Tag: Lisoi To The World

  • Dari Lembah Sumatra ke Panggung Dunia: Lagu Daerah Jadi Nama Kopi Internasional

    Dari Lembah Sumatra ke Panggung Dunia: Lagu Daerah Jadi Nama Kopi Internasional

    Di pagi yang sejuk di kawasan Pegunungan Bukit Barisan, tercium harumnya kopi arabika dari dapur-dapur sederhana milik penduduk Desa Lintong Nihuta. Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Sementara, warga sibuk dengan aktivitas sehari-hari yang bergantung pada perkebunan kopi. Terdengar nyanyian lagu tradisional Batak “Lisoi” dari seorang petani yang sedang mengeringkan biji kopi. Lagu tersebut bukan sekedar penghibur, tetapi merupakan representasi jati diri, kenangan bersama, dan kini menjadi sumber inspirasi yang mengangkat nama kopi ke lagu daerah menjadi nama kopi internasional world of coffee 2025.

    Kopi sebagai Warisan Budaya

    Indonesia terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbesar dunia, dengan Sumatra menjadi salah satu daerah produksi utamanya. Kopi Lintong yang ditanam pada ketinggian 1.000-1.400 meter, memiliki karakteristik rasa tanah yang khas dengan nuansa herbal dan tingkat keasaman yang halus. Selain cita rasanya yang istimewa, terdapat aspek budaya yang sering terabaikan. Yaitu kebiasaan bernyanyi dan mendongeng di kebun yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh para petani Batak.

    Hal inilah yang menginspirasi kelompok kreatif dan pengekspor kopi dalam negeri. Rasa Nusantara, untuk menciptakan proyek istimewa menjelang acara World of Coffee 2025 di Copenhagen, Denmark. Mereka memperkenalkan produk kopi khusus dengan nama “Lisoi”, merujuk pada lagu tradisional Batak yang sarat dengan semangat dan persatuan. Menurut Elina Pardede, pemilik Rasa Nusantara, penamaan ini bukan hanya taktik promosi, namun bentuk penghargaan terhadap warisan budaya daerah asal kopi.

    “Keinginan kami adalah memperkenalkan kepada dunia bahwa kopi Indonesia tidak hanya tentang cita rasa, tetapi juga kisah di baliknya,” katanya dalam wawancara telepon. “Nama ‘Lisoi’ mencerminkan jiwa perayaan dan persaudaraan, yang sangat mencerminkan prinsip yang kami tanamkan dalam setiap butir kopi yang kami kirim ke luar negeri.”

    Dari Tradisi ke Global Stage

    Inisiatif “Lisoi” bukan hanya tentang mengganti nama produk, melainkan kerja sama menyeluruh dengan para petani, seniman daerah, dan ahli budaya. Salah satu kontributor utamanya adalah Pak Martua Sihotang (53), petani kopi generasi kedua yang kini berperan sebagai penasihat budaya untuk tim pemasaran kopi tersebut. Dia berbagi pengalaman tentang bagaimana nyanyian tradisional selalu menjadi bagian dari kegiatan bertani, dari masa tanam sampai musim panen.

    “Sewaktu masih kecil, para tetua mendendangkan lagu Batak saat memetik kopi. Hal itu membuat kerja terasa lebih mudah,” ujarnya. “Saya tidak pernah membayangkan lagu yang sering saya dengar akan menjadi nama kopi yang menemani masyarakat Eropa.”

    Menurut Martua, menjaga kelestarian budaya setempat tidak bisa bergantung hanya pada institusi pendidikan atau literatur. Dia yakin, ketika budaya terintegrasi dalam produk keseharian seperti kopi, maka nilainya akan lebih masuk ke generasi muda dan komunitas internasional.

    Gerakan ini mendapat apresiasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Deputi Pemasaran Kemenparekraf, Ni Made Ayu Marthini, merespons positif integrasi unsur budaya dalam produk ekspor kreatif. Dalam perbincangan dengan media nasional pada April 2025, dia menyatakan bahwa “produk seperti ‘Lisoi’ merupakan wujud diplomasi budaya yang natural dan berkesan.”

    Human Interest di Balik Seteguk Kopi

    Narasi “Lisoi” juga menunjukkan bagaimana inovasi dapat bersumber dari rutinitas masyarakat tradisional. Salah satu hasil nyata dari proyek ini adalah kenaikan income para petani kopi. Lewat sistem perdagangan yang berkeadilan, Rasa Nusantara membeli kopi langsung dari kelompok petani dengan harga 30% lebih tinggi dari rata-rata pasar setempat.

    Sejak proyek dimulai awal 2024, kelompok tani yang dibina di Lintong Nihuta mengalami perbaikan ekonomi. Salah satunya dirasakan oleh Ibu Tiarma Sitanggang (41), ibu dengan dua anak yang kini ditugaskan memimpin koperasi petani kopi perempuan. Sebelum terlibat dalam proyek ini, penghasilannya sangat tidak stabil, bahkan sering kali tidak mencukupi untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

    “Dulu kami hanya menjual kopi ke perantara tanpa mengetahui tujuan akhir biji tersebut,” ungkap Tiarma. “Sekarang kami menyadari bahwa kopi kami memiliki narasi, dan narasi tersebut memberikan manfaat bagi kampung kami.”

    Tiarma juga berpartisipasi aktif dalam workshop kreatif yang diselenggarakan tim kreatif “Lisoi”. Dia sekarang ikut mengajarkan anak-anak kampung lagu-lagu tradisional, supaya warisan budaya tidak hanya bertahan, tetapi juga tetap hidup di generasi mendatang.

    Lebih dari Sekadar Minuman

    Lagu daerah menjadi nama kopi internasional world of coffee 2025. menjadi debut “Lisoi” sebagai produk sekaligus representasi budaya. Stan Indonesia didesain dengan sentuhan tradisional Sumatra Utara, memamerkan kain tenun ulos. Gambar ilustrasi lagu rakyat, dan bahkan atraksi tari Tor-Tor mini untuk menyambut tamu internasional.

    Berdasarkan informasi dari Specialty Coffee Association (SCA), produk kopi yang mengusung nilai budaya setempat. Dengan memperlihatkan prospek pasar yang menjanjikan, khususnya di kawasan Skandinavia dan Eropa Barat yang menghargai aspek keberlanjutan dan latar belakang produk.

    Lebih dari sekedar barang ekspor, kopi “Lisoi” adalah penanda bahwa budaya dapat tetap hidup dan berkembang melalui inovasi. Dalam satu cangkir kopi, dunia tidak hanya merasakan cita rasa pahit dan manis dari Sumatra. Tetapi juga mendengar kidung dari lembah yang jauh, dalam bahasa yang sarat makna dan sejarah.

    Baca juga: Pelepasan Kontingen Pomprov III 2025: UMM