MANUNGSA— Nama Edward de Bono mungkin tidak setenar tokoh teknologi atau ilmuwan populer lainnya, namun gagasan-gagasannya telah mengubah cara jutaan orang di dunia berpikir dan mengambil keputusan. Tapi siapa sebenarnya pria di balik konsep lateral thinking ini?
Lahir di Malta pada 19 Mei 1933, Edward Charles Francis Publius de Bono tumbuh di lingkugan yang sederhana, jauh dari pusat-pusat pemikiran dunia. Namun sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan luar biasa pada bagaimana berpikir dan bertindak. Namun, sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan luar biasa pada bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Ayahnya seorang dokter, sementara ibunya seorang jurnalis , dua profesi yang mempertemukannya dengan logika dan empati sejak dini.
Malta, yang kala itu masih menjadi wilayah kecil di bawah bayang-bayang kekuatan besar Eropa, bukan tempat yang sering melahirkan pemikir dunia. Tapi de Bono membuktikan bahwa keterbatasan geografis tidak membatasi kekuatan gagasan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Oxford University dengan beasiswa Rhodes—sebuah pencapaian luar biasa. Di sana, ia menyelesaikan studi di bidang psikologi, fisiologi, dan kedokteran, kemudian mendapatkan gelar doktor di bidang filsafat. Tapi, alih-alih mengejar ketenaran akademis, ia memilih jalan yang lebih menantang: mengubah cara orang berpikir.
Filosofi Berpikir Edward de Bono
Edward de Bono tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi pintar, tapi bagaimana menjadi bijak. Ia merasa frustasi dengan cara berpikir tradisional yang kolot dan sering menimbulkan konflik. Menurutnya, banyak masalah di dunia yang muncul bukan karena kurangnya pengetahuan, tapi karena cara berpikir terbatas. Dari sinilah ia mencentuskan konsep lateral thinking—cara berpikir menyamping, bukan lurus. Tujuannya? Membantu orang menemukan solusi kreatif yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Konsep ini kemudian diterapkan di berbagai bidang, dari dunia pendidikan, bisnis, hingga pemerintahan. De Bono bahkan pernah diminta oleh PBB dan berbagai pemimpin negara untuk memberikan pelatihan berpikir kreatif dan penyelesaian konflik.
Sisi Humanis Edward de Bono
Edward de Bono mampu menarik perhatian karena sisi humanisnya yang kuat. Di tengah ketenerannya sebagai pakar berpikir, ia tetap percaya bahwa kekuatan terbesar bukan terletak di ruang kuliah kampus ternama, tapi di ruang kelas anak-anak sekolah. Ia kerap mengisi seminar untuk siswa SD dan SMP, membekali mereka dengan keterampilan berpikir sejak dini. Baginya, masa depan dunia tidak akan berubah jika kita terus mengajarkan apa yang harus dipikirkan, bukan “bagaimana” cara berpikir.
Kontribusi Intelektual
Edward de Bono wafat pada 9 Juni 2021 pada usianya yang menginjak 88 tahun. Ia pergi dengan mewariskan pemikirannya di ratusan buku, seminar, dan program latihan yang ia tinggalkan. Ia mungkin tidak membuat penemuan teknologi mutakhir, tapi ia memberi dunia sesuatu yang lebih mendasar, yaitu cara baru untuk memahami realitas, menyelesaikan konflik, dan menciptakan masa depan yang jauh lebih baik.
Di era informasi seperti sekarang, ketika segala sesuatu serba cepat, mungkin kita butuh lebih banyak de Bono—untuk mengajarkan cara berpikir yang lebih jernih, lebih empatik, dan lebih manusiawi.
Ingin tahu lebih banyak tentang pemikiran Edward de Bono?
Coba baca bukunya yang paling terkenal, Lateral Thinking atau Six Thinking Hats.
Baca juga: Gelar Puteri Indonesia 2025 di Raih Oleh Firsta Yufi Amarta Putri