Ilmuwan Perempuan Chien-Shiung Wu Yang Melawan Dunia Patriarki

Ilmuwan Perempuan Chien-Shiung Wu, muncul sebagai salah satu ilmuwan terkemuka abad ke-20. Akan tetapi di balik kejayaannya, tersimpan cerita perjuangan melawan diskriminasi, pengabaian, serta bayang-bayang sistem patriarki yang sangat mendalam dalam dunia akademis. 

Dari Sekolah Desa ke Laboratorium Manhattan 

Chien-Shiung Wu lahir pada 31 Mei 1912 di sebuah kota kecil yang terletak di provinsi Jiangsu, Tiongkok. Ayahnya, Wu Zhong-Yi, merupakan seorang reformis pendidikan yang mendirikan sekolah untuk perempuan, sebuah langkah yang dianggap radikal pada zaman itu. Dukungan orang tua dan sistem pendidikan yang maju telah membentuk keberanian Wu sejak kecil. Ia dibesarkan dalam atmosfer yang meyakini bahwa perempuan berhak atas pendidikan yang setara. 

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Nanjing, Wu berangkat ke Amerika Serikat pada tahun 1936 untuk mendapatkan gelar doktor di University of California, Berkeley, di bawah pengawasan fisikawan terkenal Ernest Lawrence peraih Nobel serta penemu siklotron. Meskipun berada di lingkungan akademik yang bergengsi, Wu merasakan secara langsung suasana yang tidak ramah terhadap perempuan dan peneliti luar negeri. Ia sering kali menjadi perempuan tunggal pada ruang seminar, dan sering kali teracuhkan dalam pembicaraan akademik, meskipun sumbangannya setara atau bahkan lebih besar. Dalam sejumlah catatan korespondensi, Wu menyatakan kekecewaannya karena harus menghadapi keraguan dari rekan-rekannya hanya karena ia adalah perempuan Asia.

Setelah mendapatkan gelar Ph.D. di tahun 1940, Wu mengajar di Smith College dan Princeton, meskipun pada saat itu nyaris tidak ada pengajar wanita di lembaga prestisius tersebut. Pada waktu itu, sejumlah universitas menolak untuk merekrut dosen wanita di bidang ilmu murni. Namun, reputasi Wu sebagai seorang eksperimen cermat mulai tumbuh, terutama karena ketekunannya dan kemampuan menghubungkan teori dengan praktik di laboratorium. Kemampuannya ini membawa dia ke Columbia University, tempat di mana ia akhirnya menjadi bagian dari Proyek Manhattan selama Perang Dunia II salah satu periode paling signifikan dalam sejarah fisika nuklir yang sekaligus menunjukkan betapa sumbangsih perempuan sering kali tersembunyi di balik batas patriarki sains modern.

Eksperimen Besar, Penghargaan yang Terlewat 

Puncak sumbangan ilmiah Wu terjadi pada tahun 1956. Dua fisikawan teoretis, Tsung-Dao Lee dan Chen-Ning Yang, mengajukan bahwa hukum konservasi paritas yang meyakini simetri hukum fisika mungkin tidak berlaku dalam interaksi nuklir yang lemah. Pemikiran ini dianggap sangat polemik dan belum teruji. 

Di sini Wu memainkan peranan yang signifikan. Ia mengatur eksperimen menggunakan isotop kobalt-60 dan menunjukkan bahwa hukum paritas benar-benar melanggar dalam keadaan tertentu. Penemuan ini menggegerkan dunia fisika dan membuka peluang untuk pemahaman baru mengenai interaksi partikel subatomik. 

Namun yang menyedihkan: ketika Lee dan Yang meraih Hadiah Nobel Fisika pada tahun 1957, Chien-Shiung Wu tidak disebutkan. Ia, sang eksperimen yang mengonfirmasi teori mereka, kembali diacuhkan. Bagi banyak orang, ini merupakan simbol yang nyata dari ketidakadilan gender dalam penghargaan ilmiah. 

Melampaui Lab, Suara untuk Kesetaraan

Wu tidak berdiam diri. Dalam sejumlah pidatonya, ia mengungkapkan secara tegas mengenai ketidaksetaraan gender dalam dunia penelitian. Dalam salah satu kuliah populernya, ia mengajukan pertanyaan: 

“Apakah alam membedakan antara pikiran laki-laki dan perempuan? Mengapa sains harus melakukannya?”

Setelah bertahun-tahun berproduksi, Wu akhirnya meraih beberapa penghargaan prestisius, seperti Wolf Prize dan National Medal of Science. Walaupun tidak pernah meraih Nobel, ia secara umum diakui sebagai pelopor dalam fisika modern dan menjadi representasi kekuatan ilmuwan wanita. 

Ia juga berperan aktif dalam mendorong remaja putri untuk terlibat di bidang sains dan teknologi. Keteguhan dan keberhasilannya menjadi teladan antar generasi bahwa kualitas serta dedikasi tidak terbatas pada satu jenis kelamin. 

Warisan yang Tak Tertulis, Tapi Tak Terlupakan

Ilmuwan perempuan Chien-Shiung Wu wafat pada tahun 1997, tetapi peninggalannya tetap ada. Ia menunjukkan bahwa kejeniusan tidak memandang gender dan bahwa keberanian menghadapi arus patriarki mampu mengubah sejarah. Dalam dunia yang masih berupaya untuk setara, ceritanya menjadi pengingat bahwa perempuan tidak hanya berhak berada di ruang laboratorium mereka seharusnya berada di jantung sejarahnya. 

Baca juga: B.J. Habibie: Kasih, Teknologi, dan Dedikasi Tanpa Batas

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *