Tag: Ekonomi

  • Fenomena Sandwich Generation di Tengah Tekanan Ekonomi

    Fenomena Sandwich Generation di Tengah Tekanan Ekonomi

    Manungsa – Sandwich generation kini hidup dalam pusaran krisis. Mereka menjadi tumpuan hidup dua generasi sekaligus, saat biaya hidup meroket dan perlindungan sosial minim. Di tengah ketidakpastian ekonomi, ruang bernapas mereka makin sempit.

    Fenomena generasi sandwich mencerminkan kondisi ketika seseorang harus memikul dua tanggung jawab sekaligus. Mengurus orang tua yang telah lanjut usia serta mendampingi adik atau anggota keluarga lain yang masih membutuhkan dukungan. Berdasarkan kondisi tersebut, generasi sandwich adalah individu yang berada dalam posisi terhimpit antara dua generasi, yaitu generasi yang lebih tua dan yang lebih muda. Istilah ini dianalogikan seperti struktur sandwich, di mana lapisan atas mewakili orang tua, lapisan bawah melambangkan anak atau adik. Sedangkan, bagian tengah yang menanggung beban keduanya merepresentasikan individu tersebut.

    Himpitan yang dialami oleh sandwich generation
    sumber : pinterest

    Data Sandwich Generation

    Situasi ini semakin rumit seiring dengan perubahan dalam dinamika sosial dan ekonomi, terutama di Indonesia. Dalam masyarakat yang terus berkembang, generasi sandwich merasakan tekanan yang signifikan untuk memenuhi tuntutan keluarga dan karier secara bersamaan. Menurut Data Indonesia Hampir separuh dari generasi Z (1996-2012) tersebut, atau sekitar 46,3%, menjalani peran sebagai sandwich generation. Dari jumlah tersebut, sekitar 73,38% generasi Z yang menjadi sandwich generation merasa bersalah jika tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga.

    Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, 71 juta penduduk Indonesia merupakan Generasi Sandwich, ini mewakili lebih dari seperempat. Sebanyak 8,4 juta sandwich gen di antaranya tinggal bersama anggota keluarga di luar keluarga inti yang mereka biayai atau disebut juga extended family. Generasi Z, yang kini memasuki fase usia produktif, mulai menghadapi berbagai tantangan tersebut. Mereka terpengaruh oleh modernisasi dan kemajuan teknologi, namun tetap terikat oleh tanggung jawab tradisional terhadap keluarga.

    Sandwich Generation di Tengah Tekanan Ekonomi

    Kemunculan sandwich generation tidak terjadi begitu saja. Berbagai faktor struktural saling berkontribusi memicu fenomena ini, mulai dari tekanan ekonomi makro hingga norma budaya yang mengakar dalam masyarakat.

    Dari sisi ekonomi makro, inflasi yang terus meningkat menggerus daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2024, inflasi tahunan Indonesia mencapai 3,3%, dengan sektor makanan, transportasi, dan perumahan menjadi penyumbang terbesar. Biaya pendidikan pun tidak kalah memberatkan. Lembaga AyoBelajar melaporkan rata-rata kenaikan biaya pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Indonesia mencapai 10–15% per tahun.

    Selain tekanan ekonomi, faktor budaya turut memperkuat posisi generasi sandwich. Dalam struktur sosial Indonesia, mereka memandang merawat orang tua yang berusia lanjut sebagai bentuk pengabdian dan kewajiban moral. Meskipun nilai ini mulia, tekanan untuk selalu hadir sebagai penopang utama bisa menjadi beban tersendiri bagi mereka yang juga harus mengurus anak dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri.

    Lebih parahnya lagi adalah keterbatasan dalam sistem jaminan sosial di Indonesia. Program seperti BPJS Kesehatan dan Dana Pensiun belum sepenuhnya menjangkau semua lapisan masyarakat secara merata. Menurut data OJK (2023), hanya sekitar 13% penduduk Indonesia yang memiliki dana pensiun formal. Artinya, sebagian besar lansia tetap menggantungkan hidup pada anak-anak mereka.

    Masalah upah pun tak kalah krusial. Meski upah minimum mengalami kenaikan setiap tahun, tetapi pertumbuhannya masih kalah cepat dari lonjakan biaya hidup. Survei LPEM FEB UI (2023) menyatakan bahwa 54% pekerja usia 25–40 tahun mengaku kesulitan menabung karena seluruh pendapatan habis untuk kebutuhan pokok dan cicilan.

    Kombinasi dari inflasi, beban budaya, lemahnya jaminan sosial, dan stagnasi penghasilan inilah yang akhirnya menempatkan generasi sandwich dalam posisi yang rapuh dan terus tertekan dari berbagai arah.

    Hentikan Fenomena ini

    Fenomena ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan tantangan sosial yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat luas. Memberi ruang bagi generasi sandwich untuk bernapas berarti memperkuat fondasi keluarga dan masa depan bangsa. Saatnya langkah nyata diambil agar beban ini tidak terus membebani tulang punggung keluarga kita.

    Baca Juga : Sandwich Generation

  • May Day sebagai Cermin Nestapa Buruh Indonesia

    May Day sebagai Cermin Nestapa Buruh Indonesia

    MANUNGSA — Setiap 1 Mei, jalan-jalan di ibu kota dan kota-kota besar di Indonesia dipenuhi oleh lautan massa yang menuntut keadilan. May Day atau Hari Buruh Internasional, menjadi momen di mana pekerja dari berbagai sektor bersuara menentang ketidakadilan sistem ketenagakerjaan. Tahun 2025, aksi ini kembali digelar—sekitar 200 ribu buruh akan memadati Monas, Jakarta, sementara puluhan ribu lainnya turun ke jalan di 30 provinsi.

    Namun, dibalik gegap gempita aksi tersebut, tersimpan kisah pilu yang tak kunjung berubah dari tahun ke tahun. Upah tak layak, ancaman PHK sepihak, eksploitasi pekerja, dan minimnya perlindungan hukum masih menajdi masalah struktural yang membelenggu buruh Indonesia.

    Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyatakan bahwa Hari Buruh tahun ini akan menyuarakan enam tuntutan utama, yaitu:

    Tuntutan yang Berulang

    Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, dalam keterangan persnya, menegaskan enam tuntutan utama yang diusung para buruh tahun ini:

    1. Penghapusan sistem outsourcing, yang menyebabkan buruh kehilangan kepastian kerja.
    2. Penetapan upah layak, yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup riil.
    3. Pembentukan Satgas PHK, sebagai perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak.
    4. Revisi UU Ketenagakerjaan, karena dinilai masih berat sebelah terhadap pemilik modal.
    5. Perlindungan hukum untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT).
    6. Pemanfaatan aset hasil korupsi untuk program kesejahteraan buruh.

    Dikutip dari ANTARA news, Said Iqbal mengatakan bahwa “May Day bukan tentang libur kaum buruh, May Day adalah tentang bagaimana mengingat kembali penderitaan kaum buruh untuk memperjuangkan isu-isu kaum buruh,”

    Sementara itu, kehadiran Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam aksi di Monas tahun ini menimbulkan beragam reaksi. Meski dianggap sebagai sinyal terbukanya kanal dialog, banyak kalangan buruh masih meragukan komitmen pemerintah dalam merespons tuntutan mereka secara konkret.

    Ketimpangan Upah dan Biaya Hidup

    Di tingkat provinsi, disparitas antara Upah Minimum Provinsi (UMP) dan kebutuhan hidup menjadi masalah besar. Di DKI Jakarta, UMP tahun 2025 sebesar Rp. 5.396.761, sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan hidup layak untuk keluarga kecil bisa mencapai Rp7–8 juta per bulan.

    Karena tekanan ekonomi tersebut, banyak buruh terpaksa bekerja lembur. Namun, menurut Komnas Perempuan, lembur sering kali tidak dihitung dan dibayar sesuai aturan.

    Ancaman Outsourcing dan PHK Sepihak

    Sistem outsourcing menjadi sumber keresahan utama buruh kontrak. Status kerja yang tidak tetap membuat buruh bisa di-PHK sewaktu-waktu tanpa pesangon yang layak. Proses hukum yang panjang dan mahal membuat mayoritas buruh akhirnya pasrah.

    PRT: Tenaga yang Dilupakan Regulasi

    Kondisi pekerja rumah tangga (PRT) juga tak kalah memprihatinkan. Hingga saat ini, RUU Perlindungan PRT masih mangkrak. Sementara itu, data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menunjukkan lebih dari 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang tahun 2018–2023, mulai dari kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga penahanan upah.

    Ketua JALA PRT, Lita Anggraini, menegaskan bahwa tanpa regulasi, PRT akan terus menjadi kelompok paling rentan di dunia kerja.

    May Day bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah momen kolektif di mana jutaan buruh menunjukkan bahwa mereka masih bertahan, meski dengan penghasilan tak layak, tanpa jaminan kerja, dan dalam sistem hukum yang berat sebelah.

    Selama negara belum menjadikan kesejahteraan buruh sebagai prioritas utama, lautan massa akan terus turun ke jalan setiap 1 Mei. Mereka datang bukan untuk merayakan, tetapi untuk mengingatkan bahwa keadilan sosial masih menjadi janji yang belum ditepati.

    Baca juga: Inovasi Hijau: Peran Startup Sosial Dalam Menjawab Tantangan Limbah

    Referensi:

    • Antara News. (2025). Said Iqbal: May Day momentum perjuangkan isu kaum buruh
    • Kompas. (2025). 6 Tuntutan May Day 2025: Buruh Akan Minta Prabowo Outsourcing hingga Rampas Aset Koruptor.
    • Komnas Perempuan. (2024). Siaran Pers Bersama Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, KND Mendorong Pengesahan RUU PPRT.

  • RBC Institute A. Malik Fadjar Soroti Bias Gender dalam Pendidikan Lewat Diskusi Bersama Kalis Mardiasih

    RBC Institute A. Malik Fadjar Soroti Bias Gender dalam Pendidikan Lewat Diskusi Bersama Kalis Mardiasih

    Malang, 24 Maret — Ruang Baca Cerdas (RBC) Institue A. Malik Fadjar memperkuat posisinya sebagai ruang intelektual kritis dengan menggelar diskusi bertajuk “Ruang Gagasan: Menyoal Pendidikan Perempuan” bersama penulis dan aktivis Kalis Mardiasih, Kamis (24/4). Bertempat di Ruko Permata Jingga, Lowokwaru, Malang, forum ini tidak hanya membedah buku “Esok Jilbab kita Dirayakan”, tetapi juga menegaskan komitmen RBC Insitute A. Malik Fadjar terhadap isu kesetaraan dan pembebasan pendidikan dari bias struktural.

    Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar, Subhan Setowara, menyatakan bahwa forum ini dirancang sebagai respons atas pentingnya ruang diskusi kritis, serta berharap agar kegiatan ini dapat memperluas kesadaran kolektif mengenai pentingnya pendidikan perempuan sebagai pilar pembangunan bangsa. “

    Diskusi ini merupakan bagian dari inisiatif Ruang Gagasan, program rutin yang digagas oleh RBC Institue A. Malik Fadjar untuk mempertemukan masyarakat luas dengan isu-isu penting dalam ruang yang inklusif, terbuka, juga reflektif. Melalui forum ini, RBC berharap dapat terus mendorong diskursus yang membumi dan membebaskan.

    Kehadiran Kalis Mardiasih, aktivis sekaligus penulis buku yang dibahas, menjadi penegasan terhadap agenda RBC dalam mengadvokasi kesadaran kritis. Dalam paparannya, Kalis mengangkat beragam tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia pendidikan, mulai dari stereotip gender, pengalaman biologis, hingga pilihan hidup perempuan.

    “Sistem pendidikan kita masih bias kelas dan bias gender,” tegas Kalis. Ia membeberkan berbagai bentuk marginalisasi perempuan: mulai dari pengorbanan cita-cita pribadi, tekanan sosial yang membelenggu, hingga peminggiran sistematis di bidang-bidang yang secara stereotip dilabeli sebagai ‘”domain laki-laki”.

    Diskusi ini mencerminkan visi RBC Institute A. Malik Fadjar untuk tidak hanya menjadi ruang baca, melainkan ruang berpikir. Dengan menyoroti jilbab sebagai simbol yang sarat akan makna politik dan sosial, diskusi ini membuka ruang bagi pembacaan yang lebih dalam terhadap pendidikan perempuan, bukan semata soal akses, melainkan soal kuasa, narasi, dan juga struktur.

    Acara diskusi ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang berlangsung secara dinamis. Mempertemukan berbagai pandangan tentang agama, budaya, dan pendidikan dalam lanskap Indonesia hari ini. Diskusi ini membuktikan bahwa RBC Institue A. Malik Fadjar terus berupaya menjadi ruang yang membuka kemungkinan untuk bertanya, berdiskusi, dan berpikir ulang tentang sistem pendidikan kita.