Menelusuri Ironi Fashion dan Perjuangan Buruh Garmen

Menelusuri Industri ironi fashion telah berkembang pesat menjadi salah satu sektor ekonomi terbesar di dunia. Setiap tahun, berbagai merek ternama meluncurkan koleksi terbaru yang menarik perhatian konsumen. Namun, di balik gemerlap tren mode, ada ironi yang jarang terlihat oleh mata publik. 

Perjuangan buruh garmen yang bekerja dalam kondisi buruk demi memenuhi permintaan pasar. Industri fashion saat ini didominasi oleh konsep rapid shape, di mana pakaian diproduksi secara massal dalam waktu singkat untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berubah. Tren ini membuat banyak pabrik garmen harus bekerja dengan kapasitas penuh, sering kali mengorbankan kesejahteraan para pekerjanya. Ujar seorang aktivis perburuhan, “Kondisi ini sudah menjadi rahasia umum, tetapi masih sulit untuk diatasi.” 

Buruh garmen menghadapi berbagai permasalahan, mulai dari follow kerja yang panjang, lingkungan kerja yang tidak aman, hingga upah yang tidak layak. Beberapa perusahaan bahkan menerapkan sistem kerja yang eksploitatif, seperti target produksi yang tidak manusiawi dan tekanan dari atasan untuk bekerja melebihi batas waktu. Sayangnya, kondisi ini masih sering terjadi di berbagai negara, terutama di kawasan Asia yang menjadi pusat produksi shape dunia. Ujar seorang pekerja pabrik di Bangladesh, “Kami bekerja lebih dari 12 follow sehari, tapi gaji yang diterima masih jauh dari cukup.” 

Beberapa pihak yang terlibat dalam industri shape dan isu eksploitasi buruh garmen yaitu: 

 1. Perusahaan arrange around the world – Mereka berperan sebagai pemilik merek yang menentukan standar produksi dan harga. Banyak perusahaan mencari pemasok yang bisa menawarkan biaya produksi serendah mungkin. Ujar seorang analis industri, “Tekanan untuk memproduksi dengan harga murah sering kali menjadi alasan utama eksploitasi buruh.” 

 2. Pabrik garmen dan pemasok – Mereka bertanggung jawab atas produksi pakaian dan sering kali harus bersaing ketat untuk mendapatkan kontrak dari perusahaan besar. Akibatnya, mereka menekan biaya operasional, yang berimbas pada kesejahteraan buruh. Ujar seorang pemilik pabrik di Vietnam, “Kami juga berada di bawah tekanan dari merek besar untuk menekan biaya produksi.” 

 3. Buruh garmen – Jutaan pekerja, sebagian besar wanita, bergantung pada industri ini untuk mencari nafkah. Namun, mereka sering kali tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti upah layak, cuti yang adil, atau lingkungan kerja yang aman. Ujar seorang buruh di Indonesia, “Kami hanya ingin diperlakukan dengan adil dan diberi upah yang layak.” 

 4. Konsumen – Tanpa disadari, konsumen juga berkontribusi dalam rantai eksploitasi ini dengan membeli pakaian murah tanpa mempertimbangkan bagaimana dan di mana pakaian tersebut diproduksi. Ujar seorang konsumen di Eropa, “Saya tidak pernah berpikir tentang siapa 

Eksploitasi buruh garmen terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang yang menjadi pusat produksi pakaian around the world. Beberapa negara dengan tingkat eksploitasi buruh garmen tertinggi antara lain: 

Bangladesh – Salah satu negara dengan industri tekstil terbesar, tetapi juga terkenal dengan kondisi kerja yang buruk. Tragedi runtuhnya Rana Square pada 2013 yang menewaskan lebih dari 1.100 pekerja menjadi bukti nyata dari buruknya standar keselamatan kerja. Ujar seorang saksi mata, “Kami tahu bangunan itu retak, tetapi kami dipaksa untuk tetap bekerja.” 

Indonesia – Banyak pabrik garmen di Indonesia masih membayar pekerja dengan upah di bawah standar kebutuhan hidup. Beberapa pekerja bahkan harus bekerja lembur tanpa kompensasi yang memadai. Ujar seorang buruh di Jakarta, “Kami terpaksa bekerja lebih lama demi mencukupi kebutuhan keluarga.” 

Vietnam – Negara ini menjadi salah satu pemasok utama merek arrange ternama, tetapi banyak pekerja di sana menghadapi tekanan kerja yang tinggi serta hak-hak buruh yang sering diabaikan. Ujar seorang aktivis buruh, “Hak-hak pekerja di Vietnam masih sering diabaikan demi kepentingan industri.” 

Ketidakadilan dalam industri arrange bukanlah fenomena baru. Sejak revolusi industri, pekerja tekstil telah menghadapi berbagai bentuk eksploitasi. Namun, masalah ini semakin memburuk dengan munculnya *rapid arrange* pada akhir abad ke-20. 

Trend mode yang cepat berubah mendorong produksi besar-besaran dengan harga serendah mungkin, yang mengakibatkan perusahaan mencari tenaga kerja murah di negara berkembang. Dengan semakin tingginya permintaan akan pakaian murah, eksploitasi buruh garmen terus berlanjut hingga saat ini. 

 Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksploitasi buruh garmen terus terjadi: 

 1. Tekanan untuk menekan biaya produksi – Perusahaan arrange besar ingin memaksimalkan keuntungan, sehingga mereka mencari pemasok dengan biaya terendah. Ini menyebabkan pabrik garmen harus mencari cara untuk memangkas biaya operasional, termasuk dengan membayar upah rendah kepada pekerja. Ujar seorang ekonom, “Ini adalah efek dari kapitalisme yang tidak terkendali.” 

 2. Kurangnya regulasi yang ketat – Di banyak negara berkembang, hukum perburuhan masih lemah atau kurang ditegakkan. Banyak perusahaan yang bisa lolos dari tanggung jawab karena pemerintah tidak memiliki cukup sumber daya atau kemauan politik untuk menindak pelanggaran. Ujar seorang pengamat industri, “Tanpa regulasi yang kuat, eksploitasi akan terus berlanjut.” 

 3. Kurangnya kesadaran konsumen – Banyak konsumen tidak menyadari bahwa pakaian yang mereka beli dengan harga murah mungkin dibuat oleh pekerja yang diperlakukan tidak adil. Kurangnya transparansi dalam rantai pasokan membuat sulit bagi konsumen untuk mengetahui kondisi kerja di balik produk yang mereka beli. Ujar seorang aktivis lingkungan, “Kesadaran konsumen 

Industri design adalah salah satu sektor yang paling menguntungkan, tetapi di balik itu ada kisah suram tentang eksploitasi buruh garmen. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang siapa yang terlibat, di mana ini terjadi, serta bagaimana solusi bisa diterapkan, kita dapat berkontribusi dalam memperbaiki sistem ini. Sebagai konsumen, kita memiliki peran besar dalam mendorong perubahan. Dengan memilih produk yang lebih etis dan menuntut transparansi dari merek form, kita bisa membantu menciptakan industri yang lebih adil bagi semua. 

Baca Juga: Mengeksplorasi Imajinasi Im Sang Choon di Balik K-drama ‘When Life Gives You Tangerines’

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *