Kategori: Swara

  • Menjawab Krisis Intelektual Lewat Literasi,  Kiprah Regeneratif RBC Institute A. Malik Fadjar

    Menjawab Krisis Intelektual Lewat Literasi,  Kiprah Regeneratif RBC Institute A. Malik Fadjar

    Manungsa – Indonesia tengah dilanda krisis literasi. Di tengah generasi yang melek digital namun tak melek literasi, Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A. Malik Fadjar hadir menyalakan cahaya literasi, menjadi rumah belajar yang konsisten mencetak kader intelektual bangsa.

    Indonesia menghadapi krisis literasi yang kian mengkhawatirkan. Dalam survei UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia disebut hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca.  Ironisnya, ini terjadi di tengah ledakan akses informasi digital yang tak terbendung. Generasi muda melek digital, tapi tidak melek literasi. Generasi muda mampu mengakses berbagai platform media sosial dan sumber informasi dengan cepat, namun sayangnya kemampuan literasi, kemampuan membaca, memahami, dan berpikir kritisnya justru tidak sejalan dengan kemajuan teknologi tersebut. Menjawab tantangan literasi yang kian mengkhawatirkan, RBC Institute A. Malik Fadjar muncul sebagai rumah belajar komunitas yang terus menyalakan cahaya literasi melalui kaderisasi intelektual.

    Membangun Literasi sebagai Pilar Intelektual

    Lebih dari sekadar ruang diskusi, RBC adalah rumah belajar komunitas yang memberi ruang bagi generasi muda untuk tumbuh menjadi kader intelektual dengan pemikiran kritis, kesadaran sosial-politik, dan pemahaman keislaman yang progresif. Inilah semangat yang diwariskan oleh mendiang Prof. A. Malik Fadjar, seorang pendidik dan tokoh Muhammadiyah yang visioner.

    Ketika kecepatan dan visual jadi prioritas utama di ruang digital, proses berpikir yang mendalam justru kehilangan ruangnya. RBC Institute A. Malik Fadjar menjadikan literasi sebagai alat utama dalam menghadapi krisis ini. Tidak sekadar membaca buku, literasi dimaknai sebagai kemampuan memahami, menganalisis, dan merespons realitas sosial melalui nalar. Mengimplementasikan gagasan-gagasan dan pemikiran A. Malik Fadjar tentang pendidikan dan politik secara nyata, dengan cara melakukan penelitian (riset), mengadakan diskusi, serta menyebarkan hasil pemikiran tersebut lewat tulisan atau publikasi. Literasi bukan sekadar membaca buku, tapi juga membaca zaman.

    Suasana diskusi di RBC
    source : RBC

    Kiprah Regeneratif, Mencetak Kader Intelektual Baru

    Kiprah RBC Institute A. Malik Fadjar tidak berhenti pada kegiatan diskusi atau penyediaan akses bacaan semata. Sesuai dengan misinya, RBC berkomitmen pada proses regenerasi dan pengkaderan literasi untuk melahirkan kader-kader intelektual yang kelak siap menjadi pemimpin dan tokoh yang berkontribusi nyata bagi bangsa. RBC menjadi wadah bagi siapapun untuk  mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin. Staf-staf yang bekerja, dalam jangka waktu 1–2 tahun juga mendapatkan dukungan penuh dari RBC, baik dalam merancang rencana studinya maupun pengembangan karirnya.


    “Kemarin banyak sekali kerabat RBC yang melanjutkan studi ke luar negeri. Itu juga, sedikit banyak, ada peran RBC. Mulai dari menyediakan tempat belajar, ruang diskusi, sampai jejaring yang membantu mereka terhubung ke relasi yang lebih luas. Itu adalah faktor kultural yang turut mendukung keberangkatan mereka juga,” Ungkap Manda, Koordinator Event dan Program RBC. Budaya saling mendukung dan belajar bersama inilah yang menjadi kekuatan RBC sebagai rumah belajar, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan. Dengan berbagai koleksi bacaan, ruang diskusi terbuka, serta jaringan komunitas dan organisasi, RBC telah membentuk ekosistem belajar yang produktif. Menjadi ruang langka di mana pemuda bisa bertumbuh sebagaI kader intelektual bangsa.

    Di tengah krisis intelektual, RBC Institute A. Malik Fadjar bukan hanya bertahan, ia tumbuh, dan menumbuhkan. Kiprah regeneratif yang dibawanya menjadi bukti bahwa literasi masih relevan sebagai jalan membentuk masa depan bangsa. Bahwa masih ada ruang untuk berpikir, meriset, dan bertindak secara sadar. Dimulai dari kata, ditumbuhkan lewat buku, dipertajam dalam diskusi, dan diteguhkan oleh literasi.

    Baca Juga : Warisan Intelektual Abdul Malik Fadjar Melalui Rumah Baca Cerdas

  • PSG Raih Liga Champions Pertama dalam Sejarah Klub

    PSG Raih Liga Champions Pertama dalam Sejarah Klub

    PSG Raih Liga Champions

    PSG Raih Liga Champions pertama dalam sejarah klub mereka. Kemenangan besar ini mereka dapatkan setelah mengalahkan Inter Milan dengan skor 5-0 dalam laga final yang digelar di Allianz Arena, Minggu (1/6/2025) dini hari WIB.

    Momen Bersejarah di Final Liga Champions

    Pertandingan final ini menjadi momen bersejarah bagi PSG. Mereka menunjukkan dominasi penuh sejak awal hingga akhir pertandingan. Dua gol spektakuler dari bintang muda berusia 19 tahun, Desire Doue, menjadi kunci kemenangan besar ini. Selain itu, Achraf Hakimi, Khvicha Kvaratskhelia, dan Senny Mayulu juga turut mencetak gol untuk memastikan kemenangan PSG yang sangat meyakinkan.

    Keputusan Strategis Luis Enrique

    Pelatih PSG, Luis Enrique, mengambil keputusan berani dengan menurunkan Desire Doue sejak menit awal, menggantikan Bradley Barcola. Keputusan ini terbukti sangat tepat. Selain mencetak dua gol, Doue juga memberikan assist untuk gol pembuka yang dicetak oleh Achraf Hakimi pada menit ke-12. Penampilan brilian pemain muda ini membuatnya dinobatkan sebagai Man of The Match.

    Statistik Mengagumkan dari Desire Doue

    Data statistik menunjukkan bahwa Desire Doue tampil luar biasa dalam pertandingan ini. Ia berhasil melakukan 100 persen dribel sukses dan umpan silang yang akurat. Tidak hanya itu, ia juga mencatat empat tembakan dengan tiga di antaranya tepat sasaran, menciptakan tiga peluang, dan menghasilkan dua peluang emas bagi timnya.

    Akhir dari Penantian Panjang PSG

    Dengan hasil ini, PSG akhirnya mengakhiri penantian panjang mereka untuk meraih trofi Liga Champions. Sebelumnya, PSG selalu gagal di fase-fase krusial kompetisi bergengsi ini. Kemenangan 5-0 atas Inter Milan menjadi bukti bahwa PSG kini siap bersaing dan mendominasi sepak bola Eropa.

    Peran Vital Para Pemain Muda

    Selain Desire Doue, transformasi PSG juga terlihat dari performa para talenta muda lain seperti Senny Mayulu dan Khvicha Kvaratskhelia. Tim ini menunjukkan kekuatan dan kebersamaan yang membuat mereka layak menjadi juara.

    Awal Era Baru Kejayaan Setelah PSG Raih Liga Champions

    Kemenangan ini menjadi tonggak baru bagi PSG. Mereka tidak hanya berhasil meraih gelar Liga Champions, tetapi juga menunjukkan bahwa generasi muda bisa membawa klub ke puncak kejayaan. Para pemain muda yang penuh semangat dan bakat kini menjadi harapan masa depan PSG dan sepak bola Eropa.

    Langkah Selanjutnya Setelah PSG Raih Liga Champions

    PSG akan terus mengembangkan tim mereka dan mempertahankan gelar ini di musim-musim berikutnya. Kemenangan PSG Raih Liga Champions ini menjadi awal dari era baru kejayaan klub asal Paris ini di kancah sepak bola dunia.

    Baca juga: Persib Bandung Pastikan Kunci Gelar Juara Liga 1 2024/25

  • Taylor Swift Resmi Kuasai Enam Album Awal

    Taylor Swift Resmi Kuasai Enam Album Awal

    Taylor Swift akhirnya memiliki hak penuh atas enam album awal dalam karier musiknya, sebuah pencapaian besar setelah perjuangan panjang menghadapi isu kepemilikan master rekaman yang sempat memicu kontroversi dan perdebatan sengit di industri musik. Keberhasilan ini bukan hanya soal penguasaan aset berharga, tetapi juga simbol kemenangan bagi para musisi yang berjuang mempertahankan kendali atas karya mereka sendiri di tengah tekanan bisnis dan label rekaman besar.

    Kabar ini disampaikan melalui berbagai platform media pada akhir Mei 2025 dan menjadi sorotan besar di kalangan industri musik serta penggemar. Kini, Swift sepenuhnya menguasai master recording dari album Taylor Swift (2006), Fearless (2008), Speak Now (2010), Red (2012), 1989 (2014), dan Reputation (2017), setelah sebelumnya master album ini dimiliki oleh label lamanya, Big Machine Records.

    Konflik bermula pada 2019, saat Scooter Braun melalui perusahaan Ithaca Holdings membeli Big Machine Records, dan otomatis memiliki hak atas rekaman asli keenam album tersebut. Swift mengaku tidak diberi kesempatan membeli masternya sendiri dan merasa tidak dihargai sebagai artis yang membesarkan label tersebut. “This is my worst-case scenario,” tulis Swift dalam unggahan media sosial saat itu, yang mendapat dukungan luas dari penggemar dan sesama musisi.

    Sebagai langkah balasan, Swift memulai proyek rekaman ulang lagu-lagunya dalam versi “Taylor’s Version” mulai 2021. Hingga kini, ia telah merilis ulang Fearless, Red, Speak Now, dan 1989 dalam versi terbaru yang mendapat sambutan positif secara komersial dan kritis. Langkah ini juga berhasil menarik ulang hak eksklusif distribusi ke pihaknya sendiri.

    Kepemilikan penuh atas semua lagu kini membuat Taylor Swift memiliki kontrol total atas pemutaran, distribusi, hingga lisensi komersial dari seluruh karya lamanya. Menurut laporan Billboard dan Variety, langkah ini merupakan salah satu manuver bisnis paling berpengaruh di dunia musik dekade ini.

    Tak hanya mempertegas posisi Swift sebagai musisi independen dengan pengaruh kuat, keputusan ini juga menginspirasi banyak artis muda untuk memahami pentingnya hak atas karya sendiri. Keberhasilan ini menandai babak baru dalam industri musik modern di mana kekuasaan kreatif perlahan kembali ke tangan para penciptanya.

  • Reality Club Rilis Lagu Baru: ‘Quick! Love’

    Reality Club Rilis Lagu Baru: ‘Quick! Love’

    MANUNGSAReality Club merilis single ‘Quick Love’ yang mencerminkan hubungan modern yang cepat terjalin dan cepat hilang.

    Reality Club kembali menunjukkan taringnya di dunia musik Indonesia lewat single terbaru mereka yang berjudul ‘Quick Love’. Lagu ini dirilis pada akhir Mei 2025 dan langsung menarik perhatian para penggemar dengan nuansa musik yang khas serta lirik yang menggambarkan realitas hubungan di zaman modern.

    ‘Quick Love’

    ‘Quick Love’ membahas fenomena cinta yang serba instan. Di era digital seperti sekarang, hubungan seringkali terbentuk dengan cepat, tanpa proses mengenal yang dalam. Dengan lirik jujur dan musik enerjik, Reality Club mengajak kita merenungkan pengaruh teknologi pada cara mencintai.

    Dalam lagu ini, Reality Club menyampaikan kegelisahan banyak orang yang merasakan hubungan yang tidak bertahan lama. Emosi datang dan pergi secepat notifikasi di ponsel. Cinta menjadi seperti barang konsumsi yang mudah diganti. Hal ini terlihat jelas dari potongan lirik seperti “we swipe, we match, we love, then leave” yang menggambarkan siklus cepat dalam hubungan masa kini.

    Secara musikal, ‘Quick Love’ tetap mempertahankan ciri khas Reality Club seperti perpaduan antara nuansa indie rock dan sentuhan pop yang segar. Lagu ini memiliki ritme cepat dan vokal yang ekspresif, menciptakan suasana yang cocok dengan tema yang mereka angkat. Band ini seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun cinta bisa datang dengan cepat, dampaknya bisa terasa dalam dan rumit.

    Reality Club juga merilis video musik untuk lagu ini yang menggambarkan pasangan-pasangan yang saling bertemu dan berpisah dengan cepat. Visual yang dinamis dan penggunaan warna-warna cerah menciptakan kesan modern namun tetap menyimpan sisi melankolis.

    Emosional yang Relevan

    Melalui ‘Quick Love’, Reality Club berhasil mengangkat topik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, khususnya generasi muda. Lagu ini bukan hanya enak didengar, tapi juga mengajak kita berpikir ulang tentang arti cinta yang sebenarnya di tengah dunia yang serba cepat.

    Dengan karya ini, Reality Club membuktikan bahwa mereka bukan hanya piawai dalam bermusik, tapi juga peka terhadap isu sosial dan emosional yang relevan. ‘Quick Love’ adalah pengingat bahwa cinta sejati mungkin butuh waktu, dan tidak selalu datang secepat swipe di layar.

    Baca juga: Fourtwnty dan “Mangu” Sukses Mendunia

  • Dewi Sartika Pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia

    Dewi Sartika Pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia

    Konteks Sejarah dan Signifikansi

    Dewi Sartika (4 December 1884 – 11 September 1947) yang mendirikan sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda. Dalam konteks sejarah Indonesia kolonial, sosok Dewi Sartika pelopor pendidikan perempuan Indonesia, muncul sebagai pionir revolusioner yang mendobrak tatanan sosial patriarkis yang telah mengakar berabad-abad. Kehadirannya bukan hanya sebagai pendidik, tetapi sebagai agen perubahan sosial yang memahami bahwa pendidikan adalah kunci utama emansipasi perempuan. Nama sekolah yang ia buat yaitu Sekolah Kautamaan Istri.

    Era kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode transisi penting dalam sejarah Indonesia. Pemerintah kolonial mulai membuka akses pendidikan melalui politik etis, namun mereka tetap membatasi dan mendiskriminasi perempuan pribumi. Dalam konteks inilah Dewi Sartika mengambil peran sebagai pelopor yang berani menantang status quo.

    Silsilah Keluarga dan Latar Belakang Sosial-Ekonomi

    Dewi Sartika was born to Sundanese noble parents, R. Rangga Somanagara and R. A. Rajapermas in Cicalengka on 4 December 1884. Ayahnya, Raden Rangga Somanagara, adalah seorang priyayi yang memiliki pandangan progresif untuk ukuran zamannya. Ayahnya merupakan seorang priyayi yang sudah maju pada waktu itu, yang memahami pentingnya pendidikan tidak hanya untuk laki-laki tetapi juga perempuan.

    Ibu Dewi Sartika, Raden Ayu Rajapermas, berasal dari keluarga bangsawan Sunda yang memiliki pengaruh di wilayah Priangan. Silsilah keluarga ini penting untuk dipahami karena memberikan Dewi Sartika akses terhadap pendidikan dan jaringan sosial yang memungkinkannya untuk merealisasikan visi pendidikannya.

    Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara, yang menunjukkan bahwa ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang cukup besar dan dinamis. Posisinya sebagai anak kedua memberikan perspektif unik tentang dinamika keluarga dan peran gender dalam masyarakat Sunda tradisional.

    Keluarga Somanagara memiliki tanah dan kedudukan yang memungkinkan mereka untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Namun, yang membedakan keluarga ini adalah visi progresif mereka tentang pendidikan perempuan, yang tidak umum pada masa itu.

    Pendidikan Formal dan Informal: Pembentukan Karakter Intelektual

    Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia termasuk murid yang cerdas. Pendidikan formalnya di sekolah pemerintah kolonial memberikan fondasi akademik yang kuat, termasuk kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Belanda dan Melayu.

    Namun, pendidikan informal yang diterimanya dari lingkungan keluarga dan budaya Sunda tidak kalah pentingnya. She received an education in Sundanese culture while under his care setelah ayahnya meninggal dan ia tinggal dengan pamannya. Pendidikan budaya Sunda ini memberikan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai tradisional, yang kemudian ia padukan dengan pemikiran modern dalam konsep pendidikannya.

    Pulang sekolah ia mengajak beberapa orang gadis anak pelayan dan pegawai untuk bermain sekolah-sekolahan, di mana ia berperan sebagai guru. Aktivitas ini menunjukkan bakat natural dan panggilan jiwa sebagai pendidik yang sudah muncul sejak usia dini.

    Pengalaman bermain “guru-guruan” ini memberikan insight penting tentang metodologi pengajaran yang kemudian ia kembangkan. Ia belajar bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak dari berbagai latar belakang sosial, termasuk anak-anak pelayan yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Yang akhirnya ia dikenal sebagai Dewi Sartika pelopor pendidikan perempuan Indonesia.

    Konteks Politik dan Sosial Era Kolonial

    Untuk memahami signifikansi perjuangan Dewi Sartika, penting untuk menganalisis konteks politik dan sosial era kolonial. Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan Politik Etis sebagai respons terhadap kritik internasional tentang eksploitasi kolonial.

    Politik Etis mencakup tiga pilar utama: edukasi, irigasi, dan emigrasi. Namun, implementasi kebijakan edukasi masih sangat terbatas dan elitis. Sekolah-sekolah yang tersedia umumnya hanya untuk anak-anak priyayi dan pedagang kaya, dengan prioritas utama pada laki-laki.

    Kondisi perempuan pribumi pada masa itu sangat memprihatinkan. Norma-norma sosial tradisional membatasi mereka dengan menempatkan perempuan sebagai “konco wingking” (teman belakang) yang hanya bertugas mengurus urusan domestik.








    Tingkat buta huruf di kalangan perempuan mencapai hampir 100%, yang mencerminkan ketimpangan gender yang sangat ekstrem.

    Dalam konteks inilah visi Dewi Sartika menjadi sangat revolusioner. Ia tidak hanya ingin memberikan pendidikan kepada perempuan, tetapi juga mengubah paradigma sosial tentang peran dan kapasitas perempuan dalam masyarakat.

    Pendirian Sekolah Isteri

    Pada 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga mendapatkan dukungan dari Kakeknya, Raden Agung A Martanegara dan seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer. Tanggal 16 Januari 1904 menjadi tonggak sejarah pendidikan perempuan Indonesia, ketika Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah Isteri.

    Pemilihan nama “Sekolah Isteri” sangat strategis dan simbolis. Kata “isteri” dalam bahasa Melayu menunjukkan penghormatan terhadap peran perempuan sebagai istri, namun sekaligus memperluas definisi peran tersebut untuk mencakup dimensi intelektual dan sosial yang lebih luas.

    Dukungan dari kakeknya, Raden Agung A Martanegara, memberikan legitimasi sosial dan politik yang sangat penting. Sebagai tokoh bangsawan yang dihormati, dukungannya membantu mengurangi resistensi dari masyarakat tradisional yang skeptis terhadap pendidikan perempuan.

    Keterlibatan Den Hamer, seorang Inspektur Kantor Pengajaran Belanda, menunjukkan bahwa proyek ini mendapat dukungan resmi dari pemerintah kolonial. Hal ini penting untuk memahami dinamika politik kolonial, di mana pemerintah Belanda mulai mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap pendidikan pribumi sebagai bagian dari Politik Etis.

    Kurikulum Sekolah Isteri dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan praktis perempuan pada masa itu, namun juga mempersiapkan mereka untuk peran yang lebih aktif dalam masyarakat. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi:

    1. Literasi Dasar: Membaca dan menulis dalam aksara Latin dan Arab-Melayu
    2. Numerasi: Berhitung dan matematika praktis untuk keperluan rumah tangga dan perdagangan
    3. Pendidikan Agama: Mengaji dan pengetahuan dasar Islam
    4. Keterampilan Domestik: Memasak, menjahit, dan manajemen rumah tangga
    5. Keterampilan Ekonomi: Kerajinan tangan yang dapat menghasilkan income
    6. Kesehatan dan Kebersihan: Pengetahuan dasar tentang kesehatan keluarga

    Sekolah Kaoetamaan Isteri memiliki motto dari bahasa Sunda “cageur, bageur, bener, singer, pinter” yang artinya “sehat, baik hati, benar, mawas diri, pintar”. Motto ini mencerminkan filosofi pendidikan holistik yang mengintegrasikan aspek fisik, moral, spiritual, dan intelektual.

    Perkembangan dan Ekspansi: Dari Lokal ke Regional

    Keberhasilan Sekolah Isteri segera menarik perhatian luas. jumlah murid terus bertambah. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah Hindia Belanda, sekolah ini berkembang pesat dan membuka cabang di beberapa kota di Jawa Barat.

    Pada tahun 1910, nama sekolah diubah menjadi “Sekolah Kaoetamaan Isteri” (Sekolah Keutamaan Perempuan), yang menunjukkan evolusi konsep dan visi pendidikan. Perubahan nama ini juga mencerminkan pengakuan resmi dari pemerintah kolonial dan peningkatan status kelembagaan.

    Pada tahun 1910, Sekolah Kautamaan Istri telah menjadi model pendidikan perempuan yang banyak diadopsi di daerah wilayah lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa model pendidikan yang dikembangkan Dewi Sartika tidak hanya berhasil secara lokal, tetapi juga menjadi template untuk pengembangan pendidikan perempuan di seluruh Nusantara.

    Data Statistik dan Dampak Kuantitatif

    Meskipun data statistik lengkap sulit diperoleh karena keterbatasan dokumentasi era kolonial, beberapa indikator menunjukkan kesuksesan yang luar biasa:

    • Pada tahun pertama (1904), sekolah dimulai dengan sekitar 20 siswa
    • Pada tahun 1910, jumlah siswa telah mencapai ratusan orang
    • Hingga tahun 1920, terdapat sembilan cabang sekolah di berbagai kota di Jawa Barat
    • Alumni sekolah banyak yang menjadi guru, pengusaha kecil, dan aktivis sosial

    Jaringan Cabang dan Sebaran Geografis

    Ekspansi Sekolah Kaoetamaan Isteri ke berbagai daerah di Jawa Barat menciptakan jaringan pendidikan perempuan yang sangat penting. Cabang-cabang sekolah didirikan di:

    1. Bandung (pusat): Sekolah utama dan model
    2. Bogor: Melayani wilayah Bogor dan sekitarnya
    3. Sukabumi: Fokus pada daerah pegunungan Sukabumi
    4. Cianjur: Mengembangkan pendidikan di wilayah Cianjur
    5. Garut: Menjangkau daerah Garut dan Tasikmalaya
    6. Subang: Melayani wilayah pantai utara Jawa Barat
    7. Karawang: Fokus pada daerah pertanian Karawang
    8. Purwakarta: Mengembangkan pendidikan di wilayah Purwakarta
    9. Majalengka: Menjangkau wilayah timur Jawa Barat

    Tantangan

    1. Kalangan Konservatif Tradisional Kelompok ini menganggap pendidikan perempuan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional Jawa dan Sunda. Mereka khawatir bahwa perempuan yang berpendidikan akan mengabaikan tugas-tugas domestik dan menantang otoritas suami.

    2. Pemimpin Agama Konservatif Sebagian ulama konservatif menganggap pendidikan perempuan di sekolah umum dapat mengganggu nilai-nilai keagamaan dan menyebabkan perempuan menjadi “kebarat-baratan”.

    3. Kalangan Priyayi Tradisional Beberapa priyayi khawatir bahwa pendidikan perempuan akan mengubah struktur sosial yang sudah mapan dan mengurangi status mereka sebagai pemimpin masyarakat.

    Metodologi Pengajaran

    Pendekatan Student-Centered Learning

    Jauh sebelum konsep student-centered learning menjadi popular dalam dunia pendidikan modern, Dewi Sartika sudah menerapkan pendekatan yang menempatkan siswa sebagai pusat proses pembelajaran. Ia memahami bahwa setiap siswa memiliki latar belakang, kemampuan, dan kebutuhan yang berbeda.

    Pembelajaran Berbasis Komunitas

    Sekolah Kaoetamaan Isteri tidak beroperasi dalam isolasi, tetapi terintegrasi dengan komunitas lokal. Siswa sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, yang memberikan mereka pengalaman praktis dalam kepemimpinan dan organisasi.

    Pendidikan Karakter Holistik

    Motto “cageur, bageur, bener, singer, pinter” menunjukkan komitmen terhadap pendidikan karakter yang holistik. Dewi Sartika memahami bahwa pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan nilai-nilai.

    Dampak Sosial dan Transformasi Masyarakat

    Perubahan Persepsi tentang Peran Perempuan

    Kehadiran Sekolah Kaoetamaan Isteri dan kesuksesan alumni-alumninya secara bertahap mengubah persepsi masyarakat tentang kapasitas dan peran perempuan. Perempuan mulai dilihat bukan hanya sebagai “konco wingking”, tetapi sebagai partner yang dapat berkontribusi pada kemajuan keluarga dan masyarakat.

    Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

    Alumni sekolah banyak yang menjadi entrepreneur kecil, membuka usaha jahit, kuliner, atau kerajinan tangan. Hal ini memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi keluarga dan komunitas lokal. Beberapa alumni bahkan menjadi guru di sekolah-sekolah lain, memperluas jaringan pendidikan perempuan.

    Peningkatan Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga

    Pendidikan kesehatan dan kebersihan yang diberikan di sekolah berdampak positif pada kesehatan keluarga dan komunitas. Alumni sekolah menjadi agen perubahan dalam praktik-praktik kesehatan di lingkungan mereka.

    Kontribusi terhadap Gerakan Nasional

    Hubungan dengan Tokoh-Tokoh Nasional

    Dewi Sartika memiliki hubungan dengan berbagai tokoh pergerakan nasional, meskipun fokus utamanya adalah pendidikan. Ia memahami bahwa pendidikan perempuan adalah bagian integral dari perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

    Pengaruh terhadap Gerakan Emansipasi

    Karya Dewi Sartika memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh emansipasi perempuan lainnya di berbagai daerah. Model pendidikan yang dikembangkannya menjadi referensi untuk pengembangan pendidikan perempuan di daerah lain.

    Kontribusi terhadap Pembentukan Identitas Nasional

    Melalui pendidikan, Dewi Sartika berkontribusi terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia. Alumni sekolahnya menjadi bagian dari generasi yang kemudian terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

    Pengakuan dan Penghargaan

    Pengakuan Nasional

    She was honoured as a National Hero of Indonesia in 1966. Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966 merupakan apresiasi resmi negara terhadap kontribusinya dalam pendidikan dan emansipasi perempuan.

    Monumentalisasi dan Memorialisasi

    Berbagai pihak mengabadikan nama Dewi Sartika dalam bentuk nama jalan, sekolah, universitas, dan beragam fasilitas publik. Hal ini menunjukkan pengakuan masyarakat terhadap warisan dan kontribusinya.

    Pengakuan Internasional

    Akademisi internasional yang meneliti sejarah pendidikan dan gerakan perempuan di Asia Tenggara mulai memberikan perhatian pada karya Dewi Sartika, meskipun namanya belum seterkenal tokoh-tokoh lain di dunia.

    Kritik dan Evaluasi Historis

    Keterbatasan Jangkauan

    Salah satu kritik terhadap karya Dewi Sartika adalah keterbatasan jangkauan geografis dan sosial. Sekolah-sekolahnya terutama melayani wilayah Jawa Barat dan kalangan menengah ke atas, sementara perempuan dari kalangan bawah dan daerah terpencil masih sulit mengakses pendidikan.

    Akomodasi terhadap Sistem Kolonial

    Beberapa kritikus berpendapat bahwa Dewi Sartika terlalu akomodatif terhadap sistem kolonial Belanda. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa strategi pragmatisnya memungkinkan pencapaian tujuan pendidikan dalam konteks yang sangat terbatas.

    Fokus pada Perempuan Elite

    Meskipun berupaya melayani berbagai kalangan, dalam praktiknya sekolah-sekolah Dewi Sartika masih lebih mudah diakses oleh perempuan dari kalangan menengah ke atas yang memiliki waktu dan sumber daya untuk bersekolah.

    Metodologi Penelitian dan Sumber Sejarah

    Tantangan Dokumentasi

    Penelitian tentang Dewi Sartika menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan dokumen historis. Banyak catatan dan dokumen yang hilang atau rusak akibat perang dan bencana alam. Hal ini membuat rekonstruksi sejarah yang komprehensif menjadi challenging.

  • Dari Lembah Sumatra ke Panggung Dunia: Lagu Daerah Jadi Nama Kopi Internasional

    Dari Lembah Sumatra ke Panggung Dunia: Lagu Daerah Jadi Nama Kopi Internasional

    Di pagi yang sejuk di kawasan Pegunungan Bukit Barisan, tercium harumnya kopi arabika dari dapur-dapur sederhana milik penduduk Desa Lintong Nihuta. Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Sementara, warga sibuk dengan aktivitas sehari-hari yang bergantung pada perkebunan kopi. Terdengar nyanyian lagu tradisional Batak “Lisoi” dari seorang petani yang sedang mengeringkan biji kopi. Lagu tersebut bukan sekedar penghibur, tetapi merupakan representasi jati diri, kenangan bersama, dan kini menjadi sumber inspirasi yang mengangkat nama kopi ke lagu daerah menjadi nama kopi internasional world of coffee 2025.

    Kopi sebagai Warisan Budaya

    Indonesia terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbesar dunia, dengan Sumatra menjadi salah satu daerah produksi utamanya. Kopi Lintong yang ditanam pada ketinggian 1.000-1.400 meter, memiliki karakteristik rasa tanah yang khas dengan nuansa herbal dan tingkat keasaman yang halus. Selain cita rasanya yang istimewa, terdapat aspek budaya yang sering terabaikan. Yaitu kebiasaan bernyanyi dan mendongeng di kebun yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh para petani Batak.

    Hal inilah yang menginspirasi kelompok kreatif dan pengekspor kopi dalam negeri. Rasa Nusantara, untuk menciptakan proyek istimewa menjelang acara World of Coffee 2025 di Copenhagen, Denmark. Mereka memperkenalkan produk kopi khusus dengan nama “Lisoi”, merujuk pada lagu tradisional Batak yang sarat dengan semangat dan persatuan. Menurut Elina Pardede, pemilik Rasa Nusantara, penamaan ini bukan hanya taktik promosi, namun bentuk penghargaan terhadap warisan budaya daerah asal kopi.

    “Keinginan kami adalah memperkenalkan kepada dunia bahwa kopi Indonesia tidak hanya tentang cita rasa, tetapi juga kisah di baliknya,” katanya dalam wawancara telepon. “Nama ‘Lisoi’ mencerminkan jiwa perayaan dan persaudaraan, yang sangat mencerminkan prinsip yang kami tanamkan dalam setiap butir kopi yang kami kirim ke luar negeri.”

    Dari Tradisi ke Global Stage

    Inisiatif “Lisoi” bukan hanya tentang mengganti nama produk, melainkan kerja sama menyeluruh dengan para petani, seniman daerah, dan ahli budaya. Salah satu kontributor utamanya adalah Pak Martua Sihotang (53), petani kopi generasi kedua yang kini berperan sebagai penasihat budaya untuk tim pemasaran kopi tersebut. Dia berbagi pengalaman tentang bagaimana nyanyian tradisional selalu menjadi bagian dari kegiatan bertani, dari masa tanam sampai musim panen.

    “Sewaktu masih kecil, para tetua mendendangkan lagu Batak saat memetik kopi. Hal itu membuat kerja terasa lebih mudah,” ujarnya. “Saya tidak pernah membayangkan lagu yang sering saya dengar akan menjadi nama kopi yang menemani masyarakat Eropa.”

    Menurut Martua, menjaga kelestarian budaya setempat tidak bisa bergantung hanya pada institusi pendidikan atau literatur. Dia yakin, ketika budaya terintegrasi dalam produk keseharian seperti kopi, maka nilainya akan lebih masuk ke generasi muda dan komunitas internasional.

    Gerakan ini mendapat apresiasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Deputi Pemasaran Kemenparekraf, Ni Made Ayu Marthini, merespons positif integrasi unsur budaya dalam produk ekspor kreatif. Dalam perbincangan dengan media nasional pada April 2025, dia menyatakan bahwa “produk seperti ‘Lisoi’ merupakan wujud diplomasi budaya yang natural dan berkesan.”

    Human Interest di Balik Seteguk Kopi

    Narasi “Lisoi” juga menunjukkan bagaimana inovasi dapat bersumber dari rutinitas masyarakat tradisional. Salah satu hasil nyata dari proyek ini adalah kenaikan income para petani kopi. Lewat sistem perdagangan yang berkeadilan, Rasa Nusantara membeli kopi langsung dari kelompok petani dengan harga 30% lebih tinggi dari rata-rata pasar setempat.

    Sejak proyek dimulai awal 2024, kelompok tani yang dibina di Lintong Nihuta mengalami perbaikan ekonomi. Salah satunya dirasakan oleh Ibu Tiarma Sitanggang (41), ibu dengan dua anak yang kini ditugaskan memimpin koperasi petani kopi perempuan. Sebelum terlibat dalam proyek ini, penghasilannya sangat tidak stabil, bahkan sering kali tidak mencukupi untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

    “Dulu kami hanya menjual kopi ke perantara tanpa mengetahui tujuan akhir biji tersebut,” ungkap Tiarma. “Sekarang kami menyadari bahwa kopi kami memiliki narasi, dan narasi tersebut memberikan manfaat bagi kampung kami.”

    Tiarma juga berpartisipasi aktif dalam workshop kreatif yang diselenggarakan tim kreatif “Lisoi”. Dia sekarang ikut mengajarkan anak-anak kampung lagu-lagu tradisional, supaya warisan budaya tidak hanya bertahan, tetapi juga tetap hidup di generasi mendatang.

    Lebih dari Sekadar Minuman

    Lagu daerah menjadi nama kopi internasional world of coffee 2025. menjadi debut “Lisoi” sebagai produk sekaligus representasi budaya. Stan Indonesia didesain dengan sentuhan tradisional Sumatra Utara, memamerkan kain tenun ulos. Gambar ilustrasi lagu rakyat, dan bahkan atraksi tari Tor-Tor mini untuk menyambut tamu internasional.

    Berdasarkan informasi dari Specialty Coffee Association (SCA), produk kopi yang mengusung nilai budaya setempat. Dengan memperlihatkan prospek pasar yang menjanjikan, khususnya di kawasan Skandinavia dan Eropa Barat yang menghargai aspek keberlanjutan dan latar belakang produk.

    Lebih dari sekedar barang ekspor, kopi “Lisoi” adalah penanda bahwa budaya dapat tetap hidup dan berkembang melalui inovasi. Dalam satu cangkir kopi, dunia tidak hanya merasakan cita rasa pahit dan manis dari Sumatra. Tetapi juga mendengar kidung dari lembah yang jauh, dalam bahasa yang sarat makna dan sejarah.

    Baca juga: Pelepasan Kontingen Pomprov III 2025: UMM

  • Pelepasan Kontingen Pomprov III 2025: UMM

    Pelepasan Kontingen Pomprov III 2025: UMM

    UMM dan Mahasiswa Berprestasi

    Malang, 29 Mei 2025 – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kembali menunjukkan komitmennya dalam dunia olahraga mahasiswa. Pada Mei 2025, UMM secara resmi melepas kontingen yang akan bertanding di Pekan Olahraga Mahasiswa Provinsi (Pomprov) III Jawa Timur tepatnya di Surabaya, 28 Mei 2025 – 04 Juni 2025. Acara pelepasan ini tidak hanya menjadi simbol keberangkatan, tetapi juga ajang penguatan semangat dan persiapan mental bagi para atlet.

    Mahasiswa Atlet Punya Peran Ganda

    Para mahasiswa atlet UMM bukan hanya sibuk dengan jadwal latihan dan pertandingan. Mereka tetap mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kampus. Di sinilah letak tantangan sekaligus keunikan mereka. Mereka tidak hanya dituntut untuk unggul secara fisik, tetapi juga cerdas secara akademik dan sosial.

    UMM memberikan fleksibilitas akademik kepada para atlet berprestasi, namun tidak pernah mengabaikan kualitas belajar mereka. Dosen-dosen memberikan dukungan moral dan akademik, bahkan sering kali mengajak diskusi atau membantu mengatur jadwal jika ada bentrok antara pertandingan dan ujian.

    Sistem pembinaan dan dukungan lingkungan kampus turut mendorong keberhasilan mahasiswa atlet. UMM menyediakan pelatih profesional, fasilitas olahraga lengkap, serta lingkungan yang mendukung kesehatan fisik dan mental para atlet.

    Keberadaan para mahasiswa atlet ini juga memberi inspirasi bagi rekan-rekan mereka. Banyak mahasiswa non-atlet yang mengaku termotivasi untuk lebih aktif dan disiplin setelah melihat perjuangan teman-teman mereka yang mampu sukses di dua dunia: akademik dan olahraga. UMM tidak setengah-setengah dalam mendukung atletnya. Selain menyediakan fasilitas latihan, pihak kampus juga memberikan pembinaan mental dan spiritual menjelang keberangkatan. Tim dosen dan psikolog dari Lembaga Pengembangan Mahasiswa turut memberikan pelatihan motivasi dan penguatan mental kompetitif.

    Cabang Lomba 

    Tahun ini, perwakilan dari UMM akan berjuang dengan 13 cabang lomba seperti, futsal, voli pasir, voli indoor, atletik, e-sport, panjat tebing, basket, badminton, karate, taekwondo, tarung derajat, pencak silat, dan jujitsu. Selain itu, mahasiswa UMM juga akan turun menjadi kontingen dari beberapa daerah untuk pekan olahraga Provinsi Jawa Timur. 

    “Salah satu yang penting dalam agama kita itu adalah menjunjung tinggi sportifitas,” ujar Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si selaku Rektor UMM. UMM menjunjung tinggi sportivitas dan selalu siap menyambut kemenangan yang diraih oleh mahasiswa UMM Gen 24.

    Di akhir acara pelepasan, seluruh civitas akademika UMM berdiri untuk bersama-sama membacakan doa. Harapan mereka satu, agar kontingen UMM dapat pulang dengan membawa hasil terbaik, baik dari sisi prestasi maupun pengalaman.

    Baca juga: Jonatan Christie: Tantangan di Singapore Open 2025

  • Kuliah dan Panggilan Diri

    Kuliah dan Panggilan Diri

    Jadwal Kuliah atau Panggilan Diri?

    Malang, 29 Mei 2025 – Setiap mahasiswa pasti akrab dengan aktivitas sehari-hari seperti, bangun pagi, bersiap untuk kuliah, duduk di kelas, mencatat pelajaran, dan menyelesaikan tugas. Jadwal perkuliahan yang sibuk sering kali menjadi penentu utama dalam rutinitas sehari-hari. Namun di balik semua itu, banyak di antara kita yang mulai mempertanyakan apa sebenarnya makna dari belajar? Apakah hanya untuk memenuhi kehadiran dan meraih nilai? Atau hanya perantara terhadap panggilan diri?

    Belajar di Ruang Kelas Penting, Tapi Belum Cukup

    Kita tidak bisa memungkiri bahwa pendidikan formal sangat penting. Di dalam kelas, kita belajar teori, konsep, dan dasar-dasar keilmuan yang membentuk cara berpikir kita. Kuliah mengajarkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan kerja keras. Jadwal yang terstruktur membantu kita membentuk rutinitas dan manajemen waktu untuk kita.

    Panggilan diri muncul dari dalam dan tidak bisa kita jadwalkan. Kita bisa merasakannya sebagai dorongan untuk menulis, mengajar, membangun komunitas, berkesenian, atau menciptakan sesuatu yang tidak pernah diajarkan di ruang kuliah. Panggilan diri bukan sekedar hobi, melainkan bentuk kejujuran terdalam terhadap apa yang membuat kita merasa hidup.

    Seringkali panggilan ini muncul di tengah kesibukan akademik. Misalnya, saat mengerjakan tugas ekonomi, kita justru memikirkan ide membuat platform sosial. Atau saat duduk di kelas hukum, hati kita justru terpanggil untuk menulis cerita.

    Menjembatani Kewajiban dan Keinginan

    Apakah artinya kita harus meninggalkan kuliah demi mengejar panggilan hati? Justru tantangannya adalah menjembatani keduanya. Mencoba menemukan titik temu antara jadwal kuliah yang padat dan keinginan pribadi yang mendalam.

    Belajar yang sebenarnya bukan hanya soal menyerap ilmu, tapi juga mengenal diri sendiri. Apa yang membuat kita penasaran, apa yang ingin kita sumbangkan ke dunia, dan bagaimana kita bisa membuat ilmu yang kita pelajari di kelas menjadi relevan dengan apa yang kita rasakan sebagai misi hidup kita.

    Kita sering melupakan bahwa tujuan belajar bukan semata untuk mendapat nilai A atau lulus dengan cepat. Belajar merupakan proses terus-menerus menjadi versi terbaik dari diri kita. Bukan siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling sadar akan prosesnya.

    Belajar adalah Tindakan Kesadaran

    Kita mulai benar-benar belajar ketika kita menyadari bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan tentang diri kita sendiri. Kita bisa belajar di mana saja seperti di kelas, di luar kelas, melalui organisasi, lewat pengalaman, dan dalam kejujuran kita pada diri sendiri.

    Hidup adalah proses pencarian dan panggilan diri tidak akan pergi hanya karena kita belum sempat menjawabnya, namun yang terpenting adalah tetap mendengarkan. Tetap belajar, dari kelas dan dari kehidupan. Dan perlahan akan menemukan arti belajar yang sebenarnya, bukan hanya mengisi kepala tapi juga mengisi hati.

    Baca juga: Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi

  • Saat Marah: Menulis untuk Mengingat, Bukan Membenci

    Saat Marah: Menulis untuk Mengingat, Bukan Membenci

    dari Marah ke Menulis

    Malang, 29 Mei 2025 – Setiap orang pasti pernah marah. Marah kepada orang, kepada keadaan, perkataan, bahkan pada diri sendiri. Marah adalah pengalaman emosional yang wajar dan manusiawi untuk terjadi. Tapi, bagaimana jika kemarahan itu kita abadikan dalam tulisan sebagai catatan? Apakah tulisan itu akan menjadi bukti kebencian, atau pengingat yang menyelamatkan?

    Menulis Untuk Mengurangi Rasa Marah

    Marah bukan hal yang selalunya tentang buruk. Marah menandakan ada sesuatu yang tidak berjalan baik mungkin karena merasa tidak dihargai, dilukai, dikhianati, atau sekadar lelah yang menumpuk. Tulisan yang lahir dari amarah yang belum kita pahami sering kali hanya menjadi pelampiasan, bukan sarana perenungan.

    Tapi, bukan berarti kita tidak boleh menulis saat marah. Sebaliknya, kita bisa menjadikan menulis sebagai jalan keluar paling aman untuk mengurai rasa yang membara dan menghadapi kemarahan. Dengan menulis, kita menciptakan ruang pribadi untuk jujur dan menyuarakan hal-hal yang tak mampu kita ucapkan secara langsung.

    Tulisan yang Mengingatkan, Bukan Menyudutkan

    Menulis untuk mengingat berarti menjadikan tulisan sebagai cermin. Kita menulis bukan untuk menyalahkan, tapi untuk merefleksikan. Saat kita menulis dengan jernih meskipun sedang marah, kita bisa menciptakan pengingat yang kuat tentang batas-batas yang pernah orang lain langgar, keputusan yang kita ambil saat emosi memuncak, dan orang-orang yang sempat kita salah pahami.

    Misalnya, menulis tentang pertengkaran dengan sahabat lama bukan untuk membuka luka lama, melainkan untuk mengingat bagaimana hubungan itu pernah berarti. Kita bisa menuliskan bagaimana situasi berkembang, apa yang kita rasakan, dan apa yang akhirnya memisahkan. Dengan begitu, kita tidak sedang menanam kebencian, tapi belajar dari pengalaman.

    Menulis adalah Proses Memahami

    Banyak orang mengira bahwa menulis adalah hasil akhir, padahal sejatinya menulis adalah proses. Saat kita menulis tentang kemarahan, kita sedang membuka ruang bicara dengan diri sendiri. Kita belajar menyusun ulang emosi, mengurai sebab-akibat, dan menempatkan diri kita sebagai pengamat, bukan hanya pelaku.

    Menulis saat marah memang bisa menghasilkan tulisan yang tajam, penuh emosi, dan jujur. Tapi setelahnya, saat emosi mereda, kita bisa membaca kembali tulisan itu dan melihatnya dengan perspektif baru. Terkadang kita sadar bahwa kita pun salah atau kita jadi lebih mengerti mengapa orang lain bersikap seperti itu.

    Proses ini yang membuat tulisan berubah fungsi, dari pelampiasan menjadi pemahaman, dari kemarahan menjadi pengingat, dari emosi menjadi pelajaran. Banyak orang menulis saat marah lalu langsung mempublikasikannya di media sosial.

    Saat marah, kita sebaiknya menulis untuk diri sendiri terlebih dahulu. Kita bisa menyimpan tulisan itu di buku catatan pribadi, catatan digital, atau aplikasi yang tidak bisa langsung diakses publik. Setelah itu, kita bisa memberi waktu pada diri sendiri untuk membaca ulang tulisan itu dengan sudut pandang yang lebih bijak.

    Karena Kita Pernah Marah, Maka Kita Pernah Merasa

    Marah adalah bukti bahwa kita pernah peduli. Kita tidak akan marah jika kita tidak merasa punya keterikatan. Dan karena itu, menulis saat marah bukanlah bukti kebencian, melainkan bukti bahwa kita masih terhubung dengan perasaan kita sendiri.

    Kita bisa mewariskan kejujuran melalui tulisan yang lahir dari emosi, asalkan kita menulisnya dengan tanggung jawab. Marah bisa menjadi catatan tentang siapa kita dulu, bagaimana kita bereaksi, dan bagaimana kita tumbuh.

    Mengingat bahwa kita pernah terluka, pernah salah, pernah kecewa. Tapi kita juga pernah belajar, pernah mencoba memahami, dan pernah memilih untuk tidak membenci. Karena itu, mari terus menulis.

    Baca juga : Sherly Tjoanda: Dari Ibu Tiga Anak ke Gubernur Maluku Utara

  • NO NA: Langkah Modern Menjaga Warisan Bali di Panggung Pop

    NO NA: Langkah Modern Menjaga Warisan Bali di Panggung Pop

    Unsur Emosional dan Personal: Dari Kekaguman Jadi Komitmen Budaya

    Di industri musik yang berkembang pesat, grup dance pop NO NA tampil menonjol dengan nuansa budaya lokal. Dengan lagu terbarunya yang berjudul “Falling in Love”, grup ini menggabungkan elemen tarian Bali ke dalam gerakan koreografi mereka. Sebuah tindakan yang tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga emosional dan penuh arti bagi anggotanya. 

    Salah satu anggota NO NA, seperti yang diungkapkan dalam sesi wawancara yang dibagikan di akun Instagram mereka, menyatakan bahwa inspirasi ini berasal dari pengalaman pribadinya saat remaja berkunjung ke Bali. “Saat melihat penari Bali tampilkan Legong Kraton, saya merasa merinding.” Gerakannya elegan namun sarat dengan kekuatan. Sejak saat itu, saya menyadari bahwa suatu saat nanti saya ingin mengintegrasikan suasana itu ke dalam karya saya,” kata penari utamanya. 

    Proses penciptaan koreografi melakukan dengan penuh pertimbangan. NO NA bekerja sama dengan pelatih tari tradisional untuk mendalami arti filosofis di balik gerakan tangan dan tatapan mata yang khas dari Bali. Mereka mempelajari bahwa setiap gerakan memiliki makna dan kisah yang tidak dapat sembarangan meniru. Ini merupakan sebuah penghormatan, bukan hanya sekadar keindahan. 

    Bagi NO NA, menggabungkan budaya tradisional dengan gaya modern merupakan wujud komitmen untuk tetap mengingat asal usul mereka. Di tengah industri hiburan yang cepat dan mendunia, di mana tren Korea Selatan dan Barat sangat menguasai, mereka berupaya menjadi suara yang mengingatkan bahwa kultur Indonesia memiliki daya tarik unik yang pantas untuk disorot. 

    Dampak Sosial: Menari di Antara Tren, Menyuarakan Identitas

    Langkah NO NA memasukkan tarian Bali ke dalam dunia pop tidak hanya berhenti pada aspek seni. Terdapat efek sosial yang mulai muncul, khususnya di antara generasi muda. Setelah video mereka menjadi viral di media sosial dan menarik perhatian dari platform seperti USS Feeds, banyak netizen merasa terdorong untuk kembali mengeksplorasi budaya lokal. 

    Salah satu akibatnya adalah bertambahnya pencarian mengenai tarian Bali di platform seperti YouTube dan TikTok. Beberapa guru tari tradisional di Bali bahkan mengaku mendapatkan lebih banyak pertanyaan dan pendaftaran dari anak muda yang ingin mendalami lebih jauh. 

    “Sering kali kami mengalami kesulitan untuk mengundang remaja datang dan belajar tari, namun kini ada beberapa yang menyatakan ketertarikan mereka setelah melihat NO NA,” jelas Ni Luh Sari, seorang instruktur tari di Denpasar, seperti dikutip dari Kompasiana. Dia mengungkapkan bahwa NO NA sukses menghubungkan tradisi dan generasi terbaru melalui metode yang inklusif. 

    Di samping itu, hadirnya NO NA juga meningkatkan kesadaran akan signifikansi representasi budaya dalam dunia hiburan. Mereka tidak hanya terlihat stylish, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa budaya kita dapat membawa secara internasional tanpa kehilangan inti dari nilai-nilainya. Ini berfungsi sebagai “tamparan lembut” bagi pembuat konten lainnya agar lebih berani menjelajahi kekayaan lokal. 

    Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beberapa kali telah mendorong seniman muda untuk mengeksplorasi budaya lokal dalam karya-karya modern. Dalam rilis pers 2023, mereka menyatakan bahwa kombinasi ini dapat berfungsi sebagai strategi pelestarian sekaligus diplomasi budaya. Oleh karena itu, tindakan NO NA sejatinya sejalan dengan visi tersebut, serta bisa menjadi contoh nyata bahwa budaya tidak perlu berpikir kuno dan terasing dari anak muda. 

    Melampaui Tarian: Inspirasi dan Perubahan

    NO NA bukan lah grup pertama yang memadukan budaya dalam musik pop, tetapi cara mereka menyajikannya melalui latihan, penelitian, dan semangat untuk menghormati membuat langkah ini terasa tulus dan kuat. Untuk para penggemar, mereka tidak hanya sekadar idola, melainkan simbol bahwa berkarya dapat sekaligus meneguhkan jati diri bangsa. 

    Dalam sebuah postingan, akun @nonanav (yang terhubung dengan grup tersebut) menyampaikan harapan agar karya ini dapat menjadi jembatan untuk memahami lebih dalam kebudayaan Indonesia. “Jika setelah ini penonton merasa tertarik dengan tarian Bali, itu sudah sangat memuaskan bagi kami,” tulis mereka. 

    Sekarang, NO NA telah menciptakan kemungkinan yang besar. Bayangkan jika semakin banyak kelompok atau pencipta mulai melakukan hal yang sama. Tradisi tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan tumbuh dan dikenal secara luas dalam bentuk yang baru dan inklusif. 

    Baca juga: Nicole Kidman Desak Industri Film Tulis Peran Lebih Baik untuk Perempuan di Cannes 2025