal. Jutaan perempuan Indonesia menghadapi pelecehan seksual di ruang publik setiap hari, dari yang bersifat verbal hingga fisik. Ini bukan hanya persoalan kenyamanan, tetapi menyangkut hak perempuan atas rasa aman saat berada di luar rumah.


    Meskipun berbagai kota di Indonesia tengah gencar melakukan modernisasi dan mendorong kesetaraan gender, ruang publik masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan. Berbagai tempat seperti transportasi umum, trotoar, jembatan penyeberangan, pusat perbelanjaan, hingga taman kota, masih sering menjadi lokasi terjadinya pelecehan seksual.

    Aksinya pun beragam, mulai dari ucapan tidak senonoh, siulan, sentuhan tanpa persetujuan, hingga tindakan yang lebih serius seperti memperlihatkan alat kelamin secara sengaja dan upaya pemaksaan fisik. Komnas Perempuan mencatat bahwa laporan pelecehan di ruang publik terus meningkat, namun masih banyak korban yang memilih diam. Dalam laporan Catcalling Jakarta 2023, 7 dari 10 responden mengaku mengalami pelecehan jalanan, tetapi hanya 1 dari 10 yang pernah melapor kepada pihak berwenang.

    Penyebab Utama Pelecehan Masih Marak


    Masih Tak Aman di Jalan. Salah satu penyebab utama mengapa pelecehan masih marak adalah budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Banyak orang masih memandang perempuan sebagai objek, bukan subjek yang setara. Banyak orang menyalahkan korban karena menganggap meraka “mengundang” tindakan pelecehan melalui cara berpakaian atau perilaku. Padahal saya sedang memakai jaket dan celana longgar,” ujar Rani. Seorang mahasiswi di Bandung. “Itu bukan soal pakaian, tapi soal sikap dan kurangnya edukasi.”


    Di sisi lain, pelaku sering merasa kebal hukum karena kurangnya penegakan aturan. Banyak perempuan yang akhirnya memilih bungkam karena takut akan stigma sosial atau pengalaman tidak menyenangkan saat melapor. Pemerintah memang telah melakukan beberapa upaya dalam menangani kasus kekerasan seksual. Pemerintah mengesahkan UU TPKS pada tahun 2022 untuk memberikan perlindungan kepada korban, termasuk mereka yang mengalami pelecehan diruang publik. Namun sayangnya, penerapannya di lapangan masih jauh dari kata ideal.

    Banyak aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya belum dibekali pelatihan yang cukup dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender. Lala, seorang perempuan yang pernah mengalami pelecehan di bus kota, menceritakan pengalamannya saat mencoba melapor. Alih-alih mendapat perlindungan, ia justru mendapatkan serangkaian pertanyaan menyudutkan. “Saya malah ditanya kenapa pulang malam, kenapa naik bus, kenapa nggak naik ojek online. Rasanya kayak saya yang salah,” katanya dengan suara lirih.

    Semangat Perempuan


    Meski begitu, semangat untuk melawan tidak pernah padam. Sejumlah komunitas dan gerakan sosial kini aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan. Nama-nama seperti Hollaback! Jakarta, Perempuan Mahardhika, hingga Jakarta Feminist tak asing lagi dalam berbagai kampanye online, edukasi publik, hingga pelaporan pelecehan secara kolektif. Selain itu, perkembangan teknologi juga dimanfaatkan sebagai alat perjuangan. Aplikasi seperti Safecity serta fitur pelaporan pelecehan di layanan transportasi daring memungkinkan korban untuk mencatat dan menyuarakan kejadian yang mereka alami. Media sosial pun kini menjadi ruang alternatif yang memberdayakan perempuan untuk berbagi pengalaman dan saling menguatkan.


    Masalah pelecehan di ruang publik bukan hanya persoalan hukum atau keamanan, tapi juga menyangkut desain kota yang ramah perempuan. Penerangan jalan, kamera pengawas, transportasi aman, hingga pelatihan sopir dan petugas publik harus menjadi bagian dari solusi jangka panjang. Pendidikan juga memegang peran penting, tanpa mengubah pola pikir masyarakat sejak dini tentang kesetaraan gender, penghargaan terhadap tubuh orang lain, dan pentingnya persetujuan maka pelecehan akan terus berulang lintas generasi.

    Bagi kebanyakan Perempuan esok pagi mungkin tak banyak berbeda akan tetapi tetap harus berjalan, tetap waspada, dan tetap berharap tidak mengalami pelecehan. Tapi dengan semakin banyak suara perempuan yang bersuara, dan solidaritas yang dibangun hari demi hari, harapan untuk ruang publik yang lebih aman dan manusiawi terus menyala. Karena berjalan kaki maupun bersepeda seharusnya menjadi aktivitas yang menguntungkan bukan malah merugikan.

    Baca juga: Micro-Activism In Action: Mengapa Suara Generasi Muda Seperti Melati dan Isabel Wijsen Penting dalam Perubahan Sosial?

  • RBC Institute A. Malik Fadjar Soroti Bias Gender dalam Pendidikan Lewat Diskusi Bersama Kalis Mardiasih

    RBC Institute A. Malik Fadjar Soroti Bias Gender dalam Pendidikan Lewat Diskusi Bersama Kalis Mardiasih

    Malang, 24 Maret — Ruang Baca Cerdas (RBC) Institue A. Malik Fadjar memperkuat posisinya sebagai ruang intelektual kritis dengan menggelar diskusi bertajuk “Ruang Gagasan: Menyoal Pendidikan Perempuan” bersama penulis dan aktivis Kalis Mardiasih, Kamis (24/4). Bertempat di Ruko Permata Jingga, Lowokwaru, Malang, forum ini tidak hanya membedah buku “Esok Jilbab kita Dirayakan”, tetapi juga menegaskan komitmen RBC Insitute A. Malik Fadjar terhadap isu kesetaraan dan pembebasan pendidikan dari bias struktural.

    Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar, Subhan Setowara, menyatakan bahwa forum ini dirancang sebagai respons atas pentingnya ruang diskusi kritis, serta berharap agar kegiatan ini dapat memperluas kesadaran kolektif mengenai pentingnya pendidikan perempuan sebagai pilar pembangunan bangsa. “

    Diskusi ini merupakan bagian dari inisiatif Ruang Gagasan, program rutin yang digagas oleh RBC Institue A. Malik Fadjar untuk mempertemukan masyarakat luas dengan isu-isu penting dalam ruang yang inklusif, terbuka, juga reflektif. Melalui forum ini, RBC berharap dapat terus mendorong diskursus yang membumi dan membebaskan.

    Kehadiran Kalis Mardiasih, aktivis sekaligus penulis buku yang dibahas, menjadi penegasan terhadap agenda RBC dalam mengadvokasi kesadaran kritis. Dalam paparannya, Kalis mengangkat beragam tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia pendidikan, mulai dari stereotip gender, pengalaman biologis, hingga pilihan hidup perempuan.

    “Sistem pendidikan kita masih bias kelas dan bias gender,” tegas Kalis. Ia membeberkan berbagai bentuk marginalisasi perempuan: mulai dari pengorbanan cita-cita pribadi, tekanan sosial yang membelenggu, hingga peminggiran sistematis di bidang-bidang yang secara stereotip dilabeli sebagai ‘”domain laki-laki”.

    Diskusi ini mencerminkan visi RBC Institute A. Malik Fadjar untuk tidak hanya menjadi ruang baca, melainkan ruang berpikir. Dengan menyoroti jilbab sebagai simbol yang sarat akan makna politik dan sosial, diskusi ini membuka ruang bagi pembacaan yang lebih dalam terhadap pendidikan perempuan, bukan semata soal akses, melainkan soal kuasa, narasi, dan juga struktur.

    Acara diskusi ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang berlangsung secara dinamis. Mempertemukan berbagai pandangan tentang agama, budaya, dan pendidikan dalam lanskap Indonesia hari ini. Diskusi ini membuktikan bahwa RBC Institue A. Malik Fadjar terus berupaya menjadi ruang yang membuka kemungkinan untuk bertanya, berdiskusi, dan berpikir ulang tentang sistem pendidikan kita.