Kategori: Srawung

  • ASEAN All Stars Tumbangkan Manchester United 1-0

    ASEAN All Stars Tumbangkan Manchester United 1-0

    Kuala Lumpur, 28 Mei 2025 — Suasana di Stadion Bukit Jalil begitu magis saat tim ASEAN All Stars yang terdiri dari para pemain terbaik Asia Tenggara. Berhasil menorehkan sejarah dengan menumbangkan raksasa Liga Primer Inggris, Manchester United, dengan skor tipis 1-0. Kemenangan ini bukan sekadar hasil laga ekshibisi biasa, melainkan simbol kebangkitan dan kualitas sepak bola Asia Tenggara di panggung internasional.

    Suasana Stadion dan Semangat Para Pemain ASEAN All Stars

    Sejak menit pertama, ribuan suporter dari berbagai negara Asia Tenggara memenuhi stadion dan membakar semangat para pemain yang mengenakan jersey biru dan merah khas ASEAN All Stars. Tak kalah heboh, para pendukung Manchester United yang juga hadir memberikan atmosfer penuh gairah dan persaingan sengit.

    Di lapangan, kedua tim memperlihatkan kualitas tinggi, dengan gaya permainan yang berbeda. Manchester United, yang baru saja menyelesaikan musim yang sulit dan finis di posisi 15 Liga Primer Inggris, tetap memperlihatkan karakter juara mereka. Pelatih Ruben Amorim memimpin tim ASEAN All Stars dengan disiplin dan keberanian yang patut diacungi jempol.

    Meskipun MU mendominasi penguasaan bola sepanjang pertandingan, pertahanan kokoh ASEAN All Stars membuat mereka kesulitan menembus lini belakang tim Asia Tenggara. Para pemain seperti Kakang Rudianto dari Indonesia tampil impresif menjaga rapatnya barisan pertahanan. Tak membiarkan pemain seperti Bruno Fernandes dan Alejandro Garnacho leluasa bergerak.

    Sementara itu, serangan ASEAN All Stars yang terlihat lebih sederhana namun efektif menjadi kunci dalam pertandingan. Umpan terobosan dan serangan balik cepat berhasil membuat pertahanan MU beberapa kali keteteran. Pemain asal Myanmar, Maung Maung Lwin, tampil sebagai bintang malam itu setelah memanfaatkan peluang emas yang datang dari umpan Adrian Segecic, gelandang asal Australia.

    Momen Bersejarah: Gol Tunggal Maung Maung Lwin

    Gol yang tercipta pada menit ke-71 menjadi penentu kemenangan bagi tim ASEAN All Stars. Dari sebuah serangan balik cepat, Segecic yang piawai mengatur ritme permainan mengirimkan umpan terobosan yang sangat akurat. Maung Maung Lwin, dengan ketenangan dan ketajamannya, menaklukkan kiper MU Tom Heaton dengan sebuah tendangan yang tidak bisa dihalau.

    Gol ini menjadi bukti bahwa pemain Asia Tenggara mampu bersaing dan mengalahkan pemain-pemain dari liga top dunia. Sorak sorai ribuan penonton pecah saat gol itu terjadi, menandai sebuah kemenangan emosional yang menggema di seluruh kawasan.

    Pertandingan ini juga menjadi panggung bagi talenta lokal, terutama dari Indonesia yang mengirimkan dua pemain, Kakang Rudianto dan Malik Risaldi. Kakang yang masuk pada menit ke-68 langsung memberikan stabilitas di lini belakang, menjaga soliditas pertahanan yang membuat MU frustrasi sepanjang babak kedua.

    Sementara Malik Risaldi yang masuk pada menit ke-83, menambah kekuatan serangan tim ASEAN yang terus menekan hingga menit akhir pertandingan. Kehadiran para pemain ini membuktikan potensi besar sepak bola Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan.

    Meski kalah, Manchester United tidak menunjukkan permainan pasif. Mereka terus berupaya menciptakan peluang dan menekan lawan. Terutama setelah pergantian pemain yang membawa beberapa wajah muda seperti Patrick Dorgu dan Kobie Mainoo ke lapangan. Namun, ketangguhan pertahanan ASEAN All Stars dan konsistensi pemain seperti Kakang membuat upaya MU kandas.

    Salah satu momen krusial terjadi saat Adrian Segecic hampir menggandakan keunggulan bagi ASEAN. Namun tekel krusial Jonny Evans menyelamatkan MU dari kebobolan lebih dalam. Namun, waktu yang tersisa tak cukup untuk mengubah skor.

    Makna dan Dampak Kemenangan ASEAN All Stars

    Kemenangan 1-0 ini bukan sekadar hasil pertandingan, melainkan sebuah pesan kuat bagi dunia sepak bola. Asia Tenggara, yang selama ini dianggap sebagai wilayah dengan sepak bola berkembang. Kini, mampu menunjukkan taringnya melawan salah satu klub tertua dan tersukses di Eropa.

    Bagi para pemain ASEAN All Stars, ini adalah momen puncak yang membuktikan kerja keras mereka, dan hasil dari kepercayaan pelatih Ruben Amorim yang berani memadukan pengalaman dan energi muda.

    Kemenangan ini juga menjadi bukti bahwa kompetisi ekshibisi dapat menjadi panggung penting untuk menunjukkan kualitas pemain dari luar Eropa dan Amerika Latin. Para pemain ASEAN kini memiliki bukti nyata bahwa mereka bisa bersaing dengan level tertinggi.

    Bagi jutaan penggemar sepak bola di Asia Tenggara, kemenangan ini memberikan motivasi dan inspirasi besar. Tidak hanya soal hasil, tapi juga tentang keyakinan bahwa talenta-talenta dari kawasan ini dapat bersinar di level internasional.

    Kemenangan ini mendorong federasi-federasi sepak bola di kawasan untuk terus mengembangkan pemain muda dan memberi mereka peluang lebih luas untuk bersaing di level dunia.

    Pertandingan di Stadion Bukit Jalil pada 28 Mei 2025 akan dikenang sebagai malam bersejarah bagi ASEAN All Stars dan sepak bola Asia Tenggara. Maung Maung Lwin dan rekan-rekannya telah membuktikan bahwa dengan kerja keras, strategi matang, dan semangat juang, tidak ada yang mustahil.

    Meski hanya laga ekshibisi, pesan yang disampaikan oleh kemenangan ini jauh melampaui skor akhir. Ini adalah tanda bangkitnya sepak bola Asia Tenggara di panggung global. Sekaligus pembuka jalan bagi generasi pemain berikutnya untuk bermimpi lebih besar.

    Baca juga: Jonatan Christie: Tantangan di Singapore Open 2025

  • Cerita Hangat dari Komunitas Satu Persen

    Cerita Hangat dari Komunitas Satu Persen

    MANUNGSAKomunitas Satu Persen dan aksi relawan mereka hadir untuk membuktikan bahwa kepedulian masih nyata, meski dalam bentuk sederhana. Mereka menunjukkan kebaikan lewat aksi sederhana, dan membuktikan bahwa hal kecil bisa membawa dampak besar jika dilakukan dengan sepenuh hati.

    Komunitas ini hadir bukan untuk mengejar popularitas, melainkan untuk membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil. Mereka percaya bahwa memberi tidak harus menunggu kaya, dan peduli tidak butuh alasan besar. Cukup hati yang tulus dan kemauan untuk bergerak, maka dampak pun bisa terasa nyata.

    Awal yang Sederhana, Tujuan yang Mulia

    Komunitas Satu Persen berawal dari inisiatif beberapa mahasiswa di kota Malang yang resah melihat ketimpangan sosial di sekitar mereka. Banyak anak jalanan, lansia terlantar, dan keluarga prasejahtera yang luput dari perhatian. Daripada hanya mengeluh, mereka memilih untuk bergerak.

    Awalnya, mereka hanya berbagi makanan sederhana ke jalanan. Teman-teman mereka menyambut gerakan itu dengan antusias dan respon positif. Dari yang awalnya lima orang, kini komunitas ini berkembang dengan puluhan relawan aktif dan kegiatan sosial rutin.

    Kegiatan yang Menggerakkan Hati

    Salah satu kegiatan rutin mereka adalah ‘Berbagi Rasa, Berbagi Asa’, sebuah program pembagian makanan hangat setiap pekan untuk para tunawisma dan pekerja jalanan. Tapi lebih dari sekadar memberi nasi bungkus, para relawan juga menyempatkan diri untuk mengobrol, mendengarkan cerita, dan menunjukkan bahwa mereka hadir bukan sebagai pemberi bantuan, tapi sebagai sesama manusia.

    Selain itu, komunitas ini juga mengadakan program edukasi untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. Mereka membuka kelas belajar di taman kota, mengajarkan membaca, menulis, berhitung, dan nilai-nilai hidup sederhana seperti berbagi, menghargai, dan bersyukur.

    Dalam momen tertentu, seperti ramadan atau hari kemerdekaan, mereka juga membuat kegiatan kolaboratif seperti pembagian takjil, pangkas rambut gratis, hingga bazar pakaian layak pakai. Semua kegiatan itu mereka jalankan dengan gotong royong, tanpa sponsor besar, hanya dari donasi teman-teman dan hasil patungan relawan.

    Bukan Tentang Jumlah, Tapi Tentang Rasa

    Komunitas Satu Persen tidak pernah menetapkan target besar dalam setiap kegiatannya. Mereka lebih mengutamakan dampak yang berhasil mereka ciptakan daripada jumlah yang mereka berikan.

    Kesederhanaan dan ketulusan inilah yang menjadi kekuatan utama komunitas ini. Mereka tidak mengejar citra, tidak sibuk mencari pengakuan. Mereka hanya ingin hadir, mendengar, dan menunjukkan bahwa kepedulian itu masih nyata.

    Meski kegiatan mereka berjalan sederhana, dampaknya sangat terasa. Banyak penerima bantuan mengungkapkan rasa haru karena para relawan menghargai dan memperhatikan mereka. Beberapa di antaranya bahkan kini ikut membantu sebagai sukarelawan.

    Komunitas Satu Persen membuktikan bahwa siapa pun bisa terlibat dalam kebaikan. Tidak perlu terkenal, tidak harus punya banyak uang, cukup hati yang mau bergerak dan tangan yang siap bekerja. Ke depan, mereka berharap bisa menjangkau lebih banyak daerah, membangun lebih banyak ruang belajar, dan terus menjadi pengingat bahwa hidup ini tentang memberi, bukan hanya menerima.

    Cerita Hangat

    Cerita hangat dari Komunitas Satu Persen mengajarkan kita bahwa kebaikan tidak perlu ditunda. Dalam dunia yang semakin individualis, mereka hadir membawa pesan sederhana yaitu mari kembali menjadi manusia. Manusia yang peka, manusia yang peduli, dan manusia yang mau berbagi, walau hanya seratus persen dari apa yang kita punya.

    Kebaikan tidak selalu datang dari hal besar. Kadang, seseorang menciptakan kebaikan lewat senyum tulus, tangan yang rela membantu, dan langkah kecil yang diambil dengan hati. Komunitas Seratus Persen membuktikan bahwa kepedulian masih hidup dan terus menyala di tengah kesibukan dunia yang cepat.

    Anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas ini bukan orang luar biasa. Mereka adalah orang-orang biasa yang memilih untuk peduli. Mereka tahu bahwa memberi bukan tentang berapa banyak yang dimiliki, tapi tentang keberanian untuk berbagi dari apa yang ada.

    Dari komunitas ini, kita belajar bahwa semua orang bisa jadi bagian dari perubahan. Tak perlu menunggu sempurna untuk membantu. Cukup mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat, dan dari niat baik yang konsisten akan sangat berguna.

    Melalui Komunitas Seratus Persen dan aksi relawan yang konsisten, mereka terus menyalakan harapan dan menggerakkan lebih banyak orang untuk ikut berbagi.

    Baca juga: Young On Top: Anak Muda Bertumbuh dan Menginspirasi

  • “Bros Bendera”  Aksesoris Sebagai Media Solidaritas Sosial

    “Bros Bendera” Aksesoris Sebagai Media Solidaritas Sosial

    Fenomena bros bendera telah mengubah cara masyarakat mengekspresikan dukungan terhadap berbagai isu sosial dan kemanusiaan. Aksesoris kecil ini berkembang menjadi simbol kuat yang memungkinkan individu menyampaikan pesan politik dan sosial tanpa perlu berkata-kata.

    Awal Mula Gerakan

    Tren ini bermula dari kebiasaan diplomat dan pejabat negara yang mengenakan pin bendera negara mereka sebagai identitas resmi. Namun, masyarakat sipil kemudian mengadopsi praktik ini untuk tujuan berbeda. Mereka mulai mengenakan bros bendera sebagai bentuk solidaritas terhadap negara-negara yang sedang mengalami konflik atau krisis kemanusiaan.

    Selanjutnya, penggunaan meluas ke berbagai simbol lain seperti pita awareness, logo organisasi kemanusiaan, hingga simbol perdamaian. Setiap simbol bawa pesan spesifik yang ingin disampaikan pemakainya kepada lingkungan sekitar.

    Silent Protest dalam Kehidupan Sehari-hari

    Bros bendera memungkinkan masyarakat melakukan “silent protest” yang efektif namun tidak konfrontatif. Seseorang yang mengenakan bros bendera Ukraina, misalnya, secara tidak langsung menyatakan dukungannya terhadap kedaulatan negara tersebut. Begitu pula dengan mereka yang mengenakan bros dengan simbol perdamaian, secara halus mengkampanyekan anti-kekerasan.

    Metode ini menjadi pilihan ideal bagi mereka yang ingin menyuarakan pendapat namun berada dalam lingkungan yang tidak memungkinkan ekspresi politik terbuka. Akibatnya, menjadi alat komunikasi non-verbal yang powerful dalam menyampaikan stance politik seseorang.

    Solidaritas Tanpa Batas Geografis

    Fenomena ini menunjukkan bagaimana solidaritas global dapat mewujudkan melalui aksesoris sederhana. Seseorang di Jakarta dapat menunjukkan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan di negara lain hanya dengan mengenakan bros bendera. Demikian pula, mereka dapat mengekspresikan kepedulian terhadap isu lingkungan global melalui pin dengan simbol bumi atau daun hijau.

    Lebih lanjut, bros bendera menciptakan sense of community di antara orang-orang yang memiliki kepedulian serupa. Ketika seseorang melihat orang lain mengenakan bros yang sama, terbentuk koneksi instan tanpa perlu percakapan panjang.

    Dampak Psikologis dan Sosial Bros bendera

    Mengenakan bros bendera memberikan dampak psikologis positif bagi pemakainya. Mereka merasa telah berkontribusi dalam menyuarakan isu penting, meskipun dalam skala kecil. Perasaan ini mendorong mereka untuk lebih aktif mencari informasi tentang isu yang mereka dukung.

    Sementara itu, dari perspektif sosial, membantu meningkatkan awareness masyarakat terhadap berbagai isu global. Orang-orang yang melihat simbolis ini terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentang pesan yang ingin disampaikan.

    Evolusi dalam Era Digital Bros bendera

    Era media sosial memperkuat dampak sebagai media solidaritas. Foto seseorang yang mengenakan bros dengan simbol tertentu dapat viral dan menjadi trending topic, sehingga memperluas jangkauan pesan yang ingin disampaikan.

    Bahkan, beberapa influencer dan public figure menggunakan sebagai bagian dari personal branding mereka. Mereka secara konsisten mengenakan simbol-simbol yang selaras dengan nilai-nilai yang mereka perjuangkan, menciptakan image sebagai aktivis sosial.

    Meskipun memiliki dampak positif, fenomena ini juga mendapat kritik. Sebagian pihak menganggap penggunaan sebagai bentuk “performative activism” yang tidak disertai tindakan nyata. Mereka berpendapat bahwa solidaritas sejati memerlukan aksi konkret, bukan sekadar simbolis.

    Terlepas dari kritik tersebut, bros bendera tetap menjadi medium ekspresi yang powerful dalam landscape aktivisme modern, membuktikan bahwa perubahan sosial dapat dimulai dari hal-hal kecil namun bermakna.

    Baca juga : Langkah Bersama: Komunitas Girls on Path Malang

  • Peduly Malang: Tumbuh Bersama, Bergerak untuk Sesama

    Peduly Malang: Tumbuh Bersama, Bergerak untuk Sesama

    MANUNGSA – Di tengah kesibukan dan dinamika kota, sekelompok anak muda di Malang memilih untuk peduli. Melalui komunitas Peduly Malang, mereka bergerak bersama, menyentuh kehidupan banyak orang lewat aksi sosial yang sederhana namun berdampak besar.

    Awal Mula: Dari Kepedulian Kecil Menjadi Gerakan Nyata

    Peduly Malang berdiri pada tahun 2019. Berawal dari keinginan sederhana untuk membantu sesama, komunitas ini perlahan berkembang menjadi ruang berkumpulnya anak-anak muda yang ingin terlibat aktif dalam perubahan sosial.

    Gerakan ini tidak lahir dari lembaga besar atau sponsor, tetapi dari kekuatan solidaritas dan semangat gotong royong. Anggotanya datang dari berbagai latar belakang mahasiswa, pekerja muda, dan relawan yang memiliki satu tujuan: membuat hidup orang lain sedikit lebih baik.

    Bergerak Lewat Aksi Nyata

    Peduly Malang aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, mulai dari penggalangan dana, pembagian sembako, edukasi kesehatan, kelas belajar gratis, hingga aksi bersih lingkungan. Mereka mendatangi kampung-kampung padat, rumah singgah, dan daerah yang jarang tersentuh bantuan.

    Salah satu kegiatan rutin mereka adalah Peduly Class, yaitu kelas belajar gratis untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. Para relawan mengajar membaca, berhitung, hingga mendongeng untuk meningkatkan minat baca. Kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi anak-anak, tetapi juga memberi pengalaman berarti bagi para relawan.

    Tumbuh Bersama Komunitas

    Bagi para anggotanya, Peduly bukan sekadar komunitas sosial, tetapi tempat belajar tentang empati, kepemimpinan, dan kerja tim. Setiap kegiatan menjadi ruang untuk saling mendukung, saling belajar, dan saling menguatkan.

    Kebersamaan dalam komunitas ini menciptakan ikatan yang kuat. Banyak relawan yang awalnya hanya ingin “mencoba”, kini justru menjadikan Peduly sebagai bagian penting dari hidup mereka.

    Kekuatan utama Peduly Malang terletak pada cara mereka menghadirkan harapan. Mereka tidak datang sebagai pahlawan, tetapi sebagai teman yang hadir untuk mendengarkan dan membantu sebisanya. Pendekatan ini membuat mereka diterima hangat oleh masyarakat.

    Dalam beberapa kasus, mereka bahkan berhasil membantu anak-anak kembali ke sekolah, membantu warga mendapatkan akses layanan kesehatan, atau memperbaiki rumah yang tidak layak huni.

    Semangat Kolaborasi

    Peduly Malang juga terbuka terhadap kolaborasi. Mereka bekerja sama dengan organisasi lain, sekolah, kampus, dan komunitas lokal untuk memperluas jangkauan aksi. Mereka percaya bahwa perubahan sosial akan lebih kuat jika dilakukan bersama.

    Melalui Peduly Malang, para relawan ingin mengajak lebih banyak anak muda untuk peduli dan terlibat. Menurut mereka, usia muda adalah masa terbaik untuk belajar memberi dan membangun empati.

    Peduly Malang hadir bukan sebagai solusi tunggal atas masalah sosial, tapi sebagai pengingat bahwa perubahan dimulai dari langkah kecil. Dari satu aksi, tumbuh semangat. Dari satu komunitas, tumbuh harapan. Dan dari kepedulian, lahir gerakan yang mampu menyentuh banyak hati.

    Baca juga: Langkah Bersama: Komunitas Girls on Path Malang

  • Langkah Bersama: Komunitas Girls on Path Malang

    Langkah Bersama: Komunitas Girls on Path Malang

    MANUNGSA – Puluhan perempuan di Malang melangkah bersama lewat komunitas Girls on Path. Mereka berlari, saling menyemangati, dan menunjukkan bahwa hidup sehat bisa dimulai dari langkah kecil.

    Setiap Minggu pagi di Kota Malang, puluhan perempuan berkumpul di satu titik, mengenakan pakaian olahraga, tersenyum hangat, dan siap berlari. Mereka bukan atlet profesional, bukan pula peserta lomba. Mereka adalah bagian dari komunitas ‘Girls on Path’, sebuah gerakan perempuan yang tidak hanya mengusung semangat hidup sehat, tetapi juga mendorong perempuan untuk berdaya dan saling mendukung. Semua itu mereka wujudkan lewat satu langkah sederhana, yaitu berlari bersama.

    Komunitas ini lahir dari keresahan sekaligus harapan. Banyak perempuan ingin mulai hidup sehat, tapi merasa sendirian. Ada yang takut dipandang aneh saat lari sendirian di jalan, ada yang bingung harus mulai dari mana, dan tak sedikit pula yang kehilangan motivasi karena lingkungan tak mendukung.

    Tempat Aman dan Nyaman untuk Bergerak

    “Awalnya saya cuma ingin punya teman lari,” ungkap Fani, salah satu pendiri Girls on Path Malang. “Tapi lama-lama saya sadar, ternyata banyak perempuan punya keresahan yang sama.”

    Dari situ, mereka mulai mengajak orang terdekat untuk lari bareng. Tidak ada target jarak, tidak ada tekanan, yang penting bergerak. Semakin hari, jumlah peserta bertambah. Mereka mulai rutin mengadakan sesi lari mingguan, berbagi tips kesehatan, bahkan mengundang narasumber untuk ngobrol soal isu perempuan dan kesehatan mental.

    Girls on Path bukan sekadar komunitas olahraga. Girls on Path membuat ruang aman yang memungkinkan perempuan menjadi diri sendiri tanpa takut dibandingkan, atau dituntut sempurna. Setiap langkah yang mereka ambil bersama adalah bentuk dukungan satu sama lain.

    Lebih dari Sekadar Lari

    Bagi banyak anggota, Girls on Path memberi dampak lebih dari sekadar kesehatan fisik. Lari menjadi jembatan untuk mengenal diri sendiri, memperluas pertemanan, dan membangun kepercayaan diri.

    Mereka percaya bahwa olahraga bukan hanya tentang menurunkan berat badan atau mengejar standar kecantikan. Bagi mereka, olahraga adalah bentuk merawat tubuh, mencintai diri sendiri, dan bersyukur atas kesehatan. Yang membuat Girls on Path istimewa adalah suasana kebersamaannya. Tidak ada hierarki, tidak ada keharusan, tidak ada kompetisi. Semua perempuan, dari berbagai latar belakang, usia, dan kondisi fisik, diterima dengan hangat.

    Selain itu, mereka juga aktif di media sosial dengan membagikan cerita para anggota, jadwal kegiatan, serta edukasi seputar hidup sehat dan isu perempuan. Tak hanya itu, kegiatan mereka mencakup lari santai, yoga outdoor, diskusi komunitas, hingga kampanye kesadaran mental health.

    Mendorong Perempuan untuk Bergerak

    Tujuan besar Girls on Path adalah mendorong lebih banyak perempuan untuk mulai bergerak, secara harfiah maupun makna yang lebih dalam. Bergerak melawan rasa takut, bergerak keluar dari zona nyaman, bergerak menuju kehidupan yang lebih sehat dan bahagia.

    Komunitas ini juga terbuka untuk siapa saja. Tidak harus punya pengalaman lari, tidak harus berbadan atletis. Yang dibutuhkan hanya niat dan keberanian untuk memulai. Girls on Path Malang perlahan tumbuh menjadi inspirasi. Beberapa kota mulai mengikuti jejak mereka, membentuk komunitas serupa dengan semangat yang sama seperti membangun perempuan lewat olahraga dan kebersamaan.

    Dari sekadar lari pagi, tumbuh solidaritas, kepedulian, dan semangat untuk hidup lebih sehat secara fisik maupun emosional. Melalui Girls on Path, perempuan Malang membuktikan bahwa kekuatan bisa tumbuh dari kebersamaan. Bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, bisa menjadi awal dari perubahan besar.

    Baca juga: Dr. Tirta: Olahraga sebagai Wujud Syukur atas Kesehatan

  • Dewi Sartika Pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia

    Dewi Sartika Pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia

    Konteks Sejarah dan Signifikansi

    Dewi Sartika (4 December 1884 – 11 September 1947) yang mendirikan sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda. Dalam konteks sejarah Indonesia kolonial, sosok Dewi Sartika pelopor pendidikan perempuan Indonesia, muncul sebagai pionir revolusioner yang mendobrak tatanan sosial patriarkis yang telah mengakar berabad-abad. Kehadirannya bukan hanya sebagai pendidik, tetapi sebagai agen perubahan sosial yang memahami bahwa pendidikan adalah kunci utama emansipasi perempuan. Nama sekolah yang ia buat yaitu Sekolah Kautamaan Istri.

    Era kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode transisi penting dalam sejarah Indonesia. Pemerintah kolonial mulai membuka akses pendidikan melalui politik etis, namun mereka tetap membatasi dan mendiskriminasi perempuan pribumi. Dalam konteks inilah Dewi Sartika mengambil peran sebagai pelopor yang berani menantang status quo.

    Silsilah Keluarga dan Latar Belakang Sosial-Ekonomi

    Dewi Sartika was born to Sundanese noble parents, R. Rangga Somanagara and R. A. Rajapermas in Cicalengka on 4 December 1884. Ayahnya, Raden Rangga Somanagara, adalah seorang priyayi yang memiliki pandangan progresif untuk ukuran zamannya. Ayahnya merupakan seorang priyayi yang sudah maju pada waktu itu, yang memahami pentingnya pendidikan tidak hanya untuk laki-laki tetapi juga perempuan.

    Ibu Dewi Sartika, Raden Ayu Rajapermas, berasal dari keluarga bangsawan Sunda yang memiliki pengaruh di wilayah Priangan. Silsilah keluarga ini penting untuk dipahami karena memberikan Dewi Sartika akses terhadap pendidikan dan jaringan sosial yang memungkinkannya untuk merealisasikan visi pendidikannya.

    Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara, yang menunjukkan bahwa ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang cukup besar dan dinamis. Posisinya sebagai anak kedua memberikan perspektif unik tentang dinamika keluarga dan peran gender dalam masyarakat Sunda tradisional.

    Keluarga Somanagara memiliki tanah dan kedudukan yang memungkinkan mereka untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Namun, yang membedakan keluarga ini adalah visi progresif mereka tentang pendidikan perempuan, yang tidak umum pada masa itu.

    Pendidikan Formal dan Informal: Pembentukan Karakter Intelektual

    Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia termasuk murid yang cerdas. Pendidikan formalnya di sekolah pemerintah kolonial memberikan fondasi akademik yang kuat, termasuk kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Belanda dan Melayu.

    Namun, pendidikan informal yang diterimanya dari lingkungan keluarga dan budaya Sunda tidak kalah pentingnya. She received an education in Sundanese culture while under his care setelah ayahnya meninggal dan ia tinggal dengan pamannya. Pendidikan budaya Sunda ini memberikan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai tradisional, yang kemudian ia padukan dengan pemikiran modern dalam konsep pendidikannya.

    Pulang sekolah ia mengajak beberapa orang gadis anak pelayan dan pegawai untuk bermain sekolah-sekolahan, di mana ia berperan sebagai guru. Aktivitas ini menunjukkan bakat natural dan panggilan jiwa sebagai pendidik yang sudah muncul sejak usia dini.

    Pengalaman bermain “guru-guruan” ini memberikan insight penting tentang metodologi pengajaran yang kemudian ia kembangkan. Ia belajar bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak dari berbagai latar belakang sosial, termasuk anak-anak pelayan yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Yang akhirnya ia dikenal sebagai Dewi Sartika pelopor pendidikan perempuan Indonesia.

    Konteks Politik dan Sosial Era Kolonial

    Untuk memahami signifikansi perjuangan Dewi Sartika, penting untuk menganalisis konteks politik dan sosial era kolonial. Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan Politik Etis sebagai respons terhadap kritik internasional tentang eksploitasi kolonial.

    Politik Etis mencakup tiga pilar utama: edukasi, irigasi, dan emigrasi. Namun, implementasi kebijakan edukasi masih sangat terbatas dan elitis. Sekolah-sekolah yang tersedia umumnya hanya untuk anak-anak priyayi dan pedagang kaya, dengan prioritas utama pada laki-laki.

    Kondisi perempuan pribumi pada masa itu sangat memprihatinkan. Norma-norma sosial tradisional membatasi mereka dengan menempatkan perempuan sebagai “konco wingking” (teman belakang) yang hanya bertugas mengurus urusan domestik.








    Tingkat buta huruf di kalangan perempuan mencapai hampir 100%, yang mencerminkan ketimpangan gender yang sangat ekstrem.

    Dalam konteks inilah visi Dewi Sartika menjadi sangat revolusioner. Ia tidak hanya ingin memberikan pendidikan kepada perempuan, tetapi juga mengubah paradigma sosial tentang peran dan kapasitas perempuan dalam masyarakat.

    Pendirian Sekolah Isteri

    Pada 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga mendapatkan dukungan dari Kakeknya, Raden Agung A Martanegara dan seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer. Tanggal 16 Januari 1904 menjadi tonggak sejarah pendidikan perempuan Indonesia, ketika Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah Isteri.

    Pemilihan nama “Sekolah Isteri” sangat strategis dan simbolis. Kata “isteri” dalam bahasa Melayu menunjukkan penghormatan terhadap peran perempuan sebagai istri, namun sekaligus memperluas definisi peran tersebut untuk mencakup dimensi intelektual dan sosial yang lebih luas.

    Dukungan dari kakeknya, Raden Agung A Martanegara, memberikan legitimasi sosial dan politik yang sangat penting. Sebagai tokoh bangsawan yang dihormati, dukungannya membantu mengurangi resistensi dari masyarakat tradisional yang skeptis terhadap pendidikan perempuan.

    Keterlibatan Den Hamer, seorang Inspektur Kantor Pengajaran Belanda, menunjukkan bahwa proyek ini mendapat dukungan resmi dari pemerintah kolonial. Hal ini penting untuk memahami dinamika politik kolonial, di mana pemerintah Belanda mulai mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap pendidikan pribumi sebagai bagian dari Politik Etis.

    Kurikulum Sekolah Isteri dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan praktis perempuan pada masa itu, namun juga mempersiapkan mereka untuk peran yang lebih aktif dalam masyarakat. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi:

    1. Literasi Dasar: Membaca dan menulis dalam aksara Latin dan Arab-Melayu
    2. Numerasi: Berhitung dan matematika praktis untuk keperluan rumah tangga dan perdagangan
    3. Pendidikan Agama: Mengaji dan pengetahuan dasar Islam
    4. Keterampilan Domestik: Memasak, menjahit, dan manajemen rumah tangga
    5. Keterampilan Ekonomi: Kerajinan tangan yang dapat menghasilkan income
    6. Kesehatan dan Kebersihan: Pengetahuan dasar tentang kesehatan keluarga

    Sekolah Kaoetamaan Isteri memiliki motto dari bahasa Sunda “cageur, bageur, bener, singer, pinter” yang artinya “sehat, baik hati, benar, mawas diri, pintar”. Motto ini mencerminkan filosofi pendidikan holistik yang mengintegrasikan aspek fisik, moral, spiritual, dan intelektual.

    Perkembangan dan Ekspansi: Dari Lokal ke Regional

    Keberhasilan Sekolah Isteri segera menarik perhatian luas. jumlah murid terus bertambah. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah Hindia Belanda, sekolah ini berkembang pesat dan membuka cabang di beberapa kota di Jawa Barat.

    Pada tahun 1910, nama sekolah diubah menjadi “Sekolah Kaoetamaan Isteri” (Sekolah Keutamaan Perempuan), yang menunjukkan evolusi konsep dan visi pendidikan. Perubahan nama ini juga mencerminkan pengakuan resmi dari pemerintah kolonial dan peningkatan status kelembagaan.

    Pada tahun 1910, Sekolah Kautamaan Istri telah menjadi model pendidikan perempuan yang banyak diadopsi di daerah wilayah lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa model pendidikan yang dikembangkan Dewi Sartika tidak hanya berhasil secara lokal, tetapi juga menjadi template untuk pengembangan pendidikan perempuan di seluruh Nusantara.

    Data Statistik dan Dampak Kuantitatif

    Meskipun data statistik lengkap sulit diperoleh karena keterbatasan dokumentasi era kolonial, beberapa indikator menunjukkan kesuksesan yang luar biasa:

    • Pada tahun pertama (1904), sekolah dimulai dengan sekitar 20 siswa
    • Pada tahun 1910, jumlah siswa telah mencapai ratusan orang
    • Hingga tahun 1920, terdapat sembilan cabang sekolah di berbagai kota di Jawa Barat
    • Alumni sekolah banyak yang menjadi guru, pengusaha kecil, dan aktivis sosial

    Jaringan Cabang dan Sebaran Geografis

    Ekspansi Sekolah Kaoetamaan Isteri ke berbagai daerah di Jawa Barat menciptakan jaringan pendidikan perempuan yang sangat penting. Cabang-cabang sekolah didirikan di:

    1. Bandung (pusat): Sekolah utama dan model
    2. Bogor: Melayani wilayah Bogor dan sekitarnya
    3. Sukabumi: Fokus pada daerah pegunungan Sukabumi
    4. Cianjur: Mengembangkan pendidikan di wilayah Cianjur
    5. Garut: Menjangkau daerah Garut dan Tasikmalaya
    6. Subang: Melayani wilayah pantai utara Jawa Barat
    7. Karawang: Fokus pada daerah pertanian Karawang
    8. Purwakarta: Mengembangkan pendidikan di wilayah Purwakarta
    9. Majalengka: Menjangkau wilayah timur Jawa Barat

    Tantangan

    1. Kalangan Konservatif Tradisional Kelompok ini menganggap pendidikan perempuan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional Jawa dan Sunda. Mereka khawatir bahwa perempuan yang berpendidikan akan mengabaikan tugas-tugas domestik dan menantang otoritas suami.

    2. Pemimpin Agama Konservatif Sebagian ulama konservatif menganggap pendidikan perempuan di sekolah umum dapat mengganggu nilai-nilai keagamaan dan menyebabkan perempuan menjadi “kebarat-baratan”.

    3. Kalangan Priyayi Tradisional Beberapa priyayi khawatir bahwa pendidikan perempuan akan mengubah struktur sosial yang sudah mapan dan mengurangi status mereka sebagai pemimpin masyarakat.

    Metodologi Pengajaran

    Pendekatan Student-Centered Learning

    Jauh sebelum konsep student-centered learning menjadi popular dalam dunia pendidikan modern, Dewi Sartika sudah menerapkan pendekatan yang menempatkan siswa sebagai pusat proses pembelajaran. Ia memahami bahwa setiap siswa memiliki latar belakang, kemampuan, dan kebutuhan yang berbeda.

    Pembelajaran Berbasis Komunitas

    Sekolah Kaoetamaan Isteri tidak beroperasi dalam isolasi, tetapi terintegrasi dengan komunitas lokal. Siswa sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, yang memberikan mereka pengalaman praktis dalam kepemimpinan dan organisasi.

    Pendidikan Karakter Holistik

    Motto “cageur, bageur, bener, singer, pinter” menunjukkan komitmen terhadap pendidikan karakter yang holistik. Dewi Sartika memahami bahwa pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan nilai-nilai.

    Dampak Sosial dan Transformasi Masyarakat

    Perubahan Persepsi tentang Peran Perempuan

    Kehadiran Sekolah Kaoetamaan Isteri dan kesuksesan alumni-alumninya secara bertahap mengubah persepsi masyarakat tentang kapasitas dan peran perempuan. Perempuan mulai dilihat bukan hanya sebagai “konco wingking”, tetapi sebagai partner yang dapat berkontribusi pada kemajuan keluarga dan masyarakat.

    Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

    Alumni sekolah banyak yang menjadi entrepreneur kecil, membuka usaha jahit, kuliner, atau kerajinan tangan. Hal ini memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi keluarga dan komunitas lokal. Beberapa alumni bahkan menjadi guru di sekolah-sekolah lain, memperluas jaringan pendidikan perempuan.

    Peningkatan Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga

    Pendidikan kesehatan dan kebersihan yang diberikan di sekolah berdampak positif pada kesehatan keluarga dan komunitas. Alumni sekolah menjadi agen perubahan dalam praktik-praktik kesehatan di lingkungan mereka.

    Kontribusi terhadap Gerakan Nasional

    Hubungan dengan Tokoh-Tokoh Nasional

    Dewi Sartika memiliki hubungan dengan berbagai tokoh pergerakan nasional, meskipun fokus utamanya adalah pendidikan. Ia memahami bahwa pendidikan perempuan adalah bagian integral dari perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

    Pengaruh terhadap Gerakan Emansipasi

    Karya Dewi Sartika memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh emansipasi perempuan lainnya di berbagai daerah. Model pendidikan yang dikembangkannya menjadi referensi untuk pengembangan pendidikan perempuan di daerah lain.

    Kontribusi terhadap Pembentukan Identitas Nasional

    Melalui pendidikan, Dewi Sartika berkontribusi terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia. Alumni sekolahnya menjadi bagian dari generasi yang kemudian terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

    Pengakuan dan Penghargaan

    Pengakuan Nasional

    She was honoured as a National Hero of Indonesia in 1966. Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966 merupakan apresiasi resmi negara terhadap kontribusinya dalam pendidikan dan emansipasi perempuan.

    Monumentalisasi dan Memorialisasi

    Berbagai pihak mengabadikan nama Dewi Sartika dalam bentuk nama jalan, sekolah, universitas, dan beragam fasilitas publik. Hal ini menunjukkan pengakuan masyarakat terhadap warisan dan kontribusinya.

    Pengakuan Internasional

    Akademisi internasional yang meneliti sejarah pendidikan dan gerakan perempuan di Asia Tenggara mulai memberikan perhatian pada karya Dewi Sartika, meskipun namanya belum seterkenal tokoh-tokoh lain di dunia.

    Kritik dan Evaluasi Historis

    Keterbatasan Jangkauan

    Salah satu kritik terhadap karya Dewi Sartika adalah keterbatasan jangkauan geografis dan sosial. Sekolah-sekolahnya terutama melayani wilayah Jawa Barat dan kalangan menengah ke atas, sementara perempuan dari kalangan bawah dan daerah terpencil masih sulit mengakses pendidikan.

    Akomodasi terhadap Sistem Kolonial

    Beberapa kritikus berpendapat bahwa Dewi Sartika terlalu akomodatif terhadap sistem kolonial Belanda. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa strategi pragmatisnya memungkinkan pencapaian tujuan pendidikan dalam konteks yang sangat terbatas.

    Fokus pada Perempuan Elite

    Meskipun berupaya melayani berbagai kalangan, dalam praktiknya sekolah-sekolah Dewi Sartika masih lebih mudah diakses oleh perempuan dari kalangan menengah ke atas yang memiliki waktu dan sumber daya untuk bersekolah.

    Metodologi Penelitian dan Sumber Sejarah

    Tantangan Dokumentasi

    Penelitian tentang Dewi Sartika menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan dokumen historis. Banyak catatan dan dokumen yang hilang atau rusak akibat perang dan bencana alam. Hal ini membuat rekonstruksi sejarah yang komprehensif menjadi challenging.

  • Imbauan bagi Pelajar RI Imbas Kebijakan Baru Visa AS

    Imbauan bagi Pelajar RI Imbas Kebijakan Baru Visa AS

    Malang (30/05) Kemendiktisaintek merespons keputusan Amerika Serikat yang menangguhkan sementara proses pengajuan visa pelajar internasional. Pemerintah Indonesia mengeluarkan imbauan khusus kepada pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat untuk kebijakan visa AS.

    Wakil Menteri Pendidikan, Sains, dan Teknologi, Stella Christie menyampaikan imbauan kepada para pelajar Indonesia yang saat ini berada di Amerika Serikat agar menunda rencana bepergian ke luar wilayah AS hingga ada kepastian lebih lanjut.

    KBRI Washington mengimbau mahasiswa Indonesia pemegang visa F-1 dan J-1 lebih berhati-hati terhadap ketentuan imigrasi. Imbauan tersebut keluar seiring meningkatnya tindakan pencabutan visa pelajar internasional oleh otoritas imigrasi AS.

    Oleh sebabitu KBRI menyarankan pelajar Indonesia di Amerika Serikat menunda rencana bepergian keluar wilayah hingga kepastian kebijakan. Mahasiswa Indonesia direkomendasikan segera menghubungi Designated School Office apabila terjadi perubahan status atau kendala imigrasi.

    Mahasiswa anjurkan berkonsultasi dengan pengacara profesional dan tidak kembali tanpa visa F-1 atau J-1 sah. Kebijakan baru merupakan bagian perketat akses pemerintah AS termasuk pembatasan visa pelajar dan ekspor teknologi.

    Langkah tersebut sebagai respons pemerintah AS terhadap isu keamanan nasional dan teknologi strategis. KBRI meminta mahasiswa Indonesia tetap menjaga komunikasi dengan perwakilan diplomatik Indonesia dan melaporkan kendala.

    Pemerintah Indonesia berkomitmen Kebijakan Baru Visa AS memberikan bantuan dan perlindungan bagi warga negara yang menempuh pendidikan luar negeri. Pelajar himbau memantau perkembangan terbaru melalui situs resmi kedutaan dan konsulat Indonesia di AS.

    Kemendiktisaintek menegaskan telah menyiapkan langkah strategis memastikan keberlanjutan studi penerima beasiswa dan LoA institusi AS. Langkah tersebut tampil sebagai antisipasi dampak kebijakan baru terhadap kelancaran program pendidikan mahasiswa Indonesia.

    Baca juga : Presiden Prancis Emmanuel Macron Tiba di Indonesia

  • Harapan yang Dirajut di Serat Noken: Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua

    Harapan yang Dirajut di Serat Noken: Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua

    Perayaan Iman yang Menyatu dengan Budaya Papua

    Di antara kehijauan pegunungan Papua dan dentuman tifa yang bergema dari rumah-rumah tradisional, komunitas umat Katolik berkumpul merayakan Hari Iman dengan cara yang khas. Yang membuat perayaan ini berbeda dari upacara keagamaan di tempat lain adalah integrasi yang erat dengan warisan budaya setempat. Tas tradisional noken terlihat di pundak para perempuan, anak-anak melantunkan pujian dengan melodi tradisional, dan pemimpin rohani mengenakan pakaian liturgi yang dihiasi corak khas Papua.

    Perayaan keagamaan ini melampaui sekadar ritual ibadah. Ia menjadi titik temu antara dua elemen yang kerap dianggap terpisah: spiritualitas dan tradisi lokal. Di tanah Papua, keduanya tidak hanya berdampingan, tetapi melebur menjadi satu.

    Noken: Lebih dari Sekadar Aksesori

    Noken bukanlah semata-mata tas anyaman yang dikenakan di kepala atau bahu. Bagi masyarakat Papua, noken menyimpan filosofi yang dalam sebagai lambang kehidupan, harapan, dan ikatan komunal. Wajar jika noken menjadi bagian integral dari upacara keagamaan. Pastor Marthen Arebo dari Wamena menjelaskan kepada BBC Indonesia bahwa “Noken mengajarkan tentang berbagi tanggung jawab bersama.”

    Sejak UNESCO mengakuinya sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2012, noken telah menjadi penghubung antara nilai-nilai leluhur dan kehidupan modern. Setiap tanggal 4 Desember memperingati sebagai Hari Noken untuk menghormati warisan budaya ini. Dalam praktik keagamaan Katolik daerah Papua, menggunakan noken untuk membawa persembahan atau melengkapi busana misa, menunjukkan bahwa spiritualitas berkembang dalam konteks budaya.

    Liturgi yang Berakar pada Tradisi

    Pada gereja-gereja terpencil seperti yang terdapat Keuskupan Agung Merauke, menyelenggarakan misa dengan nyanyian liturgi menggunakan bahasa setempat dan irama musik tradisional. Paduan suara tampil dengan pakaian adat, sementara prosesi membawa salib mengiringi tarian. Pendekatan ini bukan tanpa landasan. Gereja Katolik di Papua telah lama menerapkan inkulturasi, yaitu memadukan kekayaan budaya lokal dengan nilai-nilai Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua.

    Uskup Agats, Mgr Aloysius Murwito, OFM, menyatakan kepada media Katolikana bahwa iman yang berakar pada budaya akan lebih kokoh. “Evangelisasi bukan tentang mengganti budaya, melainkan mencerahinya dengan cahaya Injil,” katanya.

    Optimisme di Tengah Kesulitan

    Meski perayaan berlangsung meriah, umat Katolik Papua menghadapi berbagai tantangan berat. Keterisolasian geografis, terbatasnya akses pendidikan, serta konflik sosial-politik menjadi bagian dari kenyataan sehari-hari. Dalam kesederhanaan dan keteguhan iman, mereka menemukan daya tahan.

    Suster Elvira dari Kongregasi Putri Reinha Rosari yang melayani di pedalaman Yahukimo menceritakan bahwa anak-anak Papua belajar berdoa sambil menganyam noken. “Kami mengajarkan mereka tentang doa, kasih sayang, sekaligus kebanggaan akan budaya mereka. Anak-anak memahami bahwa Tuhan ada dalam kehidupan mereka,” tuturnya.

    Dalam perayaan Hari Iman tahun ini, anak-anak mempersembahkan noken buatan mereka sendiri sebagai wujud kasih kepada sesama dan alam. Gesture sederhana penuh dengan makna.

    Noken dan Keberlanjutan Iman

    Melalui karya pastoral dan budaya, Gereja Katolik di Papua tidak hanya memelihara iman, tetapi juga memastikan kelestarian budaya. Banyak pastor dan pemimpin adat berkolaborasi dalam mendokumentasikan dan mengajarkan tentang noken serta bahasa daerah kepada generasi muda.

    Keuskupan Jayapura mengembangkan program Sekolah Alam Noken, tempat anak-anak mempelajari keterampilan membuat noken sambil mendalami Kitab Suci dalam konteks lokal. Program ini melibatkan para ibu Papua, tokoh adat, dan komunitas religius, dengan keyakinan bahwa iman akan semakin kuat jika dibungkus dalam identitas yang utuh.

    Iman yang Merangkul, Bukan Menggantikan

    Catatan sejarah menunjukkan bahwa kehadiran Gereja Katolik di Papua sejak awal abad ke-20 telah mengalami berbagai dinamika. Pernah ada masa ketika budaya lokal “kurang sakral.” Namun kini, Gereja belajar dari pengalaman dan memilih merangkul budaya, bukan menggantinya.

    Dalam misa besar Hari Iman di Sentani tahun ini, seorang imam muda, Pastor Mikael Pigai, menyampaikan homili dalam bahasa daerah Mee. Jemaat merespons dengan tawa, tangis, dan amin yang penuh semangat. “Tuhan berbicara dalam bahasa kita. Ia hadir dalam tifa, dalam noken, dan dalam hati kita,” kata Pastor Mikael, yang merupakan putra asli Papua.

    Perayaan iman umat Katolik di Papua tidak hanya mencerminkan kesetiaan pada ajaran gereja, tetapi juga kebanggaan terhadap identitas budaya. Noken menjadi lebih dari sekadar objek: ia adalah lambang bagaimana iman dan adat dapat berjalan beriringan secara harmonis.

    Di tengah berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan politik, umat Katolik Papua terus merajut harapan dalam setiap serat noken. Dengan tenang, mereka menunjukkan kepada dunia bahwa iman yang hidup bukanlah yang terputus dari akarnya, melainkan yang tumbuh dari tanah.

    Baca juga: FamilyMart Indonesia Luncurkan Program “Satu Kopi, Satu Aksi”

  • FamilyMart Indonesia Luncurkan Program “Satu Kopi, Satu Aksi”

    FamilyMart Indonesia Luncurkan Program “Satu Kopi, Satu Aksi”

    Gerai-gerai FamilyMart di seluruh Indonesia memulai sebuah gerakan sederhana namun revolusioner. Ketika pelanggan menikmati secangkir Kopi Susu Keluarga kesukaan mereka, secara tak langsung mereka turut berkontribusi dalam aksi pembersihan sungai yang tercemar sampah plastik. PT Fajar Mitra Indah (FamilyMart Indonesia) FamilyMart Indonesia luncurkan program “Satu Kopi, Satu Aksi” sebagai bagian dari peringatan Hari Bumi 2025.

    Kolaborasi Strategis dengan Pandawara Group

    Program inovatif ini tidak berjalan dalam ruang hampa. FamilyMart menggandeng Pandawara Group, komunitas anak muda yang dikenal konsisten dalam gerakan pembersihan sungai. Kolaborasi ini bukan sekadar event sesaat, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menciptakan dampak lingkungan yang berkelanjutan.

    Puncak kegiatan yang berlangsung pada 30 April 2025 di wilayah Jabodetabek membuahkan hasil yang mencengangkan. Dalam satu hari aksi bersih-bersih sungai, tim gabungan berhasil mengangkat total 8 ton sampah dari aliran sungai yang tercemar. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi nyata dari krisis sampah plastik yang mengancam ekosistem perairan Indonesia.

    “Kami ingin mengambil langkah nyata dalam pelestarian sungai dan lingkungan sekitar. Namun, kami menyadari tidak bisa berjalan sendiri. “Kami memerlukan kerja sama dari berbagai pihak—masyarakat, komunitas, dan pelanggan,” ungkap CEO FamilyMart Indonesia, Wirry Tjandra.

    Revolusi Circular Economy dalam Retail

    FamilyMart Indonesia luncurkan program berbeda dari gerakan lingkungan konvensional karena menerapkan pendekatan circular economy. FamilyMart tidak membiarkan sampah yang berhasil dikumpulkan berakhir di tempat pembuangan akhir seperti biasa. Sebaliknya, FamilyMart bekerja sama dengan mitra pengelola sampah khusus untuk memilah dan mendaur ulang setiap ton sampah sesuai standar ketat.

    Tahap selanjutnya merupakan inovasi yang paling menarik. Sampah plastik yang telah melalui proses pengolahan dikirimkan ke Robries, perusahaan yang mengkhususkan diri dalam teknologi upcycling. Di sini, limbah plastik bertransformasi menjadi produk-produk fungsional seperti meja dan kursi ramah lingkungan dengan desain yang menarik.

    Produk-produk hasil upcycling ini kemudian dipajang di berbagai gerai FamilyMart sebagai living museum yang mendidik pelanggan tentang potensi transformasi sampah. Setiap furnitur yang terpajang menceritakan kisah perjalanan sampah dari sungai yang tercemar hingga menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.

    Edukasi Melalui Experience Economy

    Strategi FamilyMart tidak berhenti pada aspek pengumpulan dan pengolahan sampah. Perusahaan ini memahami bahwa perubahan perilaku masyarakat membutuhkan pendekatan experience economy yang dapat menyentuh emosi dan membangun kesadaran.

    Dengan memajang produk upcycling di gerai-gerai mereka, FamilyMart menciptakan touchpoint edukatif yang alami. Pelanggan tidak hanya melihat hasil akhir dari program lingkungan, tetapi juga dapat merasakan langsung kualitas dan estetika produk ramah lingkungan. Pengalaman ini jauh lebih powerful daripada kampanye konvensional yang hanya mengandalkan poster atau brosur.

    Dampak Jangka Panjang dan Replikasi Model

    Program “Satu Kopi, Satu Aksi” mencerminkan evolusi tanggung jawab sosial perusahaan dari model charity tradisional menuju sustainable business model. Wirry Tjandra menegaskan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya terletak pada pertumbuhan bisnis, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan.

    Model bisnis ini memiliki potensi besar untuk direplikasi oleh retailer lain di Indonesia. Konsep mengintegrasikan aksi lingkungan dengan aktivitas konsumsi sehari-hari terbukti dapat menggerakkan partisipasi massal tanpa membebankan konsumen secara finansial.

    Keberhasilan mengumpulkan 8 ton sampah dalam satu hari menunjukkan efektivitas pendekatan kolaboratif antara korporasi, komunitas, dan konsumen. Jika model ini diadopsi secara luas, dampak terhadap kebersihan sungai dan pengurangan sampah plastik di Indonesia bisa sangat signifikan.

    Visi Generasi Mendatang

    “Kami berharap, melalui langkah ini, generasi mendatang masih bisa menikmati keindahan dan manfaat sungai yang lestari,” harap Wirry Tjandra. Pernyataan ini menggarisbawahi visi jangka panjang program yang tidak hanya fokus pada solusi pragmatis, tetapi juga pada legacy untuk masa depan.

    FamilyMart percaya bahwa kolaborasi berkelanjutan antara perusahaan, komunitas, dan pelanggan dapat menciptakan perubahan sistemik. Program ini menjadi komitmen awal dalam perjalanan panjang menuju ekosistem retail yang benar-benar berkelanjutan, di mana setiap transaksi komersial berkontribusi positif terhadap kelestarian lingkungan.

  • Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi

    Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi

    Pagi itu, Bekasi masih menyimpan embun saat ribuan orang telah memenuhi halaman Islamic Center untuk Job Fair Bekasi 2025. Mereka tiba dari beragam sudut kota, membawa map plastik yang berisi fotokopi ijazah, sertifikat pelatihan, dan CV yang tercetak rapi. Mereka kebanyakan memakai kemeja putih atau pakaian resmi, berusaha menunjukkan versi terbaik dari diri mereka.

    Job Fair dengan tema “Bekasi Pasti Kerja” yang diadakan pada 21 Mei 2025 tersebut dihadiri oleh ribuan pencari kerja. Namun, harapan yang tinggi itu bertransformasi menjadi kekacauan ketika kerumunan membanjir, mengakibatkan beberapa peserta terdesak dan bahkan pingsan. Rekaman yang diposting oleh akun Instagram @ussfeeds dan dibagikan kembali oleh masyarakat memperlihatkan betapa padatnya tempat itu, seolah-olah lautan orang yang hampir tidak bisa bergerak. 

    Di balik kebisingan itu, ada wajah-wajah yang menyimpan kisah. Mirip dengan Anita (22), seorang lulusan terbaru dari universitas swasta di Jakarta Timur. Ia telah tiba sejak jam 05.30 pagi. “Saya hanya ingin bekerja, membantu orang tua melunasi utang.” “Kami telah mengalami kesulitan sejak pandemi,” ungkapnya pelan kepada media lokal Bekasi Today. 

    Kisah lain berasal dari Heri (28), mantan karyawan pabrik yang di PHK tahun lalu. Dia membawa makanan nasi kemasan dan air mineral dari rumah. “Saya sadar bahwa saingannya tak terhitung, namun masa depan anak saya yang membuat saya tegar menghadapi situasi sulit ini,” ujarnya. 

    Fenomena ini menunjukkan lebih dari sekadar masalah ekonomi. Ia menggambarkan kondisi Indonesia saat ini di mana ribuan pemuda sedang mencari ruang untuk berkembang dan hidup dengan baik. Ribuan pelamar tidak hanya mengantarkan surat lamaran, tetapi juga harapan, tanggung jawab keluarga, dan ambisi yang terpendam. 

    Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi mengingatkan kita bahwa masalah pengangguran bukan sekadar angka dalam statistik. Ia memiliki identitas, penampilan, dan kisah. Namun tengah hiruk-pikuk itu, harapan menjadi sesuatu yang paling langka dan juga paling berharga. karena pada setiap map lamaran, tersimpan perjalanan panjang, ketakutan yang terpendam, dan keberanian pencari kerja untuk terus mencoba meski berkali-kali gagal. 

    Baca juga : Mark Zuckerberg Ungkap Era Media Sosial Telah “Usai”