Kategori: Swara

  • Zero Waste Beauty Gerakan Konsumen Sadar Lingkungan

    Zero Waste Beauty Gerakan Konsumen Sadar Lingkungan

    Tahun 2025 menghadirkan transformasi revolusioner dalam industri kecantikan. Gerakan Zero Waste Beauty bangkit dengan kekuatan yang tak terbendung, mengubah cara konsumen memandang produk kecantikan.

    Konsumen modern kini menilai setiap produk berdasarkan dua kriteria utama yaitu efektivitas dan dampak lingkungan. Gerakan ini muncul sebagai respons langsung terhadap krisis sampah plastik global dan jejak karbon industri kosmetik yang mencapai miliaran ton setiap tahunnya.

    Konsumen Mengubah Pola Pembelian Secara Drastis Perubahan mendasar sedang terjadi dalam perilaku konsumen. Mereka aktif memburu produk dengan kemasan refillable dan memprioritaskan brand yang menerapkan sistem kemasan kembali.

    Lebih dari itu, konsumen kini memilih produk dengan formula konsentrat yang secara signifikan mengurangi volume packaging. Generasi Z dan Milenial memimpin revolusi ini dengan melakukan riset mendalam tentang sustainability practices sebelum memutuskan pembelian.

    Mereka tidak lagi bertindak impulsif, melainkan menerapkan strategi “conscious consumption” yang matang. Sebagai dampak langsung dari perubahan mindset ini, konsumen mulai berinvestasi pada produk berkualitas tinggi yang tahan lama.

    Mereka secara sadar menggantikan kebiasaan impulse buying produk murah berkualitas rendah dengan filosofi “lebih baik satu produk premium yang awet daripada beberapa produk disposable.” Industri Merespons dengan Inovasi Kemasan Revolusioner Menghadapi tuntutan konsumen yang semakin vokal, industri kecantikan meluncurkan serangkaian inovasi kemasan yang mengagumkan.

    Para engineer mengembangkan kemasan edible dari bahan alga, menciptakan tube pasta gigi dalam bentuk tablet, dan membangun sistem refill station di toko-toko kosmetik. Sementara itu, brand-brand raksasa seperti Unilever, L’Oréal, dan P&G menginvestasikan miliaran dollar untuk mengembangkan kemasan biodegradable dan sistem sirkuler.

    Mereka berlomba menciptakan solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga praktis untuk konsumen. Paralel dengan perkembangan tersebut, konsep “package-free beauty” berkembang dengan pesat.

    Produsen meluncurkan produk berbentuk solid bars untuk shampoo, kondisioner, dan sabun wajah yang sama sekali tidak memerlukan kemasan plastik. Teknologi printing 3D bahkan memungkinkan konsumen mencetak kemasan sendiri di rumah menggunakan bahan ramah lingkungan.

    Dampak Zero Waste Beauty

    Gerakan Menciptakan Dampak Ekonomi dan Sosial yang Luas Transformasi ini menghasilkan ekosistem ekonomi baru yang menguntungkan semua pihak. Startup-startup lokal yang berfokus pada produk ramah lingkungan tumbuh subur, menciptakan ribuan lapangan kerja baru sambil mendorong gelombang inovasi.

    Bersamaan dengan itu, program take-back dari brand besar membangun sistem ekonomi sirkular yang efektif. Program ini tidak hanya mengurangi limbah secara dramatis, tetapi juga memberikan insentif menarik kepada konsumen untuk berpartisipasi aktif.

    Tantangan Menghadang, Namun Masa Depan Cerah Terbentang Meski momentum positif terus menguat, gerakan ini menghadapi beberapa tantangan serius. Harga produk sustainable yang masih relatif tinggi menjadi barrier utama bagi sebagian konsumen.

    Selain itu, keterbatasan akses di daerah-daerah tertentu masih menghambat penyebaran gerakan ini secara merata. Namun demikian, dukungan regulasi pemerintah yang semakin kuat dan kesadaran konsumen yang terus meningkat menciptakan optimisme tinggi.

    Para ahli memproyeksikan Zero Waste Beauty akan menjadi standar wajib industri dalam waktu dekat. Evolusi Nilai yang Mengubah Paradigma Industri Gerakan Zero Waste Beauty 2025 bukan sekadar tren sesaat, melainkan representasi konkret dari evolusi nilai konsumen yang mengutamakan keberlanjutan planet.

    Konsumen kini memahami bahwa pilihan mereka hari ini akan menentukan kondisi bumi untuk generasi mendatang. Akhirnya, gerakan ini menandai era baru yang revolusioner. Era dimana kecantikan dan kepedulian lingkungan tidak lagi berdiri terpisah.

    Melainkan berjalan beriringan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Industri kecantikan sedang menulis ulang definisi “cantik” cantik bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk planet yang kita tinggali.

    Baca juga : Dari Kecantikan Menuju Kebahagiaan: Merawat Diri untuk Jiwa yang Lebih Sehat

  • Dibalik Kesuksesan Seminar Kampung 3 Balai Dusun Busu

    Dibalik Kesuksesan Seminar Kampung 3 Balai Dusun Busu

    Perempuan dan Peradaban

    Sayangnya, sejarah sering mencatat nama laki-laki lebih banyak. Padahal, perempuan juga bekerja keras di balik layar. Mereka mendidik generasi penerus, menjaga perdamaian, dan ikut menciptakan kehidupan yang lebih baik. Sekarang, perempuan terus memperkuat peran mereka di berbagai bidang. Mereka menjadi pemimpin, guru, dokter, peneliti, hingga pengusaha. Perempuan membawa pandangan baru yang lebih adil dan menyeluruh. Kehadiran mereka membantu menciptakan masyarakat yang lebih seimbang dan manusiawi.

    Maka dari itu, terbentuklah seminar kampung yang ke-3 kali nya di Balai Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Semina ini terbentuk dengan maksud untuk membangun semangat dan edukasi masyarakat terkhususnya perempuan di Dusun Busu. Panitia telah menyelenggarakan seminar kampung sebanyak tiga kali. Panitia menyelenggarakan seminar kampung pertama pada tahun 2020 dengan mengangkat tema ‘Wanita dan Karir’. Kemudian pada tahun 2023 dengan tema “Pemuda Pemudi Kreatif”, dan seminar kampus yang ketiga ini yang mengambil tema “Perempuan dan Peradaban”.

    Seminar kampung yang ke-3 ini sedikit berbeda dan istimewa.Siswa tingkat akhir jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) biasanya mengambil peran sebagai panitia setiap kali seminar kampung diselenggarakan. Namun berbeda, untuk seminar kali ini justru panitianya adalah siswa tingkat Sekolah Menengah Pertama bahkan ada yang masih Sekolah Dasar yang seharusnya belum saatnya memegang event dalam bentuk seminar.

    Tema kali ini yaitu “Perempuan dan Peradaban” yang tentunya untuk menjunjung tinggi lebih perempuan Indonesia khususnya perempuan Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Para lelaki di sana telah membentuk wadah mereka sendiri, seperti karang taruna, grup seni budaya, dan berbagai komunitas lainnya.

    Awal Mula Seminar Kampung

    Tujuan diadakannya seminar kampung ini untuk membentuk mentalitas, kemandirian, dan tentunya kreativitas anak-anak Dusun Busu. Seminar kampung ini awalnya hanya sebuah candaan yang memang juga di rencanakan.

    Seminar kampung ini sebenarnya hanya kelas di gubug. Kelas event pertama ditujukan untuk perempuan tingkat Sekolah Dasar (SD), yang telah diajarkan cara membuat event sederhana seperti halaman atar latar. Mereka juga sudah mampu membentuk kepanitiaan sendiri di lingkungan mereka, serta menyelenggarakan kegiatan seperti outbound mini dan lomba-lomba kecil lainnya.

    Di kelas event kedua, siswa SMP belajar langsung mengorganisasi event di tingkat gang. Mereka belajar menyusun proposal, membuat surat-menyurat, serta mengurus perizinan acara yang mencakup lingkup Rukun Warga (RW).

    Event ketiga atau yang terakhir yaitu kelas event besar dari anak Sekolah Menengah Akhir (SMA). Tugasnya melaksanakan acara besar di kampung halaman sepeti seminar kampung ini.

    Sebuah Kebanggan

    Seminar kampung yang ke-3 kali ini seharusnya dilaksanakan oleh siswa SMA. Namun, secara mengejutkan, siswa SMP justru mengambil alih tanggung jawab tersebut dan berhasil menyelenggarakan seminar berskala kampung. Mereka bahkan menabung selama satu tahun dengan menyisihkan uang jajan, hingga berhasil mengumpulkan dana sebesar satu juta delapan ratus ribu rupiah demi terlaksananya seminar ini. Dengan rasa bangga dan campur aduk, Pakde Abid Hunter ini penuh haru dan semangat yang membara.

    “Saya berharap ada support untuk Dusun Busu, seperti support sarana proyektor, sound system, dari orang yang peduli. Dan untuk anak-anak saya yakin meraka sudah memiliki tekad tersendiri dari hati mereka.” Kata Khusnadi Abid atau kerap dipanggil dengan sebutan Pakde Abid Hunter.

    Kita perlu mengakui bahwa perempuan bukan pelengkap, tapi bagian penting dari setiap langkah kemajuan. Mereka tidak hanya membentuk keluarga, tetapi juga ikut membentuk dunia. Dengan memberi kesempatan yang sama, kita bisa membangun peradaban yang lebih kuat dan adil. Karena di balik setiap bangsa yang maju, ada perempuan yang bekerja dengan hati dan penuh semangat.

    Baca juga: Fourtwnty dan “Mangu” Sukses Mendunia

  • Nicole Kidman Desak Industri Film Tulis Peran Lebih Baik untuk Perempuan di Cannes 2025

    Nicole Kidman Desak Industri Film Tulis Peran Lebih Baik untuk Perempuan di Cannes 2025

    20, Mei 2025– Aktris pemenang Oscar, Nicole Kidman menggunakan panggung Women in Motion Awards di Festival Cannes 2025 untuk menyerukan perubahan signifikan di Industri perfilman. Dalam pidatonta, Kidman menyampaikan keprihatinan terhadap masih terbatasnya peran mendalam bagi perempuan, khususnya mereka yang berusia di atas 40 tahun.

    Dikutip dari Vanity Fair, Kidman menyerukan bahwa “Kita perlu memberikan perempuan peran yang lebih baik, jadi tolong, tulislah mereka,” dalam acara penghargaan yang diselenggarakan oleh Kering Group pada Senin waktu setempat.

    Seruan ini datang di tengah meningkatnya sorotan terhadap kesenjangan gender dalam perfilman global. Meskipun kesadaran akan pentingnya representasi perempuan telah tumbuh, statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah sutradara perempuan dalam film-film box office masih sangat lambat. Sebagai contoh, Kidman mengutip data yang menunjukkan hanya 4% film box office tahun 2017 memiliki sutradara perempuan. Angka ini memang meningkat, tetapi pada 2024 baru mencapai 13%.

    Pengaruh Nicole Kidman

    Lebih lanjut, Kidman mengingatkan bahwa aktris senior seperti dirinya dan Julianne Moore masih memiliki fans loyal dan daya tarik box office yang kuat. Namun, industri film hanya menawarkan peran terbatas kepada mereka. Sejak 2017, ia telah berkomitmen secara publik untuk bekerja dengan setidaknya satu sutradara perempuan setiap 18 bulan. Namun, hingga kini, ia bahkan telah bekerja sama dengan lebih dari 27 perempuan pembuat film, melampaui target awalnya. Meski demikian, perubahan yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. Di tengah perhatian global terhadap kesetaraan gender, kreator perempuan masih sering menghadapi tantangan struktural.

    Di sisi lain, Kering Group meluncurkan program Women in Motion pada 2015, dan program ini telah menjadi salah satu forum penting dalam mengangkat isu ini. Selama sepuluh tahun terakhir, penghargaan ini telah mengapresiasi tokoh-tokoh perempuan berpengaruh dalam dunia sinema, termasuk Susan Sarandon, Salma Hayek, dan Jane Fonda. Kini, mereka memberikan penghargaan kepada Kidman atas komitmennya terhadap pemberdayaan perempuan di industri film.

    Dengan suara bergetar, Kidman mengakhiri pidatonya dengan ajakan kepada para penulis dan kreator untuk mulai menulis karakter perempuan yang lebih kompleks.

    Baca juga: Ratusan Aktor Film Dunia Kecam Diamnya Industri Terhadap Tragedi di Gaza Jelang Festival Cannes

    Referensi:

    • Vanity Fair. 2025. Nicole Kidman Calls for Change in Cannes: ‘We Need to Give Women Better Roles…So Please Write Them’
    • news.com.au. 2025. Nicole Kidman opens up about career and her big public pledge during candid chat in Cannes
    • NDTV. 2025. Nicole Kidman To Receive Women In Motion Award At Cannes Film Festival
  • Akses Pendidikan di Indonesia Masih Jadi Privilege?

    Akses Pendidikan di Indonesia Masih Jadi Privilege?

    Akses Pendidikan Privilege di Indonesia

  • Arti Kebangkitan Nasional: Apa Makna 20 Mei di Tengah Generasi yang Lelah?

    Arti Kebangkitan Nasional: Apa Makna 20 Mei di Tengah Generasi yang Lelah?

    Setiap tanggal 20 Mei, rakyat Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal ini menandakan terbangunnya organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908—sebuah permulaan kesadaran bangsa untuk melawan kolonialisme dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Akan tetapi, lebih dari seratus tahun setelahnya, pertanyaan yang tergantung di pikiran banyak pemuda saat ini adalah Arti Kebangkitan Nasional: Apa Makna 20 Mei di Tengah Generasi yang Lelah? masih memiliki relevansi di tengah generasi yang mengalami kelelahan mental, emosional, dan finansial? 

    Sejarah yang Berbeda dari Realita Saat Ini 

    Boedi Oetomo tidaklah merupakan organisasi massa yang revolusioner. Ia berdiri dari sekelompok mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen)—sekolah kedokteran untuk pribumi di Batavia. Walaupun begitu, semangat yang muncul darinya merupakan awal dari kesadaran akan pentingnya persatuan sebagai sebuah bangsa. 

    “Boedi Oetomo menggabungkan pemikiran bahwa kita sebagai anak negeri memiliki identitas, memiliki suara, dan perlu bersatu untuk kekuatan masa depan yang bersama,” ujar sejarawan Universitas Indonesia, Dr. JJ Rizal, dalam sebuah wawancara pada tahun 2020. 

    Namun, jika kita melihat ke saat ini, semangat itu tampak redup. Pada zaman digital yang sarat dengan informasi cepat, tekanan sosial, ketidakpastian finansial, dan krisis iklim, semangat “kebangkitan” menjadi istilah yang sulit dipahami oleh generasi yang telah merasa lelah sejak usia muda. 

    Generasi Terkuras: Di Antara Cita dan Nyata 

    Bagaimana mungkin bisa bangkit jika kebutuhan dasar saja semakin sulit untuk dipenuhi?

    Survei yang dilakukan oleh YouGov dan UNICEF pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa lebih dari 50% anak muda Indonesia menghadapi tekanan psikologis disebabkan oleh masalah ekonomi, stres akademik, dan ketidakpastian mengenai masa depan. Laporan itu juga menekankan kecemasan mereka mengenai kesempatan kerja, pendidikan, serta ruang partisipasi yang terbatas dalam proses pengambilan keputusan. 

    Dari sini timbul paradoks: kita diajak untuk bangkit oleh sejarah, tetapi kenyataan mendorong kita untuk bertahan dahulu jika tidak bisa dikatakan menyerah. 

    Menemukan Arti Baru: Kebangkitan Tidak Hanya Sebuah Nostalgia 

    Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Dr. Yulfita Rahma, menyatakan bahwa Hari Kebangkitan Nasional perlu menginterpretasikan kembali agar relevan dengan konteks masa kini. 

    “Kita tidak dapat memaksakan romantisme sejarah kepada generasi saat ini tanpa memenuhi kebutuhan mereka.” “Kebangkitan saat ini bukan hanya tentang melawan penjajah, melainkan melawan ketidakadilan, ketidak toleranan, disinformasi, dan krisis identitas,” katanya. 

    Ia memberikan contoh gerakan sosial seperti Aksi Kamisan, Indonesia Tanpa Diskriminasi, atau inisiatif petani muda digital di Jawa Tengah sebagai bentuk “kebangkitan baru” yang sesuai: lokal, organik, dan partisipatif. 

    “Sebagian besar pemuda terlibat dalam komunitas, startup sosial, dan pendidikan berbasis akar.” Namun, mereka sering merasa tidak terlihat, karena negara tidak hadir dalam usaha mereka. Sebenarnya di situlah arti kebangkitan yang sejujurnya: berkembang dari bawah, bukan dari pentas resmi,” ujarnya. 

    Dari Perlawanan Bersenjata ke Perlawanan Tanpa Suara 

    Perlawanan pada masa kolonial terkenal dengan penggunaan senjata. Akan tetapi, pertarungan di era ini lebih senyap dan rumit. Kebangkitan terkenal sebagai keberanian untuk mengungkapkan soal kesehatan mental di ruang umum. Dapat juga diartikan sebagai keputusan seorang pemuda di desa terpencil Kalimantan untuk mendirikan perpustakaan kecil di tempat tinggalnya meskipun tanpa pasokan listrik yang stabil. 

    Salah satu teladan yang menginspirasi adalah Tri Ayu Lestari (30), pendiri komunitas literasi Rumah Baca Banua di Banjarmasin. Ia memanfaatkan perahu untuk mengirimkan buku kepada anak-anak di wilayah tepi sungai. 

    “Kami tidak pernah memikirkan tentang kebangkitan nasional secara luas.” “Tetapi jika anak-anak di desa dapat belajar dan bermimpi, bukankah itu juga sebuah kebangkitan?” ujarnya. 

    Kisah seperti ini jarang tergolong dalam berita utama media atau pidato resmi. Namun, mereka adalah bukti bahwa generasi muda tidak kehilangan idealisme hanya merasa lelah karena terus terabaikan. 

    Apa yang Harus Dikerjakan? 

    Ahli sosiologi dari Universitas Airlangga, Dr. Soeprapto, menegaskan bahwa generasi milenial tidak memerlukan simbolisme yang tidak berarti. 

    “Mereka memerlukan tempat untuk berbicara, kesempatan untuk berkarya, dan jaminan hidup yang pantas.” “Jika suatu negara ingin benar-benar merayakan Kebangkitan Nasional, maka harus mulai dengan mendengarkan suara mereka,” ujarnya. 

    Ia merekomendasikan kepada pemerintah dan lembaga pendidikan untuk mengubah cara merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak hanya melalui acara atau kompetisi esai, tetapi juga dengan dialog terbuka, pendanaan untuk proyek akar rumput, dan perbaikan sistem yang menciptakan keadilan sosial. 

    Dari Pertarungan Bersenjata ke Pertarungan Diam 

    Perjuangan era kolonial terkenal dengan pengangkatan senjata. Akan tetapi, perlawanan di era ini lebih tenang dan rumit. Kebangkitan adalah sebagai bentuk keberanian untuk menyatakan kesehatan mental pada tempat umum. Juga bisa katakan sebagai pilihan seorang pemuda di daerah terpencil Kalimantan untuk mendirikan perpustakaan kecil yang ada desanya meskipun tidak ada listrik yang stabil. 

    Epilog: Bangkit dalam Kesunyian

    Pada akhirnya, arti dari Hari Kebangkitan Nasional tidak hanya ditentukan oleh negara semata. Ini adalah cerita yang perlu ditulis kembali oleh generasi saat ini, dengan tinta kecemasan dan usaha yang gigih. Kebangkitan mungkin tidak terdengar meriah seperti pada tahun 1908 atau 1945. Namun di dunia yang penuh kekacauan dan kelelahan, berani untuk bermimpi dan bertahan hidup merupakan sebuah bentuk perlawanan. 

    Baca Juga: May Day sebagai Cermin Nestapa Buruh Indonesia

  • Kiprah Beverly Joubert di Tengah Savana

    Kiprah Beverly Joubert di Tengah Savana

    Beverly Joubert dan Kameranya

    Perempuan di Garis Konservasi

    Aksi Beverly Joubert

    Potret dalam Big Cat Initiative
  • Safira Hunar Bahas How to Branding Yourself in Digital Era

    Safira Hunar Bahas How to Branding Yourself in Digital Era

    Malang, 17 Mei 2025 — Safira Hunar menjadi pembicara dalam Talkshow bertajuk How to Influence: How to Branding Yourself in Digital Era. Acara ini diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berlangsung di Malang Creative Center (MCC). Talkshow ini dihadiri oleh puluhan audiens dari berbagai kampus di Malang. 


    Safira Hunar dan Perjalanannya Menjadi Konten Kreator

    Safira Husna Arrafi mahasiswi Psikologi kelahiran 4 Agustus 2002, mulai terjun ke dunia konten sejak 2020. Awal mula ia merintis menjadi konten kreator adalah dengan membuat video transisi outfit fashion dan sempat viral dengan tiga juta views dalam dua minggu. Namun seiring berjalannya waktu ia merasa kurang cocok di bidang fashion kreator dan beralih ke konten daily life. Dari situ followers-nya naik drastis hingga jutaan, dan mulai datang berbagai tawaran kerja sama. Kini, akun TikTok @safirahunar telah mempunyai 3,1 juta pengikut, dan 104 ribu pengikut instagram.

    Safira mengaku mulai serius jadi konten kreator setelah merasa lebih nyaman dan yakin dengan apa yang ia buat. “Yakin bisa jadi konten kreator itu pas udah nemu jati diri, nemu kalau aku cocoknya di daily life dan lagi butuh duit, nah itu saat aku mulai fokusin,” ujarnya. Ia biasa mengambil inspirasi dari hal-hal sederhana yang ia temui setiap hari. “Hal-hal yang aku lihat sehari-hari itu yang aku jadiin konten. Kalau kepikiran ide, langsung aku catat,” tambahnya.

    How to Branding Yourself in Digital Era

    Personal branding adalah cara orang mengenal dan mengingat kita, bukan menjadi orang lain tapi menjadi versi terbaik diri sendiri. Menurut Safira, personal branding bukan cuma soal tampil di media sosial, tapi juga soal bagaimana seseorang membawa diri di kehidupan sehari-hari. 

    Safira juga membahas pentingnya personal branding, apalagi di era digital saat ini. Personal branding mampu meningkatkan kepercayaan dan daya ingat seseorang terhadap kita. Bisa membuka peluang kerjasama, endorse, serta kolaborasi. Ia juga membagikan tips bagaimana membangun branding diri sendiri “Kenali diri dan explore keunikan, konsisten dan mulai dari sekarang” Tutupnya. 

    baca juga : Asap Konklaf Berwarna Putih, Kardinal Roberts Francis Prevost, Paus Baru Terpilih

  • Warisan Intelektual Abdul Malik Fadjar Melalui Rumah Baca Cerdas

    Warisan Intelektual Abdul Malik Fadjar Melalui Rumah Baca Cerdas

    MANUNGSA— Di tengah derasnya arus digital dan derasnya informasi, berdirilah Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute Abdul Malik Fadjar. Lebih dari sekedar perpustakaan, tempat ini adalah warisan hidup dari seorang tokoh pendidikan nasional yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa. Abdul Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan, merintis RBC sebagai pusat pemikiran progresif, tempat generasi muda dapat tumbuh melalui literasi, dan diskusi. Meski ia telah tiada, jejak pemikirannya tetap mengalir dalam setiap halaman buku dan percakapan yang tercipta di sana.

    Latar Belakang A. Malik Fadjar

    Abdul Malik Fadjar bukanlah nama yang asing dalam peta pendidikan nasional. Pria kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk dunia pendidikan dan dakwah Islam modern. Sejak awal karirnya sebagai guru dan dosen, ia tidak hanya mengajar, tetapi juga aktif mengembangkan institusi pendidikan, terutama di lingkungan Muhammadiyah.

    Keteladanannya membuat ia dipercaya menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama dua periode (2005-2015), posisi yang memperkuat komitmennya terhadap pengembangan pendidikan Islam yang berkemajuan. Tidak hanya itu, pada 1995 ia diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan pada 2001 A. Malik Fadjar menerima gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kontribusinya terhadap pendidikan Islam.

    Lahirnya Rumah Baca Cerdas

    Ketika sebagian orang mempersiapkan masa pensiun dengan beristirahat, Malik Fadjar justru memulai satu babak penting lainnya, yaitu membangun pusat literasi. Pada 30 November 2005, RBC resmi berdiri di rumah peninggalan pribadinya di Malang. Ia bermimpi menciptakan tempat belajar yang hidup, yang tidak sekadar menyimpan buku, tapi juga menghidupkan dialog, perdebatan, dan gagasan.

    Sebagian besar koleksi buku di RBC berasal dari perpustakaan pribadi Malik Fadjar. Ia berharap agar buku-buku itu tidak hanya menjadi isi rak, melainkan menjembatani pengetahuan bagi generasi baru. RBC dilengkapi dengan ruang diskusi yang nyaman dan cafe, karena baginya, diskusi paling berkesan selalu terjadi saat minum kopi.

    Dari Rumah Baca menjadi Institut

    Meski aktivitas di RBC sudah berjalan sejak 2005, baru pada 2020 institusi ini secara resmi menjadi RBC Institute Abdul Malik Fadjar. Transformasi ini mengubah banyak hal. RBC kini memiliki struktur organisasi yang lebih sistematis, termasuk posisi Direktur Eksekutif, dan menjalin kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sebagai mitra operasional utama.

    Perubahan ini juga menandai semakin beragamnya kegiatan RBC. Selain diskusi bulanan dan program literasi, mereka menjalankan riset, publikasi, dan menerbitkan buku. Salah satu program inovatifnya adalah Mobil Terbang—sebuah upaya membawa buku dan diskusi ke sekolah-sekolah. Dengan semangat keberlanjutan, RBC tidak hanya menjadi tempat membaca, tetapi juga ekosistem pembelajaran yang merangkul pemikiran sosial-keagamaan secara progresif. Semua itu tetap setia pada visi awal sang pendiri: menjadikan ilmu sebagai alat membebaskan, bukan membatasi.

    Kini, walau Malik Fadjar telah tiada, semangatnya tetap hidup di setiap aktivitas RBC. Anak-anak muda, aktivis, dan masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul di sana—membaca, berdiskusi, dan membentuk gagasan baru. Setiap lembar buku yang dibuka, setiap kata yang diperdebatkan, menjadi bukti bahwa warisan pemikiran tidak pernah benar-benar berakhir.

    Tidak heran bila banyak pihak menganggap RBC sebagai bentuk konkret dari gagasan “pendidikan yang membebaskan.” Bukan hanya ruang baca, melainkan pusat pertumbuhan intelektual yang mendewasakan siapa pun yang bersedia membuka pikirannya.

    Baca juga: B.J. Habibie: Kasih, Teknologi, dan Dedikasi Tanpa Batas 

  • Ratusan Aktor Film Dunia Kecam Diamnya Industri Terhadap Tragedi di Gaza Jelang Festival Cannes

    Ratusan Aktor Film Dunia Kecam Diamnya Industri Terhadap Tragedi di Gaza Jelang Festival Cannes

    Malang, 13 Mei 2025— Lebih dari 350 tokoh industri film Internasional, termasuk Mark Ruffalo, Javier Bardem, dan Xavier Dolan, menandatangani surat teruka yang mengecam sikap diam industri film terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Harian Prancis Libération menerbitkan surat tersebut pada Senin (13/5), tepat sebelum pembukaan Festival Film Cannes ke-78.

    Dalam surat bertajuk “In Cannes, the horror in Gaza must not be silenced”, para penandatangan menyuarakan keprihatinan atas penderitaan warga sipil Palestina akibat serangan Israel dan mengkritik kurangnya respons dari komunitas budaya global. Mereka menyoroti kematian Fatima Hassouna, seorang jurnalis foto dan seniman Palestina berusia 25 tahun, yang tewas bersama sepuluh anggota keluarganya dalam serangan udara Israel di Gaza pada 16 April 2025. Film dokumenter tentang Hassouna, Put Your Soul on Your Hand and Walk, diumumkan akan diputar di Cannes melalui program ACID (Association du Cinéma Indépendant pour sa Diffusion)—sebuah asosiasi di Prancis yang mempromosikan dan mendistribusikan film-film independen, terutama karya sineas baru atau kurang dikenal—sehari sebelum kematiannya.

    Para penandatangan menyerukan agar dunia perfilman tidak menjadi “kelompok diam” terhadap kekerasan yang terjadi. Mereka juga mendesak penggunaan seni sebagai alat perlawanan dan pembelaan hak asasi manusia. Surat ini juga mengkritik Akademi Oscar karena tidak memberikan dukungan yang memadai kepada sutradara Palestina Hamdan Ballal, yang mengalami penahanan oleh pasukan Israel meskipun filmnya No Other Land berhasil memenangkan penghargaan Oscar.

    Festival Film Cannes 2025 resmi membuka rangkaian acaranya pada Selasa (13/5). Festival ini menampilkan berbagai film yang menyoroti isu-isu geopolitik, termasuk dokumenter tentang Ukraina. Para penyelenggara juga memberikan penghormatan kepada jurnalis Palestina yang gugur dan menyerukan agar dunia tidak mengabaikan tragedi kemanusiaan yang terjadi.

    Baca juga: Ratu Won Gyeong: Perempuan di Balik Berdirinya Tahta Joseon

  • Ratu Won Gyeong: Perempuan di Balik Berdirinya Tahta Joseon

    Ratu Won Gyeong: Perempuan di Balik Berdirinya Tahta Joseon

    Drama Korea The Queen Who Crowns (2025) menghidupkan kembali legenda Ratu Won Gyeong melalui penampilan memukau Cha Joo-Young, yang menggambarkannya sebagai sosok sentral cerdas dan penuh pengaruh dalam pembentukan Dinasti Joseon. Melalui narasi yang berfokus pada perspektifnya, drama ini mengangkat kisah perjuangan perempuan yang tidak hanya menjadi istri raja, tetapi juga arsitek kekuasaan yang membentuk masa depan kerajaan.

    Latar Belakang Ratu Won Gyeong

    Ratu Won Gyeon (Lady Min) berasal dari klan Yeoheung Min, salah satu keluarga bangsawan terkemuka yang mendominasi percaturan politik akhir masa Goryeo. Sebagai putri Min Je, seorang pejabat negara yang menguasai strategi pemerintahan dan menganut filsafat Neo-Konfusianisme—ia mewarisi kecerdasan politik ayahnya. Filsafat inilah yang kelak menjadi landasan ideologis Dinasti Joseon.

    Lahir di tengah ketidakstabilan politik Goryeo, Lady Min tumbuh dalam lingkungan aristokratik yang mengutamakan pendidikan tinggi dan pengaruh istana. Sejak muda, ia menunjukkan kecerdasan dan kemampuan memahami dinamika politik yang rumit. Dua kemampuan penting yang kelak menjadi ciri khasnya sebagai Ratu. Min Je membekali putrinya dengan pendidikan mendalam dalam sastra klasik, sejarah, dan ajaran Konfusianisme, sehingga Ratu Won Gyeong tidak hanya tumbuh sebagai perempuan istana yang anggun, tetapi juga berkembang menjadi politisi yang cakap.

    Strategi Kekuasaan Ratu Won Gyeong

    Pertemuan dengan Yi Bang Won, anak raja Taejo, yang mendirikan Dinasti Joseon, menandai babak baru dalam kehidupannya. Keduanya menikah dengan tujuan membentuk aliansi politik, tetapi hubungan itu berkembang menjadi partner yang strategis. Won Gyeong tidak hanya mendampingi suaminya, ia juga membentuk pijakan ideologis dan politik yang menopang ideologi mereka.

    Raja Taejong dan Ratu Won Gyeong dalam Drama The Queen Who Crowns
    Source: ssmedia.my.id

    Transisi dari Goryeo ke Joseon membuka peluang sekaligus tantangan. Saat konflik suksesi meletus di antara para putra Raja Taejo, Won Gyeong memilih untuk berdiri di sisi Yi Bang Won. Ia menyusun strategi kudeta yang berujung pada Peristiwa Putra Mahkota Kedua—salah satu episode paling berdarah dalam sejarah istana Joseon.

    Dalam konflik tersebut, Won Gyeong memainkan peran krusial. Ia memantau aliansi, menilai loyalitas pejabat, dan mengelola intrik yang muncul. Meski tindakan-tindakannya jarang terdokumentasi secara eksplisit, pengaruhnya terasa jelas. Setelah kudeta berhasil, Yi Bang Won dinobatkan sebagai Raja Taejong, dan Won Gyeong menjadi Ratu.

    Ratu dan Ibu yang Bijak

    Transisi menuju peran sebagai ratu bukan berarti perjuannya telah berakhir. Istana baru, membawa dinamika baru. Meski banyak ratu hanya berfungsi sebagai simbol belaka, Won Gyeong menegaskan kekuasaannya dengan otoritasnya di Istana. Di tengah ancaman politik dari selir-selir muda yang dijadikan alat politik suaminya, ia dengan cerdik mempertahankan otoritas dan pengaruhnya di istana.

    Alih-alih melawan secara personal dan terbuka, Won Gyeong memilih jalur diplomasi. Dengan kepala tegak, ia mempertahankan martabat kerajaannya sembari merancang masa depan anak-anaknya—terutama Yi Do, yang kelak akan mengukir sejarah sebagai Sejong The Great . Ia tak hanya menjadi ibu dari raja, ia adalah pembentuk karakter dan visi sang putra.

    Dengan strategi halus dan cerdik, Ratu Won Gyeon berhasil meredam konflik istana tanpa mempermalukan siapapun. Gaya kepemimpinannya yang lembut tapi tetap efektif, mengajarkan bahwa stabilitas bisa dicapai bukan dengan dominasi, melainkan dengan kebijakan.

    Interpretasi Perempuan dalam Dunia Modern

    Sayangnya, sejarah resmi Dinasti Joseon jarang menuliskan peran perempuan secara adil. Para sejarawan sering menyebut Won Gyeong hanya sebagai istri atau ibu. Namun, pengaruhnya turut menjaga stabilitas istana dan mendukung kesinambungan kekuasaan kerajaan.

    Budaya populer, seperti drama sejarah The Queen Who Crowns, menginterpretasikan ulang sosok Ratu Won Gyeong dan mengangkatnya kembali ke permukaan. Drama ini menggambarkannya sebagai perempuan kuat yang turut menentukan setiap keputusan penting. Hal tersebut memberikan ruang bagi penonton untuk memahami bahwa di balik suksesnya Raja Taejong dan Raja Sejong, berdiri sosok ibu dan istri yang berperan penting.

    Ratu Won Gyeong membuktikan bahwa perempuan mampu memainkan peran penting di tengah dunia yang didominasi laki-laki, bahkan dalam sistem sepatriarkal zaman Joseon sekalipun. Ia adalah lambang ketahanan, diplomasi, dan kekuatan intelektual.

    Baca juga: Kalis Mardiasih Bahas Pendidikan Perempuan hingga Ketimpangan Gender dalam Diskusi Ruang Gagasan

    Referensi:

    • The Queen Who Crowns. 2025. TvN.
    • Forbes. 2025. ‘The Queen Who Crowns’ Refuses To Be Her King’s Subject.