MANUNGSA— Di tengah derasnya arus digital dan derasnya informasi, berdirilah Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute Abdul Malik Fadjar. Lebih dari sekedar perpustakaan, tempat ini adalah warisan hidup dari seorang tokoh pendidikan nasional yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa. Abdul Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan, merintis RBC sebagai pusat pemikiran progresif, tempat generasi muda dapat tumbuh melalui literasi, dan diskusi. Meski ia telah tiada, jejak pemikirannya tetap mengalir dalam setiap halaman buku dan percakapan yang tercipta di sana.
Latar Belakang A. Malik Fadjar
Abdul Malik Fadjar bukanlah nama yang asing dalam peta pendidikan nasional. Pria kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk dunia pendidikan dan dakwah Islam modern. Sejak awal karirnya sebagai guru dan dosen, ia tidak hanya mengajar, tetapi juga aktif mengembangkan institusi pendidikan, terutama di lingkungan Muhammadiyah.
Keteladanannya membuat ia dipercaya menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama dua periode (2005-2015), posisi yang memperkuat komitmennya terhadap pengembangan pendidikan Islam yang berkemajuan. Tidak hanya itu, pada 1995 ia diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan pada 2001 A. Malik Fadjar menerima gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kontribusinya terhadap pendidikan Islam.
Lahirnya Rumah Baca Cerdas
Ketika sebagian orang mempersiapkan masa pensiun dengan beristirahat, Malik Fadjar justru memulai satu babak penting lainnya, yaitu membangun pusat literasi. Pada 30 November 2005, RBC resmi berdiri di rumah peninggalan pribadinya di Malang. Ia bermimpi menciptakan tempat belajar yang hidup, yang tidak sekadar menyimpan buku, tapi juga menghidupkan dialog, perdebatan, dan gagasan.
Sebagian besar koleksi buku di RBC berasal dari perpustakaan pribadi Malik Fadjar. Ia berharap agar buku-buku itu tidak hanya menjadi isi rak, melainkan menjembatani pengetahuan bagi generasi baru. RBC dilengkapi dengan ruang diskusi yang nyaman dan cafe, karena baginya, diskusi paling berkesan selalu terjadi saat minum kopi.
Dari Rumah Baca menjadi Institut
Meski aktivitas di RBC sudah berjalan sejak 2005, baru pada 2020 institusi ini secara resmi menjadi RBC Institute Abdul Malik Fadjar. Transformasi ini mengubah banyak hal. RBC kini memiliki struktur organisasi yang lebih sistematis, termasuk posisi Direktur Eksekutif, dan menjalin kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sebagai mitra operasional utama.
Perubahan ini juga menandai semakin beragamnya kegiatan RBC. Selain diskusi bulanan dan program literasi, mereka menjalankan riset, publikasi, dan menerbitkan buku. Salah satu program inovatifnya adalah Mobil Terbang—sebuah upaya membawa buku dan diskusi ke sekolah-sekolah. Dengan semangat keberlanjutan, RBC tidak hanya menjadi tempat membaca, tetapi juga ekosistem pembelajaran yang merangkul pemikiran sosial-keagamaan secara progresif. Semua itu tetap setia pada visi awal sang pendiri: menjadikan ilmu sebagai alat membebaskan, bukan membatasi.
Kini, walau Malik Fadjar telah tiada, semangatnya tetap hidup di setiap aktivitas RBC. Anak-anak muda, aktivis, dan masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul di sana—membaca, berdiskusi, dan membentuk gagasan baru. Setiap lembar buku yang dibuka, setiap kata yang diperdebatkan, menjadi bukti bahwa warisan pemikiran tidak pernah benar-benar berakhir.
Tidak heran bila banyak pihak menganggap RBC sebagai bentuk konkret dari gagasan “pendidikan yang membebaskan.” Bukan hanya ruang baca, melainkan pusat pertumbuhan intelektual yang mendewasakan siapa pun yang bersedia membuka pikirannya.
Baca juga: B.J. Habibie: Kasih, Teknologi, dan Dedikasi Tanpa Batas