Claudia Sheinbaum
Claudia Sheinbaum ilmuwan lingkungan Meksiko yang berhasil mencetak sejarah sebagai perempuan pertama yang memimpin negara tersebut. Berbekal latar belakang akademik dan pengalaman sebagai peneliti, Claudia Sheinbaum, ilmuwan lingkungan Meksiko, secara aktif mengangkat isu perubahan iklim ke pusat kebijakan publik.
Sheinbaum bukanlah politisi biasa. Ia adalah seorang ilmuwan lingkungan, lulusan Universitas Otonomi Nasional Meksiko, dengan latar belakang akademik yang kuat dan dedikasi panjang dalam dunia pelayanan publik.
Kepeduliannya pada isu lingkungan tidak hanya berhenti pada teori, tapi ia bawa langsung ke dalam kebijakan ketika menjadi Sekretaris Lingkungan Hidup Kota Meksiko di bawah pemerintahan Andres Manuel Lopez Obrador.
Kariernya terus menanjak, dari Wali Kota Tlalpan, hingga akhirnya menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Kota Meksiko pada tahun 2018. Dalam masa jabatannya, meski menghadapi angka kriminalitas tinggi mencapai 5.078 kasus pembunuhan di 52 bulan pertama pemerintahannya. Sheinbaum sukses menurunkan angka pembunuhan hampir setengahnya, dari 17,9 menjadi 8,6 per 100.000 orang hingga tahun 2022.
Namun pencapaiannya bukan hanya angka. Claudia adalah simbol dari harapan baru. Dia menggagas visi “Reformasi Lingkungan”, yang tak hanya bicara soal ekosistem alam, tetapi juga tentang menyeimbangkan kehidupan sosial seperti menghapus kemiskinan, memperkuat layanan kesehatan dan pendidikan, serta membela hak perempuan dan kelompok minoritas.
Pada Juni 2023, Claudia Sheinbaum mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Pemerintahan Mexico City untuk mengikuti seleksi calon presiden dalam koalisi Juntos Hacemos Historia. Kini, dengan kemenangan bersejarahnya, Claudia Sheinbaum tidak hanya mencetak rekor politik, tetapi juga menyuarakan bahwa perempuan layak berada di puncak kekuasaan.
Menerobos Budaya Patriarki: Inspirasi Global dari Kepemimpinan Claudia
Kemenangan Claudia Sheinbaum bukan sekadar urusan elektoral. Ia adalah tamparan lembut bagi budaya patriarki yang selama ini menganggap bahwa perempuan tak layak memimpin. Meksiko, seperti banyak negara lain, masih bergulat dengan konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki di garis depan dalam politik dan kepemimpinan.
Sheinbaum dengan tenang, namun tegas, meruntuhkan asumsi itu. Ia bukan hanya menjadi presiden, tetapi juga simbol dari perjuangan panjang perempuan Meksiko yang selama ini tak mendapat tempat di ruang pengambilan keputusan.
Dalam banyak kesempatan, ia menyuarakan bahwa kepemimpinan perempuan bukan soal emosi atau kelembutan semata, tapi juga soal ketegasan, kompetensi, dan keberanian menghadapi tantangan berat.
Pengalaman Claudia Sheinbaum mencerminkan kondisi di Indonesia, di mana perempuan politikus kerap diremehkan meski berprestasi. Dalam program Mata Najwa: Women in Power, Retno Marsudi dan Sri Mulyani pun mengaku sering diperlakukan berbeda karena gender. Sri Mulyani menyebut, “Kalau laki-laki tegas dianggap berwibawa. Tapi kalau perempuan tegas, disebut bossy.”
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa perempuan harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapat pengakuan yang sama. Padahal, seperti Claudia, banyak perempuan memiliki kapabilitas, integritas, dan dedikasi yang tak kalah dari rekan laki-lakinya.
Perjuangan Claudia Sheinbaum mengingatkan pada Maria Walanda Maramis, pahlawan nasional yang vokal memperjuangkan kesetaraan perempuan di masa penjajahan. Walanda Maramis tidak hanya memperjuangkan kemerdekaan nasional, tetapi juga kemerdekaan perempuan dari stereotip yang membelenggu.
Perempuan Bisa Memimpin
Kini, dengan hanya 6 perempuan dari 34 posisi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju, kita melihat bahwa perjuangan menuju kesetaraan masih panjang. Namun kisah Claudia membuktikan bahwa perempuan bisa memimpin, bisa membuat keputusan besar, dan bisa menjadi tumpuan harapan rakyat.
Bagi generasi muda, terutama perempuan, Claudia Sheinbaum adalah bukti nyata bahwa keberanian untuk bermimpi dan berjuang bisa membuahkan hasil besar. Dari aktivis kampus, ilmuwan lingkungan, wali kota, gubernur, hingga akhirnya menjadi presiden—perjalanannya adalah narasi perjuangan, bukan pemberian.
Claudia Sheinbaum telah membuka babak baru dalam sejarah Meksiko. Ia bukan hanya pemimpin perempuan pertama, tetapi juga pemimpin yang memahami pentingnya kolaborasi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Dalam sosoknya, dunia menyaksikan bahwa perempuan tidak hanya layak memimpin—mereka juga bisa menjadi agen perubahan yang membawa masa depan lebih cerah.
Semoga akan lebih banyak Claudia-Claudia lainnya yang muncul di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Karena dunia ini butuh lebih banyak kepemimpinan yang empatik, progresif, dan adil—tanpa dibatasi oleh gender.
Baca juga: Presiden Prancis Emmanuel Macron Tiba di Indonesia