Kategori: Selasar

  • Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

    Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

    FOMO atau “Fear of Missing Out” semakin mengakar di kalangan mahasiswa Indonesia. Istilah ini menggambarkan kecemasan yang dirasakan seseorang saat ia merasa tertinggal dari pengalaman atau peristiwa menarik yang dialami orang lain. Di lingkungan kampus yang dinamis, mahasiswa menghadapi FOMO sebagai tantangan psikologis yang memengaruhi kehidupan sosial sekaligus performa akademik mereka.

    Di era digital, mahasiswa meluaskan kehidupan mereka ke ruang virtual yang menjadi arena baru untuk menunjukkan eksistensi sosial. Mereka aktif mengunggah momen kebersamaan dengan teman, prestasi akademik, dan berbagai kegiatan lainnya agar banyak orang dapat melihatnya. Akibatnya, mereka merasa tertekan untuk terus menampilkan eksistensi di dunia fisik maupun virtual.

    Mahasiswa kini mengukur identitas mereka tidak hanya dari pencapaian akademis, tetapi juga dari aktivitas dan kehadiran mereka dalam berbagai kegiatan sosial. Mereka mengikuti kegiatan organisasi dan partisipasi komunitas yang menjadi parameter baru dalam menentukan “kesuksesan” sebagai mahasiswa.

    Banyak mahasiswa merasa cemas dan mengikuti setiap kegiatan yang dianggap penting karena mereka takut kehilangan momen berharga atau kesempatan membangun jaringan.

    Dampak FOMO

    FOMO memberikan dampak signifikan pada kehidupan akademis mahasiswa. Mereka seringkali memecah konsentrasi antara kebutuhan belajar dan dorongan untuk terus mengikuti perkembangan sosial. Perhatian yang terbagi ini mengurangi keefektifan mereka dalam belajar dan memahami materi.

    Mahasiswa yang mengalami FOMO tinggi cenderung menunda tugas akademis demi mengikuti aktivitas sosial, sehingga mereka menciptakan lingkungan stres dan kecemasan yang sulit diputus. Dari perspektif kesehatan mental, para mahasiswa yang mengalami FOMO menunjukkan peningkatan gejala depresi dan kecemasan.

    Mereka membandingkan secara kontras kehidupan mereka dengan teman sebaya yang tampak lebih menarik dan bermakna di media sosial. Perasaan tidak puas dengan pengalaman pribadi dan menurunnya rasa percaya diri muncul akibat hal ini. Mahasiswa dengan FOMO tinggi juga sering mengalami gangguan tidur karena mereka terus mengecek media sosial hingga larut malam, khawatir melewatkan informasi penting.

    Semakin mahasiswa berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi sosial mereka, semakin mereka merasa teralienasi dari pengalaman otentik. Kehadiran fisik saja tidak lagi menjamin keterlibatan emosional ketika mereka lebih memperhatikan dokumentasi untuk media sosial. Mereka menjadikan interaksi sosial kurang bermakna karena motivasi mereka hanya untuk menunjukkan kehadiran, bukan menjalin koneksi sejati.

    Untuk mengatasi FOMO, mahasiswa harus meningkatkan kesadaran diri dan kemampuan menetapkan prioritas. Mereka perlu belajar mengenali bahwa mereka tidak harus mengikuti semua kegiatan dan bahwa nilai suatu pengalaman terletak pada keterlibatan mendalam, bukan penampilan eksternal. Pihak institusi pendidikan juga dapat menciptakan lingkungan yang menekankan kualitas pembelajaran dan interaksi sosial daripada sekadar kuantitas kegiatan.

    Pada akhirnya, mahasiswa perlu mengembangkan keterampilan krusial untuk menyeimbangkan kebutuhan akademis dan kehidupan sosial mereka. Dengan mengelola FOMO secara efektif, mahasiswa dapat memanfaatkan potensi penuh dari tahun-tahun formatif mereka di perguruan tinggi bukan hanya sebagai masa untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai waktu untuk pertumbuhan pribadi yang bermakna.

    Baca juga : Rahasia Sehat dan Bahagia ala Jennifer Bachdim

  • Kitabisa.com Platform Crowdfunding Sosial Terbesar di Indonesia

    Kitabisa.com Platform Crowdfunding Sosial Terbesar di Indonesia

    Di era digital seperti sekarang, membantu sesama bisa dilakukan hanya dengan beberapa klik. Melalui ponsel pintar atau komputer, siapa pun bisa berdonasi untuk anak yang membutuhkan pengobatan, warga korban bencana, hingga biaya pendidikan anak yatim. Kitabisa.com platform crowdfunding mewujudkan semua itu sebagai platform penggalangan dana online terbesar dan terpercaya di Indonesia. Berdirinya Kitabisa.com platform crowdfunding terbesar di Indonesia

    Sejak berdiri, Kitabisa.com telah menjadi jembatan kebaikan yang menghubungkan jutaan #OrangBaik di seluruh penjuru Indonesia. Dari cerita haru hingga kisah inspiratif, Kitabisa menjadi bukti nyata bahwa gotong royong masih hidup dan berkembang dalam wujud digital.

    Siapa Pendiri Kitabisa.com?


    Muhammad Alfatih Timur, yang akrab disapa Timmy, mendirikan Kitabisa.com pada tahun 2013. Pria kelahiran Padang ini adalah alumni dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang sejak awal memiliki semangat tinggi dalam dunia sosial dan teknologi.

    Gagasan Kitabisa.com lahir dari keinginan Timmy untuk menciptakan platform yang dapat menghubungkan orang-orang yang membutuhkan bantuan dengan mereka yang ingin membantu. Namun, ia tidak tahu harus membantu melalui apa. Kemudian, melalui pendekatan teknologi dan semangat kolaborasi, Kitabisa mampu menjawab tantangan penggalangan dana yang sebelumnya rumit dan terbatas. Timmy menemukan bahwa platform crowdfunding merupakan salah satu cara penggalangan dana yang paling efektif. Namun, platform seperti ini belum ada di Indonesia. Akhirnya, bersama co-founder Vikra Ijas yang merupakan rekan semasa kuliah, Timmy berhasil membangun Kitabisa.com.

    Hingga kini, Kitabisa telah berkembang pesat dengan tim profesional, sistem teknologi canggih, dan kolaborasi lintas sektor—dari individu, komunitas, hingga lembaga kemanusiaan nasional.

    Apa Itu Kitabisa.com?


    Kitabisa.com adalah platform crowdfunding sosial berbasis teknologi yang memungkinkan siapa pun untuk memulai dan berpartisipasi dalam penggalangan dana online. Kitabisa memfasilitasi berbagai penggalangan dana, mulai dari bantuan biaya pengobatan, pendidikan, musibah, pembangunan masjid, hingga kampanye lingkungan.

    Hingga tahun 2025, Kitabisa telah menjembatani lebih dari 10 juta donatur, dengan ribuan campaign aktif setiap harinya. Dana yang telah berhasil dikumpulkan mencapai triliunan rupiah, dan terus bertambah.

    Bagaimana Sistem Kerja Kitabisa.com?


    Kitabisa.com mengandalkan sistem digital yang sederhana, aman, dan transparan. Berikut adalah cara kerja utama platform ini:

    1. Membuat Campaign
      Siapa pun bisa membuat campaign (penggalangan dana), baik individu, komunitas, maupun lembaga. Cukup daftar, isi formulir, dan unggah cerita serta dokumentasi pendukung.
    2. Verifikasi dan Kurasi
      Tim Kitabisa memverifikasi setiap campaign untuk memastikan keabsahan dan kelayakan. Hal ini menjaga kepercayaan donatur dan mencegah penipuan.
    3. Donasi Online
      Donasi dapat dilakukan dengan mudah melalui berbagai metode: transfer bank, e-wallet (OVO, GoPay, DANA), kartu kredit, bahkan QRIS. Donatur juga bisa memilih berdonasi rutin bulanan.
    4. Pemantauan Dana
      Campaign yang aktif akan diberikan dashboard pemantauan. Penggalang dana wajib memberikan update berkala kepada donatur mengenai penggunaan dana.
    5. Pencairan Dana
      Tim Kitabisa mencairkan dana secara bertahap setelah melakukan verifikasi, menyesuaikannya dengan kebutuhan dan laporan penggunaan. Mereka memastikan proses ini transparan dan dapat dipantau langsung oleh para donatur.

    Fitur Unggulan Kitabisa


    Kitabisa.com sebagai platform crowdfunding, tidak hanya menjadi tempat donasi. Platform ini menghadirkan berbagai fitur unggulan untuk meningkatkan partisipasi sosial:

    1. Donasi Rutin: Fitur untuk berdonasi otomatis setiap bulan ke campaign tertentu.
    2. Kitajaga.co: Platform khusus donasi asuransi mikro dan perlindungan sosial.
    3. KitaBantu: Jaringan relawan yang membantu verifikasi dan distribusi bantuan.
    4. Kode QR & Link Donasi Pribadi: Memudahkan influencer dan komunitas untuk menggalang dana.
    5. Zakat dan Sedekah Online: Terverifikasi oleh Lembaga Amil Zakat terpercaya.

    Dampak Sosial Nyata
    Kitabisa telah menciptakan ribuan kisah inspiratif. Salah satu yang paling menyentuh adalah kisah Azka, bayi penderita kelainan jantung langka yang membutuhkan operasi darurat di luar negeri. Dalam waktu singkat, campaign Azka berhasil menggalang lebih dari Rp 1 miliar, berkat solidaritas ribuan #OrangBaik.

    Selain itu, saat terjadi bencana alam seperti gempa di Cianjur, banjir di Kalimantan, atau kebakaran pasar, Kitabisa selalu menjadi salah satu platform tercepat dalam menghimpun dan menyalurkan bantuan.

    Kitabisa juga banyak membantu pembangunan rumah ibadah, pengadaan ambulans, pemberdayaan UMKM, hingga biaya pendidikan anak-anak yatim dan dhuafa.

    Kolaborasi dan Komunitas
    Kesuksesan Kitabisa tidak lepas dari kolaborasi dengan banyak pihak, termasuk:

    1. Lembaga Kemanusiaan: ACT, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, dan lainnya.
    2. Artis dan Influencer: Banyak figur publik yang memanfaatkan Kitabisa untuk kampanye sosial, seperti Rachel Vennya, Gita Savitri, dan Deddy Corbuzier.
    3. Komunitas Lokal: Komunitas pecinta hewan, lingkungan, pendidikan, hingga panti asuhan dan panti jompo sering menggunakan Kitabisa untuk mendukung kegiatan mereka.

    Bagaimana Cara Mendukung atau Terlibat?
    Jika Anda ingin ikut menjadi bagian dari #OrangBaik, berikut beberapa cara:

    1. Donasi Sekali atau Rutin: Mulai dari Rp1.000, Anda bisa membantu campaign yang sesuai hati Anda.
    2. Buat Campaign: Bantu orang di sekitar yang butuh pertolongan.
    3. Sebarkan Campaign: Bantu menyebarkan link donasi ke media sosial.
    4. Gabung sebagai Relawan: Dukung proses verifikasi dan distribusi bantuan secara langsung.

    Karena Kebaikan Tak Pernah Salah Alamat
    Kitabisa.com platform crowdfunding telah membuktikan bahwa teknologi bisa menjadi alat penyambung kebaikan. Melalui platform ini, setiap orang—tanpa memandang status, usia, atau latar belakang—dapat menjadi pahlawan bagi sesama.

    Di tengah dunia yang semakin digital, Kitabisa hadir sebagai oase kemanusiaan yang terus menyala. Mereka membuktikan bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya, bahkan di tengah keramaian dunia maya.

    Jadilah bagian dari jutaan #OrangBaik hari ini. Karena dengan satu klik, Anda bisa menyelamatkan nyawa, mengubah masa depan, dan menebar harapan.

  • Nugas Sambil Ngopi Kenapa Mahasiswa Suka di Coffee Shop?

    Nugas Sambil Ngopi Kenapa Mahasiswa Suka di Coffee Shop?

    Fenomena mahasiswa yang memadati coffee shop untuk mengerjakan tugas kuliah telah menjadi pemandangan umum di berbagai kota. Dengan laptop terbuka, buku berserakan, dan secangkir kopi yang mengepul. Coffee shop seolah berubah menjadi perpustakaan alternatif bagi generasi muda akademisi. Mengapa tren “nugas sambil ngopi” ini begitu populer di kalangan mahasiswa?

    Pertama, coffee shop mendukung untuk produktif. Suasana dengan dengung percakapan dan alunan musik lembut menciptakan white noise yang membantu mahasiswa berinteraksi. Berbeda dengan keheningan perpustakaan yang kadang justru memicu kantuk atau kedamaian rumah yang penuh gangguan. Coffee shop memberikan level kebisingan yang ideal untuk fokus mengerjakan.

    Ketersediaan fasilitas menjadi poin penting lainnya. Hampir semua coffee shop modern menyediakan WiFi gratis, stop kontak yang memadai, dan pencahayaan yang baik untuk mendukung pelanggan yang mengerjakan tugas sebagai bagian dari tuntutan pendidikan masa kini.

    Dengan membeli secangkir kopi mahasiswa mendapatkan “sewa” tempat yang nyaman berjam-jam dengan fasilitas lengkap.Kopi sendiri menjadi katalisator produktivitas. Kafein dalam kopi meningkatkan kewaspadaan, konsentrasi, dan energi yang dibutuhkan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademis yang menantang.Selain itu, ritual penyeruput kopi perlahan memberikan jeda mikro yang menyegarkan di antara sensasi belajar intensif.

    Coffee shop memfasilitasi mahasiswa untuk “belajar sendiri bersama-sama,” sebuah fenomena di mana mereka menggarap tugas masing-masing sambil tetap merasakan kehadiran komunitas.Terkadang pertemuan tidak sengaja dengan teman atau bahkan dosen dapat membuka peluang diskusi spontan atau bahkan kolaborasi yang produktif.

    Segi Psikologis

    Dari segi psikologis perpindahan tempat dari kampus atau rumah ke coffee shop menciptakan perpisahan mental antara zona relaksasi dan zona kerja. Perubahan lingkungan ini membantu mahasiswa memasuki “metode belajar” dengan lebih mudah dan mengurangi prokrastinasi. Terlebih kehadiran orang lain yang juga sedang bekerja atau belajar menciptakan tekanan sosial positif untuk tetap produktif.

    Coffee shop juga menjadi solusi bagi mahasiswa yang membutuhkan ruang “netral’ untuk pertemuan kelompok. offee shop menyediakan tempat yang lebih fleksibel dari pada ruang pribadi atau kampus, karena semua anggota kelompok dapat mengaksesnya kapan saja selama jam operasional yang lebih panjang.

    Media sosial yang menampilkan “aesthetic” buku dan kopi telah mendorong tren ini dan membentuk kebiasaan baru. Meski terlihat sebagai tren, mahasiswa tetap mengalami manfaat nyata dalam meningkatkan produktivitas akademik mereka.

    Meskipun dengan demikian ‘nugas sambil ngopi” bukanlah tanpa kelemahan. Biaya yang harus keluar secara rutin untuk membeli minuman biasa menjadi beban finansial. Namun banyak mahasiswa investasi sepadan dengan lingkungan belajar optimal yang mereka dapatkan. Sebuah ruang yang menawarkan keseimbangan antara fokus, kenyamanan, dan interaksi sosial.

    Baca ini : Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

  • “Manusia Tikus” Perlawanan Diam Generasi Z Terhadap Tekanan Sosial

    Fenomena ini unik yang muncul di kalangan Generasi Z sebagai bentuk ekspresi identitas dan perlawanan terhadap norma sosial. Istilah ini mengacu pada individu yang mengadopsi estetika, perilaku, atau karakteristik yang terinspirasi dari tikus.

    Anak muda Cina menyebut diri mereka “Manusia Tikus”. Mereka memilih hidup minimalis secara ekstrem dan menarik diri dari tekanan sosial seperti:

    • Hidup dengan sangat hemat, meminimalkan mengeluarkan dan konsumsi 
    • Menolak ambisi karir dan kompetensi sosial
    • Sering tinggal di apartemen kecil atau rumah sempit mirip “lubang tikus”
    • Menolak tekanan sosial seperti menikah, memiliki anak, atau membeli rumah
    • Bekerja cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk mengejar kekayaan

    fenomena ini muncul sebagai respons terhadap biaya hidup yang tinggi, persaingan kerja yang intens, tekanan sosial, dan ketidakpastian ekonomi di Cina.

    Beberapa aspek budaya pop dan media sosial memunculkan tren ini, ketika Gen Z mengadopsi karakter tikus seperti Remy dari film Ratatouille atau Stuart Little sebagai simbol perlawanan terhadap stereotip dan ekspektasi sosial.

    Di platform seperti TikTok dan Instagram hashtag terkait “manusia tikus” atau “rat cire” telah mengumpulkan jutaan tayangan. Konten yang menampilkan pakaian berwarna abu-abu, aksesoris berbentuk tikus, hingga makeup yang menyerupai fitur tikus.

    Para pengikut tren ‘rat core’ mengekspresikan diri mereka melalui pakaian vintage, mengenakan pakaian berlapis-lapis, dan menciptakan estetika DIY sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap konsumerisme dan fast fashion.Pendukung tren ini sering menggunakan barang bekas atau daur ulang. Mencerminkan kesadaran  lingkungan yang tinggi di kalangan Gen Z.

    Di media sosial “manusia tikus” memanifestasikan diri melalui meme, filter, dan konten humor yang menggunakan citra tikus. Humor absurd dan self deprecating menjadi ciri khas dengan penggunaan internet. Mereka Sering membandingkan dengan tikus yang berusaha terhadap hidup dunia yang semakin tidak ramah.

    Dampak Psikologis

    Fenomena ini juga memiliki dimensi psikologis mencerminkan bagaimana Gen Z merespons ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial. Dengan mengidentifikasikan diri sebagai ‘tikus” makhluk yang sering stigmatisasi namun sangat tangguh. Mereka menciptakan ruang aman untuk mengekspresikan kecemasan kolektif.

    Kritik terhadap kapitalisme juga menjadi aspek penting dari tren ini. Gerakan “manusia tikus” mengkritik konsumsi berlebih dan mempertanyakan standar keberhasilan konvensional dengan mengadopsi estetik yang sederhana dan fungsional.

    Meskipun terkesan aneh bagi generasi sebelumnya, fenomena ini menunjukkan kreativitas dan kemampuan Gen Z dalam menciptakan komunitas dan identitas alternatif. Tren ini juga merefleksikan bagaimana generasi mudah ironi dan humor sebagai mekanisme koping menghadapi tantangan dunia modern.

    Secara keseluruhan fenomena “manusia tikus” bukanlah sekedar trend fashion atau internet yang sepele, melainkan manifestasi kompleks dari sikap dan nilai Gen Z terhadap masyarakat kontemporer. Fenomena ini menggabungkan estetika, kritik sosial, eksploitasi identitas, dan humor absurd. Elemen yang secara konsisten mendefinisikan bagaimana Gen Z menavigasi dan memaknai di sekitar mereka.

    Baca juga : Pandawara Group: Anak Muda, Aksi Nyata untuk Lingkungan

  • Rahasia Sehat dan Bahagia ala Jennifer Bachdim

    Rahasia Sehat dan Bahagia ala Jennifer Bachdim

    Jennifer Bachdim, yang memiliki nama asli Jennifer Jasmin Kurniawan, lahir di Muhlacker, Jerman, pada 6 April 1987. Sosok yang akrab disapa Mama Jen ini dikenal sebagai kakak kandung dari pesepakbola Indonesia, Kim Kurniawan. Berikut rahasia sehat dan bahagia ala Jennifer Bachdim.

    Awal kehidupan Jennifer Bachdim Di Indonesia

    Kepindahannya ke Indonesia tidak hanya membuka peluang baru dalam karier modeling, tetapi juga menjadi awal dari transformasinya menjadi ikon gaya hidup sehat yang banyak menginspirasi perempuan muda di Tanah Air.

    Pada awalnya Jennifer Bachdim adalah seorang model, namun semua berubah saat ia bertemu Irfan Bachdim, seorang pesepak bola Indonesia. Lalu saat mereka bertemu saling jatuh cinta dan melangsungkan pernikahan pada 8 Juli 2011. 

    Dari pernikahannya inilah mereka mempunyai 4 anak. Yaitu, Kiyomi, Kenji, Kiyoji, dan Kiro. Hal inilah yang membuat warganet kagum kepadanya karena sudah melahirkan 4 kali namun badan tetap terjaga.

    Jennifer Bachdim merupakan salah satu figur publik di Indonesia yang konsisten menjalani dan mempromosikan gaya hidup sehat. Istri dari pesepakbola Irfan Bachdim ini bukan hanya seorang influencer fashion dan lifestyle, tetapi juga menjadi panutan dalam hal kebugaran dan keseimbangan hidup.

    Awal Perjalanan Hidup Sehat


    Perjalanan hidup sehat Jennifer tidak datang secara instan. Sejak kecil, ia telah terbiasa dengan aktivitas fisik dan lingkungan yang mendorong gaya hidup aktif. Latar belakang keluarga yang aktif serta kehidupan di luar negeri membuatnya terbiasa menjaga kebugaran tubuh dan memperhatikan pola makan. Setelah menikah dan pindah ke Indonesia, Jennifer semakin giat menjadikan gaya hidup sehat sebagai bagian dari identitas dirinya.

    Sebagai ibu dari empat anak, Jennifer menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga waktu untuk dirinya sendiri. Namun, alih-alih menjadikan kesibukan sebagai alasan, ia menjadikan keluarga sebagai motivasi utama. Menurut Jennifer, menjadi sehat bukan hanya untuk penampilan, tetapi untuk menjaga energi, stamina, dan kesehatan mental dalam menjalankan tanggung jawab sebagai ibu dan istri.

    Rahasia Ala Jennifer Bachdim Agar Tetap Bugar

    Saat diwawancarai oleh salah satu video YouTube milik Melaney Ricardo, hal apa yang membuat tubuhnya tetap langsing meski sudah punya 4 anak. Jennifer menjawab bahwa ia selama ini juga berusaha agar tubuhnya tetap ideal dengan cara rutin berolahraga. Berikut adalah Rahasia sehat dan bahagia ala Jennifer Bachdim. 

    Rutin berolahraga setiap hari. Jennifer Bachdim rutin membagikan konten olahraganya di media sosialnya, seperti Instagram dan YouTube nya. Di konten tersebut ia menunjukan bahwa setiap hari ia pasti berolahraga, walaupun dalam keadaan sedang hamil. Walaupun ia mengatakan bahwa paling tidak hanya 1 jam ia olahraga perhari. Namun, yang terpenting konsisten dalam melakukan olahraga. 

    Menerapkan pola makan sehat. Selain melakukan olahraga secara rutin tiap hari, ia juga menerapkan pola makan yang sehat. Ia menerapkannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan memastikan tidak ada makanan tidak sehat di rumahnya. Lalu selalu membiasakan anak anaknya untuk ikut menyiapkan makanan sehat. 

    Tidur yang cukup setiap harinya. Jennifer Bachdim selalu menerapkan ini kepada keluarganya. Karena makan sehat dan berolahraga saja tidak cukup, Jennifer juga menjaga keseimbangan tubuhnya dengan memastikan waktu tidurnya cukup. Menurutnya waktu tidur yang pas itu 7-9 jam perhari. 

    Aktivitas harian yang tinggi. Selain berolahraga dan menjadi konten kreator, ia juga mengurus keempat anaknya. Mulai dari membangunkan keempat anaknya, menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, menjemput, dan masih banyak lagi. Ia melakukan kegiatan itu setiap hari hingga malam. Kegiatan malam yang ia lakukan menyiapkan makan malam, menidurkan keempat anaknya, mengerjakan pekerjaan rumah yang belum selesai. Tak lupa sebagai konten kreator ia juga membuat konten. 

    Kesehatan Mental dan Self-care


    Bagi Jennifer, hidup sehat bukan hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang pikiran dan perasaan. Ia sangat peduli terhadap kesehatan mental, terutama dalam peran gandanya sebagai ibu dan publik figur. Karena itu, ia meluangkan waktu untuk merawat dirinya melalui meditasi, menulis jurnal, membaca buku, hingga menikmati waktu sendiri untuk mengisi ulang energi.

    Ia percaya bahwa seorang ibu yang bahagia dan sehat secara mental akan membawa energi positif bagi keluarganya. Maka dari itu, ia tidak ragu untuk membagikan sisi emosional dan perjuangannya di media sosial, sebagai bentuk dukungan kepada para ibu dan wanita lainnya yang sedang berjuang menjalani hidup sehat di tengah kesibukan.

    Kesimpulan

    Jennifer Bachdim telah menjadikan hidup sehat sebagai gaya hidup, bukan sekadar rutinitas temporer. Dengan kombinasi olahraga teratur, pola makan seimbang, perawatan kesehatan mental, dan dukungan keluarga, ia menunjukkan bahwa gaya hidup sehat itu mungkin dan menyenangkan. Kisah dan konsistensinya menjadi pengingat bahwa tubuh yang sehat adalah investasi jangka panjang untuk masa depan, dan bahwa setiap orang bisa memulai dari langkah kecil, kapan pun dan di mana pun. Beginilah rahasia sehat dan bahagia ala Jennifer Bachdim.

  • Dari Kecantikan Menuju Kebahagiaan: Merawat Diri untuk Jiwa yang Lebih Sehat

    Dari Kecantikan Menuju Kebahagiaan: Merawat Diri untuk Jiwa yang Lebih Sehat

    Kecantikan Yang Berakar dari Dalam

    Kecantikan diri untuk Kesehatan jiwa yang sering kali di kaitkan dengan penampilan luar: kulit yang halus, tubuh yang bagus, dan Wajah yang simetris. Namun, semakin banyak orang mulai menyadari bahwa definisi kecantikan jauh lebih dalam dari sekedar apa yang tampak di penampilan. Kecantikan, dalam banyak kasus tumbuh dari bagaimana seseorang memperlakukan dirinya sendiri, baik secara fisik maupun emosional.

    Dalam keseharian yang penih tekanan, merawat diri menjadi bentuk penghargaan terhadap tubuh dan pikiran. Ritual kecil seperti memakai masker wajah, menyisir ramjet dengan tenang, atau merendam kaki dalam air hangat tidak hanya berdampak pada penampilan, tapi juga memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas. Di sinilah konsep kecantikan sebagai investasi emosional mulai terasa relavan.

    Self Care Sebagai Bentuk Penguatan Diri

    Anggun, seorang mahasiswa di Malang, membagikan pengalamannya tentang bagaimana rutinitas merawat diri membantu mengatasi burnout. “Saya bukan orang yang terlalu peduli soal skincare dulunya, tapi setelah pandemi, saya mulai meluangkan waktu untuk hal-hal kecil seperti memakai pelembap setiap pagi. Anehnya, itu bikin saya merasa lebih punya kendali atas hidup saya,” ujarnya.

    Kisah seperti Anggun bukan hal yang asing. Banyak individu kini melihat perawatan diri bukan sebagai kewajiban sosial, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan eksternal. Saat dunia menuntut produktivitas tanpa henti, memiliki waktu pribadi untuk merawat tubuh dan wajah menjadi bentuk kecil dari reclaiming personal space.

    Dimensi Emosional dari Perawatan Kecantikan

    Menurut Helen L. Coons, psikolog kesehatan klinis, self care dapat dikatakan tindakan untuk fisik, emosi, relasi, dan mungkin juga profesional, edukasi, untuk beberapa orang, kesejahteraan spiritual yang mencerminkan cara kita menjaga diri kita sendiri pada tingkat yang paling mendasar. Intinya, self care adalah melakukan perawatan untuk diri kita sendiri dengan cara melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri kita.

    Lebih jauh lagi, kecantikan juga berperan dalam membangun koneksi sosial. Banyak komunitas daring dibentuk berdasarkan kecintaan terhadap skincare atau makeup, menjadi wadah berbagi tips sekaligus dukungan emosional. Hal ini menunjukkan bahwa kecantikan tidak lagi sekadar kompetisi antar individu, tapi sudah mulai bergeser menjadi ruang kolaborasi dan empati.

    Kecantikan Sebagai Ekspresi Diri

    Di era digital, ekspresi kecantikan juga mengalami transformasi. Media sosial memberi ruang bagi setiap orang untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka, bukan untuk memuaskan standar publik, tetapi untuk menyuarakan identitas pribadi.

    Warna rambut, gaya makeup, hingga skincare routine yang unik adalah bagian dari narasi personal. Pentingnya mengekspresikan diri melalui perawatan kecantikan.

    Investasi Kecil, Dampak Besar

    Meski perawatan diri sering dianggap sebagai hal sepele atau konsumtif, banyak studi dan pengalaman pribadi menunjukkan dampaknya terhadap kesehatan mental. Rutinitas yang konsisten, walau sederhana, bisa menciptakan struktur dalam hari-hari yang kacau.

    Tentu saja, perawatan diri tidak selalu berarti membeli produk mahal atau pergi ke spa mewah. Sesederhana tidur cukup, minum air putih, dan membersihkan wajah sebelum tidur sudah bisa jadi bentuk self-love yang berarti. Pada akhirnya, kecantikan bukan tentang memenuhi ekspektasi, melainkan menciptakan keseimbangan antara tubuh dan pikiran.

    Menuju Definisi Kecantikan yang Lebih Manusiawi

    Perjalanan menuju kecantikan diri untuk Kesehatan jiwa yang sejati bukan tentang perubahan drastis, tapi tentang penerimaan dan kasih sayang pada diri sendiri. Ketika kita mulai melihat kecantikan sebagai proses internal yang penuh perhatian dan kelembutan, kita mulai menyadari bahwa perawatan diri bukanlah kemewahan, tapi kebutuhan dasar.

    Kecantikan, dalam konteks ini, adalah kebahagiaan yang lahir dari keintiman dengan diri sendiri. Ia hadir saat kita jujur terhadap perasaan kita, saat kita memberi ruang untuk pulih, dan saat kita memilih untuk memperlakukan diri sendiri dengan penuh hormat.

    Dengan merawat diri, kita bukan hanya mempercantik penampilan, tapi juga menyembuhkan luka-luka kecil yang terkadang tersembunyi di balik rutinitas harian. Dan dari sana, kebahagiaan yang autentik bisa tumbuh perlahan, tapi pasti.

    Baca juga: Maudy Ayunda, Beauty Brain Behaviour

  • Pandawara Group: Anak Muda, Aksi Nyata untuk Lingkungan

    Pandawara Group: Anak Muda, Aksi Nyata untuk Lingkungan

    Di tengah arus deras konten hiburan di media sosial, muncul satu komunitas yang menyita perhatian warganet Indonesia karena aksi nyatanya membersihkan sungai-sungai yang tercemar dengan sampah. Lima anak muda asal Bandung menamai komunitas mereka Pandawara Group. Meski masih muda, mereka menunjukkan semangat dan kepedulian tinggi terhadap lingkungan yang layak mendapat apresiasi.

    Pandawara bukan hanya sekadar nama, melainkan gabungan dari inisial nama lima anggotanya: Pandu, Danang, Wahyu, Raka, dan Ara. Kelima pemuda ini punya satu mimpi yaitu melihat sungai-sungai di Indonesia kembali bersih dan bebas dari sampah.

    Awal Mula Pandawara Group

    Pandu dan teman-temannya mendirikan Pandawara Group pada tahun 2022 karena mereka merasa muak melihat sungai di sekitar tempat tinggal mereka dipenuhi sampah. “Kami pikir, kalau terus diam, tidak akan ada yang berubah. Jadi kami mulai dengan apa yang bisa kami lakukan: ambil karung, turun ke sungai, dan mulai bersih-bersih,” ujar Pandu dalam salah satu wawancara.

    Mereka merekam aksi bersih-bersih sungai dan membagikannya di media sosial Instagram dan TikTok dengan gaya yang ringan. Dalam waktu singkat, jutaan orang menonton video mereka, dan berbagai kalangan termasuk pemerintah daerah, aktivis lingkungan, serta warga setempat memberikan dukungan.

    Aksi Nyata, Bukan Gimmick

    Berbeda dari sebagian konten viral yang hanya sekedar sensasi, Pandawara Group benar-benar turun tangan. Mereka membersihkan sungai-sungai yang penuh dengan sampah rumah tangga, limbah plastik, bahkan bangkai hewan. Sungai di kawasan Bandung, Bekasi, hingga Yogyakarta sudah pernah mereka datangi.

    Dalam satu aksinya, mereka bisa mengangkut berton-ton sampah hanya dalam waktu yang cukup singkat. Lebih hebatnya lagi, mereka menjalankan kegiatan ini tanpa bayaran, semata-mata karena kepedulian dan keinginan kuat untuk membawa dampak positif bagi lingkungan. “Kami sadar kami bukan solusi jangka panjang. Tapi kami ingin jadi pemicu, agar masyarakat sadar dan ikut peduli,” ucap Wahyu, salah satu anggota Pandawara.

    Menggerakan Masyarakat

    Pandawara tidak hanya menginspirasi lewat aksi mereka, tapi juga berhasil membangun kesadaran kolektif. Banyak warga yang tadinya hanya menonton, kini ikut turun tangan saat Pandawara datang ke wilayah mereka. Bahkan, anak-anak sekolah dan mahasiswa turut bergabung dalam kegiatan bersih-bersih.

    Sehingga Pandawara berhasil dalam menginspirasi masyarakat Indonesia, dari anak muda hingga dewasa. Perlahan lahan masyarakat mulai mengikuti apa yang Pandawara lakukan, mulai dari hal yang kecil. Seperti, tidak membuang sampah sembarang hingga ikut membersihkan sampah yang mengganggu di sekitar mereka. 

    Tantangan Di Lapangan 

    Meski dengan kehadiran Pandawara sangat menginspirasi masyarakat. Namun ada saja beberapa orang yang menganggap aksi mereka itu hanya mencari sensasi. Selain itu mereka juga harus menghadapi tantangan di lapangan juga. Seperti, keterbatasan alat yang mereka punya hingga medan sungai yang berbahaya.

    Masa Depan Lingkungan Berkat Pandawara

    Gerakan Pandawara telah memicu banyak komunitas lokal untuk memulai aksi serupa. Kini, mereka juga mengedukasi masyarakat melalui workshop, kampanye anti-buang sampah sembarangan, serta menjalin kerja sama dengan institusi pendidikan di Indonesia.

    Mereka percaya bahwa menjaga lingkungan bukan tugas segelintir orang, tapi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, mereka terus mengajak generasi muda untuk terlibat aktif. “Kita nggak bisa berharap perubahan datang dari atas terus. Perubahan bisa dimulai dari diri sendiri, dan lingkungan sekitar kita,” ujar Ara. 

  • Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

    Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

    MANUNGSA— Dunia yang berputar cepat dan penuh tuntutan kerap menganggap berhenti sejenak untuk merawat diri sebagai kelemahan, bahkan kemewahan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi “produkivitas” sebagai simbol nilai diri, self-care adalah tindakan yang egois. Padahal, self-care berarti memberi kita kesempatan untuk menjadi manusia sepenuhnya, bukan hanya orang yang terus bekerja.

    Self-Care Bukan Bentuk Egoisme

    Banyak yang masih menganggap bahwa perawatan diri (self-care) ada;ah tindakan egois, hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Namun, budaya produktivitas eksploitatif lah yang melahirkan asumsi ini—sebuah sistem yang hanya menganggap waktu, tenaga, dan tubuh manusia hanya bernilai ketika “berguna”.

    Audre Lorde, aktivis feminis kulit hitam, menantang konsep ini dengan menulis, “Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare” (Sister Outsider, 1988). Dengan kata lain, merawat diri adalah bentuk pertahanan terhadap sistem yang sering kali meniadakan nilai manusia di luar peran produktifnya.

    Sebuah studi yang diterbitkan oleh American Psychological Association (APA) bahkan menunjukkan bahwa tekanan untuk terus produktif dapat meningkatkan risiko burnout, depresi, dan isolasi sosial (APA, 2019). Oleh karena itu, memilih untuk beristirahat atau menetapkan batas waktu kerja tidak hanya penting secara pribadi, tetapi juga bentuk protes terhadap sistem kerja yang toxic.

    Budaya Toxic Productivity dan Ilusi Nilai Diri

    5 tanda toxic productivity

    Dunia kerja modern, khususnya di lingkungan urban dan digital, mengangkat kesibukan sebagai simbol prestise dan kompetensi. Semakin sibuk seseorang, semakin pula tinggi anggapan bahwa ia berharga. Namun, Dr. Devon Price psikolog sosial, meneyebut ini sebagai “produk dari kapitalisme yang mengondisikan kita untuk merasa bersalah jika tidak terus bekerja” (Price, 2021)

    Laporan Deloitte 2022 mengungkapkan bahwa milenial dan Gen Z kini menghadapi tingkat stres yang tinggi akibat tekanan untuk terus produktif, bahkan di luar jam kerja. Dalam hal ini, self-care bukan hanya pelepasaan sesaat, melainkan langkah menyelamatkan kesehatan mental jangka panjang.

    Aksi Self-Care yang Bisa Dilakukan

    Kita bisa memulai praktik self-care dari hal-hal sederhana sehari-hari. Seperti menolak pekerjaan tambahan saat tubuh lelah, mengambil waktu tanpa gadget, hingga tidur yang cukup. Walau tampak sederhana, tindakan-tindakan ini menyampaikan pesan bahwa manusia bukan mesin.

    Berbagai macam self-care

    Lebih jauh, ketika individu dalam satu komunitas saling mendukung praktik perawatan diri, dampaknya menjadi kolektif. Freelancer mengadvokasi kebijakan kerja fleksibel, sementara berbagai perusahaan mengampanyekan cuti haid dan kesehatan mental—keduanya merupakan contoh nyata bagaimana self-care menginspirasi perubahan struktural.

    Menyadari Hak Untuk Beristirahat

    Di tengah arus hustle culture yang membius, memilih untuk berhenti dan merawat diri bisa terasa seperti langkah mundur. Tetapi justru dalam diam dan istirahat itu, seseorang bisa memulihkan kesadarannya—bahwa hidup bukan tentang menjadi alat produksi tanpa henti.

    Merawat diri adalah pengingat bahwa kita manusia. Dan dalam dunia yang memuliakan kesibukan, menjaga kewarasan adalah tindakan paling berani.

    Baca juga: Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

    Referensi:

    • Audre Lorde. 1988. Sister Outsider: Essays and Speeches. Crossing Press.
    • American Psychological Association. 2019. Stress in America Report.
    • Dr. Devon Price. 2021. Laziness Does Not Exist. Simon & Schuster.
    • Deloitte. 2022. Deloitte’s Gen Z and Millennial Survey reveals two generations striving for balance and advocating for change.

  • Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

    Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

    Pernah merasa bingung apakah kamu lebih introvert atau ekstrovert? Ternyata, kamu bisa jadi keduanya, loh! Kamu bisa memiliki sifat introvert dan ekstrovert dalam waktu yang berbeda.

    Mungkin ada saat-saat di mana kamu merasa lelah setelah berinteraksi dengan banyak orang, tapi ada juga saat-saat ketika kamu justru merasa senang berada di keramaian. Lalu, muncul pertanyaan, “Apakah aku harus memilih salah satu?” Jawabannya, kamu sebenarnya bisa mengalami keduanya, tergantung pada situasi dan waktu.

    Introvert vs Ekstrovert, Apakah Harus Pilih Salah Satu?

    Mungkin kamu sudah familiar dengan dua istilah ini, introvert dan ekstrovert. Secara umum, introvert cenderung lebih suka menyendiri dan mengisi ulang energi dengan waktu pribadi, sementara ekstrovert merasa lebih terisi energinya setelah berinteraksi dengan banyak orang dan cenderung lebih ekspresif.

    Namun, tidak jarang kita merasa bahwa kita tidak sepenuhnya cocok dengan salah satu label tersebut. Kenapa? Karena, sebenarnya, kita bisa memiliki ciri-ciri dari kedua tipe kepribadian ini, tergantung pada situasinya. Banyak orang yang merasa nyaman dengan waktu sendiri setelah berinteraksi dengan banyak orang, namun juga bisa merasa energik dan senang bergaul ketika suasana mendukung.

    Ambivert, Kamu Mungkin Termasuk Tipe Ini!

    ambivert ada diantara introvert dan extrovert (sumber: pinterest.com)
    ambivert ada diantara introvert dan extrovert (sumber: pinterest.com)

    Ada juga tipe kepribadian yang disebut ambivert, yang memiliki campuran sifat introvert dan ekstrovert. Ambivert bisa merasa nyaman di tengah keramaian, tetapi juga menikmati waktu sendiri tanpa merasa kesepian. Jika kamu merasa nyaman dengan kedua kondisi ini, mungkin kamu adalah seorang ambivert!

    Menurut sebuah artikel di Psychology Today, ambivert cenderung lebih fleksibel dalam beradaptasi dengan situasi sosial, karena mereka bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Jadi, jika kamu merasa bisa menikmati waktu sendiri atau bersosialisasi tergantung suasana, kemungkinan besar kamu adalah seorang ambivert.

    Tidak Perlu Memilih, Kamu Bisa Jadi Keduanya!

    Tidak perlu merasa terjebak harus memilih antara introvert atau ekstrovert. Kepribadian kita bisa berubah seiring waktu, tergantung pada situasi yang kita hadapi. Misalnya, kamu mungkin lebih introvert saat bekerja, tetapi lebih ekstrovert saat hangout dengan teman-teman. Ini hal yang normal dan menunjukkan fleksibilitas dalam kepribadianmu.

    Carl Jung, seorang psikolog terkenal, menjelaskan dalam bukunya Psychological Types (1921), bahwa setiap orang memiliki elemen dari kedua tipe kepribadian ini. Kepribadian tidak selalu kaku, dan bisa berubah sesuai dengan waktu dan kondisi. Jadi, jika kamu merasa canggung di keramaian atau ingin menyendiri setelah berkumpul dengan orang banyak, itu adalah tanda bahwa kamu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

    Ciri-ciri Kamu Mungkin Ambivert:

    Mungkin kamu merasa bingung apakah kamu introvert, ekstrovert, atau ambivert. Berikut ini beberapa ciri yang mungkin menunjukkan bahwa kamu adalah seorang ambivert:

    1. Fleksibel dengan Situasi
      Kadang kamu merasa senang berkumpul dengan teman-teman, tetapi di waktu lain, kamu butuh waktu sendiri untuk recharge.
    2. Mudah Beradaptasi
      Saat kamu membutuhkan suasana tenang, kamu bisa menikmatinya tanpa merasa kesepian. Tapi, saat butuh hiburan, kamu juga bisa keluar dan bersosialisasil dengan mudah.
    3. Menikmati Dua Dunia
      Kamu bisa menikmati keramaian, tapi juga merasa nyaman dan damai saat menikmati waktu sendiri.

    Mengenali diri tidak harus tentang memilih antara introvert atau ekstrovert. Setiap orang memiliki sisi-sisi kepribadian yang bisa berubah sesuai dengan situasi. Jadi, tidak ada yang salah jika kamu menjadi introvert di satu waktu dan ekstrovert di waktu lainnya. Yang terpenting adalah kamu bisa menghargai diri sendiri dan tahu kapan kamu membutuhkan waktu sendiri dan kapan saatnya bersosialisasi.

    Kepribadian bukan soal label, tapi soal bagaimana kamu menjalani hidup dengan versi terbaik dari dirimu.

    baca juga : Menjadi Gen Z yang Produktif, Tips Mengatur Waktu di Era Multitasking

    Referensi:

    • Jung, C. G. (1921). Psychological Types. Princeton University Press.
  • Asap Konklaf Berwarna Putih, Kardinal Roberts Francis Prevost, Paus Baru Terpilih

    Asap Konklaf Berwarna Putih, Kardinal Roberts Francis Prevost, Paus Baru Terpilih

    Malang, 9 Mei 2025— Asap putih mengepul dari cerobong Kapel Sistina pada Kamis sore, menandai terpilihnya Paus baru oleh para kardinal Gereja Katolik dalam Konklaf 2025. Berdasarkan laporan Vatican News, Kardinal Roberts Francis Prevost, O.S.A., asal Amerika Serikat, telah terpilih sebagai Paus ke-267 dan mengambil nama Paus Leo XIV.

    Latar Belakang Paus Leo XIV

    Sebelum terpilih menjadi Paus, Prevost, memiliki rekam jejak panjang dalam pelayanan Gereja. Ia pernah menjabat sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup dan sebelumnya melayani sebagai Uskup Agung Chiclayo, Peru. Menurut laporan dari Time, dalam penampilan perdananya di balkon Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV menyampaikan salam dalam bahasa Italia yang berartikan May peace be with all of you.

    Orang Amerika Serikat pertama yang terpilih menjadi Paus dalam sejarah gereja Katolik.
    Source: msn.com

    Robert Prevost lahir di Chicago, Illinois, dan bergabung dengan Ordo Santo Agustinus pada 1977. Ia menerima tahbisan imam pada 1982 dan mengabdikan sebagian besar hidupnya sebagai misionaris serta memimpin ordo di Peru. Selain mengangkat Prevost menjadi kardinal pada 2023, Paus Fransiskus juga menyerahkan tanggung jawab kepadanya untuk memimpin Dikasteri yang mengatur penunjukkan uskup di seluruh dunia.

    Umat Katolik di seluruh dunia menyambut hangat terpilihnya Prevost sebagai Paus Leo XIV. Para pengamat memuji pengalaman pastoralnya dan menilai bahwa latar belakang internasionalnya memperkuat posisinya sebagai figur yang berpotensi meneruskan reformasi serta menguatkan semangat sinodalitas yang telah Paus Fransiskus gagas. Mereka juga menyoroti pendekatan dialogis yang selama ini Prevost tunjukkan dalam pelayanannya, baik di tingkat lokal maupun internasional. Mereka menilai kepiawaiannya menjembatani keberagaman budaya serta pengalamannya di Amerika Latin sebagai modal penting dalam memimpin Gereja global yang semakin plural dan kompleks.

    Baca juga: Micro-Activism In Action: Mengapa Suara Generasi Muda Seperti Melati dan Isabel Wijsen Penting dalam Perubahan Sosial?


    Referensi:

    • Vatican News. (2025). “Leo XIV is the new Pope.”
    • Vatican News. (2025). “Biography of Pope Leo XIV.”
    • Time. (2025). “Conclave Picks Robert Prevost, Who Will Be Pope Leo.”