Tag: BudayaIndonesia

  • Di Balik Profesi Langka: Penjaga Mercusuar dan Pembuat Mainan Kayu Tradisional

    Di Balik Profesi Langka: Penjaga Mercusuar dan Pembuat Mainan Kayu Tradisional

    Jejak Langkah Penjaga Mercusuar di Pulau Lengkuas

    Di balik profesi langka terlihat jelas dalam kehidupan penjaga mercusuar di Pulau Lengkuas. Pulau Lengkuas, Belitung berdirinya sebuah mercusuar tua yang dibangun oleh pemerintah Belanda pada 1882. Meski sebagian sistem pencahayaannya telah otomatis, mercusuar ini masih terus terjaga oleh manusia. Salah satunya adalah Pak Amang, seorang penjaga mercusuar yang telah mengabdi lebih dari 21 tahun. 

    Dalam era modern yang terus berkembang, banyak profesi tradisional yang perlahan memudar. Namun, penjaga mercusuar dan pembuat mainan kayu tetap berdiri pada prinsipnya. Mereka adalah penjaga identitas budaya yang menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini. Seperti Pak Amang yang bertugas menjaga mercusuar di Pulau Lengkuas, Belitung, mereka bukan hanya memastikan keselamatan navigasi laut, tetapi juga menjaga jejak sejarah maritim Indonesia. Mercusuar yang dibangun sejak 1882 ini telah menjadi saksi bisu banyak peristiwa penting, dari era kolonial hingga kemerdekaan, dan tetap berdiri tegak sebagai simbol ketekunan.

    Dalam wawancara oleh Harian Kompas (2022), Pak Amant Menceritakan bagaimana ia harus tinggal selama berminggu-minggu di pulau kecil itu, yang hanya ditemani suara ombak dan burung laut. “Ketenangan luar biasa, tapi juga menguji mental. Kita tidak bisa hanya mengandalkan teknologi saja, karena cuaca bisa membuat segalanya rusak dalam sekejap,” ujarnya.

    Meski profesi ini mulai terabaikan, penjaga mercusuar seperti Pak Among tetap perlu bukan hanya untuk menjaga fungsi navigasi saja, tapi juga sebagai pelestari sejarah dan merupakan saksi bisu dunia maritim Indonesia. 

    Cerita Pekerjaan Pembuat Mainan Kayu Imogiri

    Pada sudut desa Wukisari, Imogiri, Bantul tempat sebagai sentra batik tulis, tinggalah seorang pria bernama Pak Yanto (Nama Samaran), pembuat mainan kayu tradisional sejak 1980-an. Alih-alih membuat barang modern, ia tetap setia pada mainan tradisional seperti gasing, egrang, cublak-cublak, mobil-mobilan, dan kuda-kudaan dari kayu pinus. 

    Sisi lain, Pak Yanto dari Wukirsari, Imogiri, Bantul, tetap mempertahankan keahlian membuat mainan kayu tradisional meskipun industri mainan modern telah berubah drastis. Di tengah serbuan mainan plastik dan digital, mainan kayu seperti egrang, gasing, dan kuda-kudaan tetap memiliki tempat khusus dalam hati mereka yang menghargai nilai budaya. Proses pembuatannya yang manual, mulai dari pemilihan kayu, pengukiran, hingga pengecatan, menunjukkan dedikasi tinggi dan cinta pada warisan nenek moyang.

    Menurut dari laporan Mongabay (2021), Pak Yanto memproduksi mainan tidak semata hanya untuk dijual, tapi sebagai bentuk pelestarian budaya. “Mainan ini bukan hanya hiburan, tapi juga bentuk pendidikan. Anak-anak belajar keseimbangan, kesabaran, dan kreativitas,” katanya.

    Proses pembuatannya pun masih manual, mulai dari mengukir hingga mewarnai. Sekalipun mereka harus bersaing dengan produk plastik impor dari luar negeri maupun dalam negeri yang sudah banyak di jual orang-orang dan, Pak Yanto tetap percaya bahwa nilai budaya dan buatan tangan tak akan tergantikan.

    Lika-Liku di Balik Profesi Langka, Warisan yang Perlu Dijaga 

    Profesi seperti penjaga mercusuar dan pembuat mainan kayu mungkin tidak terdengar glamor, tetapi mereka memiliki nilai kemanusiaan dan sejarah yang mendalam. Mereka menjaga sesuatu yang lebih besar dari sekedar pekerjaan yaitu identitas, ketekunan, dan makna hidup.

    Meskipun terlihat sederhana, profesi ini menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan mercusuar hingga persaingan dengan produk mainan modern yang lebih murah dan massal. Namun, mereka tetap percaya bahwa nilai budaya yang melekat pada pekerjaan mereka tidak akan tergantikan. Bagi generasi muda, kisah mereka adalah inspirasi untuk tetap menghargai akar budaya di tengah gemerlap dunia digital.

    Kisah Pak Amani dan Pak Yanto adalah pengingat bahwa nilai budaya bukan sekadar sejarah, tetapi juga identitas yang perlu dirawat. Mereka mengajarkan kepada kita tentang ketekunan, makna hidup, dan pentingnya menjaga tradisi di tengah perubahan zaman. Dengan memahami perjuangan mereka, kita dapat lebih menghargai nilai-nilai lokal yang memperkaya identitas bangsa.

    Baca juga: Perjalanan Petani Muda dalam Membangun Pertanian Organik Berkelanjutan