Tag: Generasi Lelah

  • Arti Kebangkitan Nasional: Apa Makna 20 Mei di Tengah Generasi yang Lelah?

    Arti Kebangkitan Nasional: Apa Makna 20 Mei di Tengah Generasi yang Lelah?

    Setiap tanggal 20 Mei, rakyat Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal ini menandakan terbangunnya organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908—sebuah permulaan kesadaran bangsa untuk melawan kolonialisme dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Akan tetapi, lebih dari seratus tahun setelahnya, pertanyaan yang tergantung di pikiran banyak pemuda saat ini adalah Arti Kebangkitan Nasional: Apa Makna 20 Mei di Tengah Generasi yang Lelah? masih memiliki relevansi di tengah generasi yang mengalami kelelahan mental, emosional, dan finansial? 

    Sejarah yang Berbeda dari Realita Saat Ini 

    Boedi Oetomo tidaklah merupakan organisasi massa yang revolusioner. Ia berdiri dari sekelompok mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen)—sekolah kedokteran untuk pribumi di Batavia. Walaupun begitu, semangat yang muncul darinya merupakan awal dari kesadaran akan pentingnya persatuan sebagai sebuah bangsa. 

    “Boedi Oetomo menggabungkan pemikiran bahwa kita sebagai anak negeri memiliki identitas, memiliki suara, dan perlu bersatu untuk kekuatan masa depan yang bersama,” ujar sejarawan Universitas Indonesia, Dr. JJ Rizal, dalam sebuah wawancara pada tahun 2020. 

    Namun, jika kita melihat ke saat ini, semangat itu tampak redup. Pada zaman digital yang sarat dengan informasi cepat, tekanan sosial, ketidakpastian finansial, dan krisis iklim, semangat “kebangkitan” menjadi istilah yang sulit dipahami oleh generasi yang telah merasa lelah sejak usia muda. 

    Generasi Terkuras: Di Antara Cita dan Nyata 

    Bagaimana mungkin bisa bangkit jika kebutuhan dasar saja semakin sulit untuk dipenuhi?

    Survei yang dilakukan oleh YouGov dan UNICEF pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa lebih dari 50% anak muda Indonesia menghadapi tekanan psikologis disebabkan oleh masalah ekonomi, stres akademik, dan ketidakpastian mengenai masa depan. Laporan itu juga menekankan kecemasan mereka mengenai kesempatan kerja, pendidikan, serta ruang partisipasi yang terbatas dalam proses pengambilan keputusan. 

    Dari sini timbul paradoks: kita diajak untuk bangkit oleh sejarah, tetapi kenyataan mendorong kita untuk bertahan dahulu jika tidak bisa dikatakan menyerah. 

    Menemukan Arti Baru: Kebangkitan Tidak Hanya Sebuah Nostalgia 

    Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Dr. Yulfita Rahma, menyatakan bahwa Hari Kebangkitan Nasional perlu menginterpretasikan kembali agar relevan dengan konteks masa kini. 

    “Kita tidak dapat memaksakan romantisme sejarah kepada generasi saat ini tanpa memenuhi kebutuhan mereka.” “Kebangkitan saat ini bukan hanya tentang melawan penjajah, melainkan melawan ketidakadilan, ketidak toleranan, disinformasi, dan krisis identitas,” katanya. 

    Ia memberikan contoh gerakan sosial seperti Aksi Kamisan, Indonesia Tanpa Diskriminasi, atau inisiatif petani muda digital di Jawa Tengah sebagai bentuk “kebangkitan baru” yang sesuai: lokal, organik, dan partisipatif. 

    “Sebagian besar pemuda terlibat dalam komunitas, startup sosial, dan pendidikan berbasis akar.” Namun, mereka sering merasa tidak terlihat, karena negara tidak hadir dalam usaha mereka. Sebenarnya di situlah arti kebangkitan yang sejujurnya: berkembang dari bawah, bukan dari pentas resmi,” ujarnya. 

    Dari Perlawanan Bersenjata ke Perlawanan Tanpa Suara 

    Perlawanan pada masa kolonial terkenal dengan penggunaan senjata. Akan tetapi, pertarungan di era ini lebih senyap dan rumit. Kebangkitan terkenal sebagai keberanian untuk mengungkapkan soal kesehatan mental di ruang umum. Dapat juga diartikan sebagai keputusan seorang pemuda di desa terpencil Kalimantan untuk mendirikan perpustakaan kecil di tempat tinggalnya meskipun tanpa pasokan listrik yang stabil. 

    Salah satu teladan yang menginspirasi adalah Tri Ayu Lestari (30), pendiri komunitas literasi Rumah Baca Banua di Banjarmasin. Ia memanfaatkan perahu untuk mengirimkan buku kepada anak-anak di wilayah tepi sungai. 

    “Kami tidak pernah memikirkan tentang kebangkitan nasional secara luas.” “Tetapi jika anak-anak di desa dapat belajar dan bermimpi, bukankah itu juga sebuah kebangkitan?” ujarnya. 

    Kisah seperti ini jarang tergolong dalam berita utama media atau pidato resmi. Namun, mereka adalah bukti bahwa generasi muda tidak kehilangan idealisme hanya merasa lelah karena terus terabaikan. 

    Apa yang Harus Dikerjakan? 

    Ahli sosiologi dari Universitas Airlangga, Dr. Soeprapto, menegaskan bahwa generasi milenial tidak memerlukan simbolisme yang tidak berarti. 

    “Mereka memerlukan tempat untuk berbicara, kesempatan untuk berkarya, dan jaminan hidup yang pantas.” “Jika suatu negara ingin benar-benar merayakan Kebangkitan Nasional, maka harus mulai dengan mendengarkan suara mereka,” ujarnya. 

    Ia merekomendasikan kepada pemerintah dan lembaga pendidikan untuk mengubah cara merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak hanya melalui acara atau kompetisi esai, tetapi juga dengan dialog terbuka, pendanaan untuk proyek akar rumput, dan perbaikan sistem yang menciptakan keadilan sosial. 

    Dari Pertarungan Bersenjata ke Pertarungan Diam 

    Perjuangan era kolonial terkenal dengan pengangkatan senjata. Akan tetapi, perlawanan di era ini lebih tenang dan rumit. Kebangkitan adalah sebagai bentuk keberanian untuk menyatakan kesehatan mental pada tempat umum. Juga bisa katakan sebagai pilihan seorang pemuda di daerah terpencil Kalimantan untuk mendirikan perpustakaan kecil yang ada desanya meskipun tidak ada listrik yang stabil. 

    Epilog: Bangkit dalam Kesunyian

    Pada akhirnya, arti dari Hari Kebangkitan Nasional tidak hanya ditentukan oleh negara semata. Ini adalah cerita yang perlu ditulis kembali oleh generasi saat ini, dengan tinta kecemasan dan usaha yang gigih. Kebangkitan mungkin tidak terdengar meriah seperti pada tahun 1908 atau 1945. Namun di dunia yang penuh kekacauan dan kelelahan, berani untuk bermimpi dan bertahan hidup merupakan sebuah bentuk perlawanan. 

    Baca Juga: May Day sebagai Cermin Nestapa Buruh Indonesia