MANUNGSA— Di tengah hiruk-pikuk dinamika nasional, nama Natalius Pigai mungkin bukanlah headline harian yang kerap menghiasi media besar. Di sisi lain, bagai obor dalam gelap, terutama di Papua, nama ini sudah lama menjadi suara.
Lahir di Paniai, Papua, 28 Juni 1975, Pigai tumbuh dalam lanskap sosial yang keras. Lebih dari itu, ketidakadilan bukan sekadar teori dalam buku-buku hukum, melainkan kenyataan yang menghampiri halaman rumah, sekolah, dan jalanan. Dari sanalah kesadaran serta bara perjuangan itu menyala.
Perjuangan Awal Natalius Pigai
Natalius Pigai memulai karirinya sejak muda. Ia bergabung dengan berbagai organisasi mahasiswa Papua di Yogyakarta. Pigai aktif dalam Yayasan Sejati dan Cindelaras, dua LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menjadi titik tolak langkah advokasi awalnya. Pada 1999, ia menuntaskan studinya di STPMD APMD Yogyakarta, kampus yang terkenal sebagai tempat lahirnya para aktivis akar rumput.
Perjuangan Pigai tak berhenti di ruang kelas. Ia menerobos belantara birokrasi sebelum akhirnya dipilih menjadi Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017. Di lembaga itu, Pigai memimpin Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan. Dengan vokal, Pigai menyuarakan berbagai kasus HAM, mulai dari Papua, Aceh, hingga konflik agraria di Kalimantan dan NTB. Pigai memimpin langsung investigasi kasus penembakan empat siswa oleh aparat keamanan di Paniai (Desember 2014). Timnya membawa laporan ke sidang PBB, mengungkap fakta pelanggaran HAM berat yang terus terjadi di tanah kelahirannya.
Dari Demonstrasi ke Regulasi
Pigai bukan hanya bersuara dari luar lingkaran kekuasaan. Dari Komnas HAM, ia melangkah ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai menteri pada 2024.
Lantas apa yang dilakukan Pigai? Ia justru semakin meningkatkan volume kritiknya melalui pidato-pidato. Pigai menolak pembungkaman atas nama stabilitas nasional, mendorong pengakuan atas pluralitas, serta sejarah luka bangsa. Salah satu kebijakan terkenalnya adalah inisiatif amnesti untuk narapidana lanjut usia dan korban kriminalisasi di Papua. Ia menyebutnya sebagai “rekonsiliasi kecil” untuk membuka ruang dialog.
Suara Papua
Meski menajabat di tingkat nasional, Pigai tidak pernah melupakan identitasnya. Ia kerap menyarakan bahwa tubuh dan pikirannya adalah representasi dari “orang-orang yang tak memiliki akses bicara.” Kepada UNPO (Unpresented Nations and Peoples Organization/Organisasi Bangsa Tak Terwakili), Pigai mengecam rasisme sebagai luka struktural bangsa yang terus dibiarkan membusuk.
Melawan dengan Kekuasaan
Natalius Pigai tidak mencari popularitas. Ia menulis buku, menghadiri forum internasional, dan tetap menjadi pembicara di diskusi komunitas. Di sela jadwalnya yang padat, ia menulis tentang nasionalisme Papua, keadilan transisi, dan perlindungan kelompok adat. Pigai membuka luka-luka lama bangsa. Ia percaya bahwa rekonsiliasi bukan lahir dari perintah, tapi dari pengakuan dan keberanian untuk mendengar.
Dalam setiap langkah Pigai, ia mengingatkan kita bahwa keadilan bukanlah milik mereka yang bersuara paling keras, melainkan milik mereka yang tetap berdiri ketika tidak ada lagi yang peduli.
Baca juga: Membesarkan Mimpi Meruntuhkan Stigma, Kisah Family Caregiver Anak Berkebutuhan Khusus
Tinggalkan Balasan