Penulis: Yuliana Sugiartini

  • Harapan yang Dirajut di Serat Noken: Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua

    Harapan yang Dirajut di Serat Noken: Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua

    Perayaan Iman yang Menyatu dengan Budaya Papua

    Di antara kehijauan pegunungan Papua dan dentuman tifa yang bergema dari rumah-rumah tradisional, komunitas umat Katolik berkumpul merayakan Hari Iman dengan cara yang khas. Yang membuat perayaan ini berbeda dari upacara keagamaan di tempat lain adalah integrasi yang erat dengan warisan budaya setempat. Tas tradisional noken terlihat di pundak para perempuan, anak-anak melantunkan pujian dengan melodi tradisional, dan pemimpin rohani mengenakan pakaian liturgi yang dihiasi corak khas Papua.

    Perayaan keagamaan ini melampaui sekadar ritual ibadah. Ia menjadi titik temu antara dua elemen yang kerap dianggap terpisah: spiritualitas dan tradisi lokal. Di tanah Papua, keduanya tidak hanya berdampingan, tetapi melebur menjadi satu.

    Noken: Lebih dari Sekadar Aksesori

    Noken bukanlah semata-mata tas anyaman yang dikenakan di kepala atau bahu. Bagi masyarakat Papua, noken menyimpan filosofi yang dalam sebagai lambang kehidupan, harapan, dan ikatan komunal. Wajar jika noken menjadi bagian integral dari upacara keagamaan. Pastor Marthen Arebo dari Wamena menjelaskan kepada BBC Indonesia bahwa “Noken mengajarkan tentang berbagi tanggung jawab bersama.”

    Sejak UNESCO mengakuinya sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2012, noken telah menjadi penghubung antara nilai-nilai leluhur dan kehidupan modern. Setiap tanggal 4 Desember memperingati sebagai Hari Noken untuk menghormati warisan budaya ini. Dalam praktik keagamaan Katolik daerah Papua, menggunakan noken untuk membawa persembahan atau melengkapi busana misa, menunjukkan bahwa spiritualitas berkembang dalam konteks budaya.

    Liturgi yang Berakar pada Tradisi

    Pada gereja-gereja terpencil seperti yang terdapat Keuskupan Agung Merauke, menyelenggarakan misa dengan nyanyian liturgi menggunakan bahasa setempat dan irama musik tradisional. Paduan suara tampil dengan pakaian adat, sementara prosesi membawa salib mengiringi tarian. Pendekatan ini bukan tanpa landasan. Gereja Katolik di Papua telah lama menerapkan inkulturasi, yaitu memadukan kekayaan budaya lokal dengan nilai-nilai Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua.

    Uskup Agats, Mgr Aloysius Murwito, OFM, menyatakan kepada media Katolikana bahwa iman yang berakar pada budaya akan lebih kokoh. “Evangelisasi bukan tentang mengganti budaya, melainkan mencerahinya dengan cahaya Injil,” katanya.

    Optimisme di Tengah Kesulitan

    Meski perayaan berlangsung meriah, umat Katolik Papua menghadapi berbagai tantangan berat. Keterisolasian geografis, terbatasnya akses pendidikan, serta konflik sosial-politik menjadi bagian dari kenyataan sehari-hari. Dalam kesederhanaan dan keteguhan iman, mereka menemukan daya tahan.

    Suster Elvira dari Kongregasi Putri Reinha Rosari yang melayani di pedalaman Yahukimo menceritakan bahwa anak-anak Papua belajar berdoa sambil menganyam noken. “Kami mengajarkan mereka tentang doa, kasih sayang, sekaligus kebanggaan akan budaya mereka. Anak-anak memahami bahwa Tuhan ada dalam kehidupan mereka,” tuturnya.

    Dalam perayaan Hari Iman tahun ini, anak-anak mempersembahkan noken buatan mereka sendiri sebagai wujud kasih kepada sesama dan alam. Gesture sederhana penuh dengan makna.

    Noken dan Keberlanjutan Iman

    Melalui karya pastoral dan budaya, Gereja Katolik di Papua tidak hanya memelihara iman, tetapi juga memastikan kelestarian budaya. Banyak pastor dan pemimpin adat berkolaborasi dalam mendokumentasikan dan mengajarkan tentang noken serta bahasa daerah kepada generasi muda.

    Keuskupan Jayapura mengembangkan program Sekolah Alam Noken, tempat anak-anak mempelajari keterampilan membuat noken sambil mendalami Kitab Suci dalam konteks lokal. Program ini melibatkan para ibu Papua, tokoh adat, dan komunitas religius, dengan keyakinan bahwa iman akan semakin kuat jika dibungkus dalam identitas yang utuh.

    Iman yang Merangkul, Bukan Menggantikan

    Catatan sejarah menunjukkan bahwa kehadiran Gereja Katolik di Papua sejak awal abad ke-20 telah mengalami berbagai dinamika. Pernah ada masa ketika budaya lokal “kurang sakral.” Namun kini, Gereja belajar dari pengalaman dan memilih merangkul budaya, bukan menggantinya.

    Dalam misa besar Hari Iman di Sentani tahun ini, seorang imam muda, Pastor Mikael Pigai, menyampaikan homili dalam bahasa daerah Mee. Jemaat merespons dengan tawa, tangis, dan amin yang penuh semangat. “Tuhan berbicara dalam bahasa kita. Ia hadir dalam tifa, dalam noken, dan dalam hati kita,” kata Pastor Mikael, yang merupakan putra asli Papua.

    Perayaan iman umat Katolik di Papua tidak hanya mencerminkan kesetiaan pada ajaran gereja, tetapi juga kebanggaan terhadap identitas budaya. Noken menjadi lebih dari sekadar objek: ia adalah lambang bagaimana iman dan adat dapat berjalan beriringan secara harmonis.

    Di tengah berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan politik, umat Katolik Papua terus merajut harapan dalam setiap serat noken. Dengan tenang, mereka menunjukkan kepada dunia bahwa iman yang hidup bukanlah yang terputus dari akarnya, melainkan yang tumbuh dari tanah.

    Baca juga: FamilyMart Indonesia Luncurkan Program “Satu Kopi, Satu Aksi”

  • Dari Lembah Sumatra ke Panggung Dunia: Lagu Daerah Jadi Nama Kopi Internasional

    Dari Lembah Sumatra ke Panggung Dunia: Lagu Daerah Jadi Nama Kopi Internasional

    Di pagi yang sejuk di kawasan Pegunungan Bukit Barisan, tercium harumnya kopi arabika dari dapur-dapur sederhana milik penduduk Desa Lintong Nihuta. Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Sementara, warga sibuk dengan aktivitas sehari-hari yang bergantung pada perkebunan kopi. Terdengar nyanyian lagu tradisional Batak “Lisoi” dari seorang petani yang sedang mengeringkan biji kopi. Lagu tersebut bukan sekedar penghibur, tetapi merupakan representasi jati diri, kenangan bersama, dan kini menjadi sumber inspirasi yang mengangkat nama kopi ke lagu daerah menjadi nama kopi internasional world of coffee 2025.

    Kopi sebagai Warisan Budaya

    Indonesia terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbesar dunia, dengan Sumatra menjadi salah satu daerah produksi utamanya. Kopi Lintong yang ditanam pada ketinggian 1.000-1.400 meter, memiliki karakteristik rasa tanah yang khas dengan nuansa herbal dan tingkat keasaman yang halus. Selain cita rasanya yang istimewa, terdapat aspek budaya yang sering terabaikan. Yaitu kebiasaan bernyanyi dan mendongeng di kebun yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh para petani Batak.

    Hal inilah yang menginspirasi kelompok kreatif dan pengekspor kopi dalam negeri. Rasa Nusantara, untuk menciptakan proyek istimewa menjelang acara World of Coffee 2025 di Copenhagen, Denmark. Mereka memperkenalkan produk kopi khusus dengan nama “Lisoi”, merujuk pada lagu tradisional Batak yang sarat dengan semangat dan persatuan. Menurut Elina Pardede, pemilik Rasa Nusantara, penamaan ini bukan hanya taktik promosi, namun bentuk penghargaan terhadap warisan budaya daerah asal kopi.

    “Keinginan kami adalah memperkenalkan kepada dunia bahwa kopi Indonesia tidak hanya tentang cita rasa, tetapi juga kisah di baliknya,” katanya dalam wawancara telepon. “Nama ‘Lisoi’ mencerminkan jiwa perayaan dan persaudaraan, yang sangat mencerminkan prinsip yang kami tanamkan dalam setiap butir kopi yang kami kirim ke luar negeri.”

    Dari Tradisi ke Global Stage

    Inisiatif “Lisoi” bukan hanya tentang mengganti nama produk, melainkan kerja sama menyeluruh dengan para petani, seniman daerah, dan ahli budaya. Salah satu kontributor utamanya adalah Pak Martua Sihotang (53), petani kopi generasi kedua yang kini berperan sebagai penasihat budaya untuk tim pemasaran kopi tersebut. Dia berbagi pengalaman tentang bagaimana nyanyian tradisional selalu menjadi bagian dari kegiatan bertani, dari masa tanam sampai musim panen.

    “Sewaktu masih kecil, para tetua mendendangkan lagu Batak saat memetik kopi. Hal itu membuat kerja terasa lebih mudah,” ujarnya. “Saya tidak pernah membayangkan lagu yang sering saya dengar akan menjadi nama kopi yang menemani masyarakat Eropa.”

    Menurut Martua, menjaga kelestarian budaya setempat tidak bisa bergantung hanya pada institusi pendidikan atau literatur. Dia yakin, ketika budaya terintegrasi dalam produk keseharian seperti kopi, maka nilainya akan lebih masuk ke generasi muda dan komunitas internasional.

    Gerakan ini mendapat apresiasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Deputi Pemasaran Kemenparekraf, Ni Made Ayu Marthini, merespons positif integrasi unsur budaya dalam produk ekspor kreatif. Dalam perbincangan dengan media nasional pada April 2025, dia menyatakan bahwa “produk seperti ‘Lisoi’ merupakan wujud diplomasi budaya yang natural dan berkesan.”

    Human Interest di Balik Seteguk Kopi

    Narasi “Lisoi” juga menunjukkan bagaimana inovasi dapat bersumber dari rutinitas masyarakat tradisional. Salah satu hasil nyata dari proyek ini adalah kenaikan income para petani kopi. Lewat sistem perdagangan yang berkeadilan, Rasa Nusantara membeli kopi langsung dari kelompok petani dengan harga 30% lebih tinggi dari rata-rata pasar setempat.

    Sejak proyek dimulai awal 2024, kelompok tani yang dibina di Lintong Nihuta mengalami perbaikan ekonomi. Salah satunya dirasakan oleh Ibu Tiarma Sitanggang (41), ibu dengan dua anak yang kini ditugaskan memimpin koperasi petani kopi perempuan. Sebelum terlibat dalam proyek ini, penghasilannya sangat tidak stabil, bahkan sering kali tidak mencukupi untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

    “Dulu kami hanya menjual kopi ke perantara tanpa mengetahui tujuan akhir biji tersebut,” ungkap Tiarma. “Sekarang kami menyadari bahwa kopi kami memiliki narasi, dan narasi tersebut memberikan manfaat bagi kampung kami.”

    Tiarma juga berpartisipasi aktif dalam workshop kreatif yang diselenggarakan tim kreatif “Lisoi”. Dia sekarang ikut mengajarkan anak-anak kampung lagu-lagu tradisional, supaya warisan budaya tidak hanya bertahan, tetapi juga tetap hidup di generasi mendatang.

    Lebih dari Sekadar Minuman

    Lagu daerah menjadi nama kopi internasional world of coffee 2025. menjadi debut “Lisoi” sebagai produk sekaligus representasi budaya. Stan Indonesia didesain dengan sentuhan tradisional Sumatra Utara, memamerkan kain tenun ulos. Gambar ilustrasi lagu rakyat, dan bahkan atraksi tari Tor-Tor mini untuk menyambut tamu internasional.

    Berdasarkan informasi dari Specialty Coffee Association (SCA), produk kopi yang mengusung nilai budaya setempat. Dengan memperlihatkan prospek pasar yang menjanjikan, khususnya di kawasan Skandinavia dan Eropa Barat yang menghargai aspek keberlanjutan dan latar belakang produk.

    Lebih dari sekedar barang ekspor, kopi “Lisoi” adalah penanda bahwa budaya dapat tetap hidup dan berkembang melalui inovasi. Dalam satu cangkir kopi, dunia tidak hanya merasakan cita rasa pahit dan manis dari Sumatra. Tetapi juga mendengar kidung dari lembah yang jauh, dalam bahasa yang sarat makna dan sejarah.

    Baca juga: Pelepasan Kontingen Pomprov III 2025: UMM

  • Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi

    Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi

    Pagi itu, Bekasi masih menyimpan embun saat ribuan orang telah memenuhi halaman Islamic Center untuk Job Fair Bekasi 2025. Mereka tiba dari beragam sudut kota, membawa map plastik yang berisi fotokopi ijazah, sertifikat pelatihan, dan CV yang tercetak rapi. Mereka kebanyakan memakai kemeja putih atau pakaian resmi, berusaha menunjukkan versi terbaik dari diri mereka.

    Job Fair dengan tema “Bekasi Pasti Kerja” yang diadakan pada 21 Mei 2025 tersebut dihadiri oleh ribuan pencari kerja. Namun, harapan yang tinggi itu bertransformasi menjadi kekacauan ketika kerumunan membanjir, mengakibatkan beberapa peserta terdesak dan bahkan pingsan. Rekaman yang diposting oleh akun Instagram @ussfeeds dan dibagikan kembali oleh masyarakat memperlihatkan betapa padatnya tempat itu, seolah-olah lautan orang yang hampir tidak bisa bergerak. 

    Di balik kebisingan itu, ada wajah-wajah yang menyimpan kisah. Mirip dengan Anita (22), seorang lulusan terbaru dari universitas swasta di Jakarta Timur. Ia telah tiba sejak jam 05.30 pagi. “Saya hanya ingin bekerja, membantu orang tua melunasi utang.” “Kami telah mengalami kesulitan sejak pandemi,” ungkapnya pelan kepada media lokal Bekasi Today. 

    Kisah lain berasal dari Heri (28), mantan karyawan pabrik yang di PHK tahun lalu. Dia membawa makanan nasi kemasan dan air mineral dari rumah. “Saya sadar bahwa saingannya tak terhitung, namun masa depan anak saya yang membuat saya tegar menghadapi situasi sulit ini,” ujarnya. 

    Fenomena ini menunjukkan lebih dari sekadar masalah ekonomi. Ia menggambarkan kondisi Indonesia saat ini di mana ribuan pemuda sedang mencari ruang untuk berkembang dan hidup dengan baik. Ribuan pelamar tidak hanya mengantarkan surat lamaran, tetapi juga harapan, tanggung jawab keluarga, dan ambisi yang terpendam. 

    Potret Harapan dan Lelah di Tengah Ribuan Pencari Kerja Job Fair Bekasi mengingatkan kita bahwa masalah pengangguran bukan sekadar angka dalam statistik. Ia memiliki identitas, penampilan, dan kisah. Namun tengah hiruk-pikuk itu, harapan menjadi sesuatu yang paling langka dan juga paling berharga. karena pada setiap map lamaran, tersimpan perjalanan panjang, ketakutan yang terpendam, dan keberanian pencari kerja untuk terus mencoba meski berkali-kali gagal. 

    Baca juga : Mark Zuckerberg Ungkap Era Media Sosial Telah “Usai”

  • Stephanie Case: Menaklukkan 100K Ultramarathon Sambil Menyusui

    Stephanie Case: Menaklukkan 100K Ultramarathon Sambil Menyusui

    Di tengah jalur berbatu dan rute curam sejauh 100 kilometer pada acara Trail Menorca Camí de Cavalls 2024 di Spanyol. Seorang wanita berlari dengan semangat yang luar biasa, tidak hanya karena ia sukses menyelesaikan lomba ekstrem itu dalam waktu yang mengesankan. Tetapi juga karena Stephanie Case Menaklukkan 100K Ultramarathon Sambil Menyusui melakukannya sambil menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu: menyusui anaknya. 

    Nama wanita itu adalah Stephanie Case, seorang pelari ultramarathon dari Kanada, pengacara hak asasi manusia internasional, serta ibu dari seorang bayi. Cerita ini menarik perhatian dunia karena keberaniannya untuk tidak memilih antara impian dan tanggung jawab. Ia menjalani dua peran sekaligus, berlari sebagai atlet profesional dan menyusui sebagai seorang ibu dalam satu momen yang monumental. 

    Dua Dunia yang Bertemu: Atlet dan Ibu

    Di dunia olahraga profesional, terutama ultramarathon yang memerlukan ketahanan fisik dan mental yang tinggi, peran sebagai ibu sering kali dipandang sebagai tantangan tambahan, atau bahkan rintangan. Tetapi tidak untuk Stephanie Case. Ia justru menganggap perannya sebagai ibu sebagai kekuatan yang mendorongnya melewati batas. 

    Dalam wawancara dengan media internasional seperti CNN dan Outside Online, Case mengakui bahwa ia harus berhenti di beberapa momen selama lomba untuk menyusui bayinya secara langsung dan memompa ASI. Ia merencanakan strategi logistik yang kompleks, dengan memastikan tempat dan waktu tersedia agar proses menyusui dapat berlangsung di tengah perlombaan yang panjang. “Saya menyadari ini tidak akan gampang, tetapi saya juga yakin bahwa saya mampu,” ujarnya. 

    Stephanie menegaskan bahwa pilihan untuk terus bersaing meskipun sedang menyusui bukanlah tindakan egois, melainkan usaha untuk menunjukkan bahwa seorang ibu masih dapat mengejar ambisinya sambil tetap memenuhi perannya di keluarga. “Ini bukan soal menjadi superhero, ini tentang sepenuhnya menjadi manusia,” kata Stephanie Case dalam postingan Instagram-nya @theultrarunnergirl. 

    Sosok di Balik Sepatu Lari

    Stephanie Case bukanlah pelari yang umum. Ia sudah lama dikenal dalam komunitas pelari trail dan ultramarathon sebagai individu yang kuat, konsisten, dan memiliki tujuan sosial yang jelas. Selain berperan sebagai atlet, ia juga aktif di bidang hukum internasional dan merupakan pendiri organisasi Free to Run, sebuah lembaga nonprofit yang mendukung partisipasi perempuan dalam olahraga di daerah konflik seperti Afghanistan dan Irak. 

    Free to Run berfungsi sebagai platform bagi perjuangannya untuk menjadikan olahraga sebagai alat pemberdayaan perempuan. Saya meyakini bahwa gaya gravitasi dan rintangan fisik sebenarnya dapat menjadi area perubahan. Dalam perannya, Stephanie telah menghadirkan olahraga ke area-area yang sebelumnya sulit diakses oleh perempuan. 

    Momen Penuh Arti

    Foto Stephanie Case menyusui anaknya dalam baju lari merah, lengkap dengan kacamata dan pelindung kepala, viral di media sosial. Gambar yang diposting oleh akun Instagram @peigneverticale dan diberitakan oleh media seperti The Guardian ini menyampaikan pesan yang kuat: wanita dapat melakukan berbagai hal secara bersamaan, dan tidak ada batasan peran apabila kita memiliki kemauan. 

    Momen tersebut bukan hanya gambaran cinta antara ibu dan anak, melainkan juga simbol keberanian melampaui batas sosial yang sering kali mengarahkan perempuan pada pilihan-pilihan yang terbatas. Masyarakat menyambut kisah ini dengan kekaguman dan penghormatan. Banyak perempuan, atlet, serta ibu yang termotivasi. 

    Perjuangan yang Tak Terlihat

    Meski terlihat luar biasa di permukaan, Stephanie tak menutup mata terhadap kesulitan yang ia alami. Persiapan fisik setelah melahirkan, pengaturan waktu menyusui, hingga tekanan mental menjadi bagian dari proses yang panjang. Namun, dukungan dari tim medis, keluarga, serta komunitas pelari membuatnya tetap teguh.

    “Sebagian besar orang tidak melihat betapa melelahkannya menyusui sambil bertanding. Tapi saya juga tidak ingin melewatkan momen ini baik sebagai pelari maupun sebagai ibu,” tulis Stephanie dalam unggahan pribadinya.

    Di titik ini, Case membuktikan bahwa menjadi ibu bukan alasan untuk berhenti, melainkan motivasi untuk terus maju. Ia tidak mengorbankan identitasnya sebagai perempuan kuat dan mandiri, bahkan menjadikan keibuannya sebagai landasan dari kekuatan tersebut.

    Menginspirasi Dunia

    Aksi Stephanie telah membuka ruang diskusi baru tentang pentingnya mendukung perempuan dalam berbagai peran hidupnya. Ia bukan hanya simbol dari perempuan tangguh, tapi juga representasi nyata dari perjuangan banyak ibu yang mencoba menyeimbangkan antara tanggung jawab pribadi dan mimpi profesional.

    Dalam era ketika narasi perempuan sering kali dibingkai dalam dikotomi “memilih keluarga atau karier”, Stephanie Case hadir membawa alternatif: merangkul keduanya. Ia tidak hanya memenangkan lomba ultramarathon, tapi juga memenangkan hati dan simpati masyarakat global dengan ketulusan perjuangannya.

    Stephanie Case tak hanya mencatatkan namanya dalam daftar pemenang lomba lari, tetapi juga dalam sejarah pergerakan perempuan. Kisahnya mengingatkan dunia bahwa kekuatan sejati tidak selalu tampak dalam kemenangan besar, tapi juga dalam keteguhan hati seorang ibu di garis akhir perjuangan.

    Baca juga:

  • Sherly Tjoanda: Dari Ibu Tiga Anak ke Gubernur Maluku Utara

    Sherly Tjoanda: Dari Ibu Tiga Anak ke Gubernur Maluku Utara

    Permulaan Hidup dan Pendidikan

    Dilahirkan di Ambon pada 8 Agustus 1982, Sherly Tjoanda dibesarkan dalam suasana yang menghargai pendidikan dan usaha keras. Setelah menuntaskan pendidikan dasar dan menengah di Ambon, ia melanjutkan studi ke Universitas Petra Surabaya dengan mengambil jurusan Manajemen Bisnis Internasional. Ketekunan belajarnya membawanya ke Universitas Inholland di Belanda, di mana ia mendapatkan gelar magister. Keberhasilannya menyelesaikan pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri telah menjadi modal penting dalam membangun visi dan kemampuan kepemimpinannya saat ini. 

    Peran Ganda: Ibu dan Aktivis Masyarakat

    Sebagai seorang ibu dengan tiga anak, Sherly tidak hanya mengutamakan keluarga tetapi juga terlibat dalam aktivitas sosial. Ia menjabat sebagai Ketua TP PKK Kabupaten Pulau Morotai antara 2017 dan 2022, di mana ia memulai berbagai program untuk memberdayakan perempuan, pelatihan UMKM, hingga kampanye hidup sehat untuk keluarga. Dengan aktivitasnya, ia mendukung banyak ibu rumah tangga agar dapat mandiri secara finansial melalui pelatihan keterampilan rumah tangga dan pengelolaan keuangan keluarga. 

    Di samping itu, melalui Yayasan Bela Peduli yang dipimpinnya, Sherly terlibat dalam memberikan bantuan sosial, seperti pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu, dukungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, dan penguatan kapasitas bagi remaja perempuan. Saya meyakini bahwa transformasi sosial bermula dari rumah dan komunitas terkecil, dan oleh karena itu, pemberdayaan wanita telah menjadi fokus utamanya sejak awal. 

    Langkah Menuju Arena Politik

    Partisipasinya dalam kegiatan sosial dan organisasi memberikan kesempatan bagi Sherly untuk memasuki dunia politik. Dengan motivasi besar dari masyarakat dan dukungan banyak tokoh lokal, ia mendaftarkan diri dalam Pilkada Maluku Utara 2024 dan sukses terpilih sebagai gubernur untuk periode 2025–2030. Kemenangannya bukan sekadar bersejarah dalam konteks gender, tetapi juga menjadi lambang transformasi kepemimpinan yang lebih terbuka, inklusif, dan berorientasi pada kemanusiaan. 

    Kepemimpinan yang Membuka dan Responsif 

    Sejak diangkat, Sherly menampilkan kepemimpinan yang inklusif dan peka terhadap kebutuhan masyarakat. Ia mengambil tindakan nyata dalam menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dan perusahaan tambang dengan menandatangani nota kesepahaman bersama Polda Maluku Utara untuk pengawasan dan penegakan hukum di bidang pertambangan. Di samping itu, Sherly juga mengangkat Sashabila Mus sebagai Bupati wanita pertama di Pulau Taliabu, menegaskan komitmennya untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan daerah. 

    Motivasi untuk Wanita Indonesia 

    Cerita Sherly Tjoanda memberikan motivasi yang kuat bagi banyak wanita Indonesia yang selama ini merasa tidak yakin untuk memasuki area pengambilan keputusan. Dengan pengalaman sebagai ibu rumah tangga dan aktivis sosial, Sherly membuktikan bahwa perempuan tidak perlu memilih antara keluarga dan karier; keduanya dapat berlangsung bersamaan, jika dilakukan dengan komitmen dan integritas. 

    Apa yang membedakan Sherly adalah cara dia yang sangat personal dan merakyat. Ia dekat dengan masyarakat. Pada berbagai kesempatan, ia lebih senang terjun langsung ke desa-desa terpencil, berdialog dengan para ibu, petani, dan pelaku UMKM untuk mendengarkan masalah mereka secara langsung. “Saya yakin bahwa pemimpin yang baik harus mampu mendengarkan suara rakyat, bukan hanya menyampaikan kebijakan,” katanya dalam sebuah wawancara lokal. 

    Semangat tersebut telah tertanam kuat sejak masa remajanya. Ibunya merupakan individu yang rajin dan terlibat dalam aktivitas sosial di sekitar gereja dan komunitas. Dari ibunya, Sherly memahami bahwa kekuatan perempuan tidak diukur dari jabatan yang diembannya, melainkan dari seberapa besar pengaruh yang diberikan kepada orang lain. Nilai ini senantiasa ia tampilkan di depan publik sebagai dasar moral dan etika dalam kepemimpinannya. 

    Keberhasilan Sherly sebagai gubernur tidak terlepas dari kemampuannya dalam membangun empati serta komunikasi yang efektif. Ia rutin menyelenggarakan forum terbuka untuk warga (townhall) yang melibatkan wanita, pemuda, dan pelaku usaha setempat. Tempat itu, suara yang kurang perhatikan, tersalurkan kesempatan, dan kebijakan muncul dari percakapan, bukan dari tempat yang tinggi dan terasing. 

    Banyak wanita muda sekarang menjadikan Sherly sebagai teladan. Pada platform sosial, akun pribadinya terpenuhi dengan pesan-pesan dari siswa dan aktivis muda yang terinspirasi oleh kisah hidup serta gaya kepemimpinannya. Bagi mereka, Sherly lebih dari sekadar pejabat daerah, dia adalah simbol bahwa perempuan Indonesia dapat memimpin tanpa mengabaikan sifat lembutnya. 

    Baca juga: Ria SW dan Keotentikannya dalam Membuat Food Vlog

  • NO NA: Langkah Modern Menjaga Warisan Bali di Panggung Pop

    NO NA: Langkah Modern Menjaga Warisan Bali di Panggung Pop

    Unsur Emosional dan Personal: Dari Kekaguman Jadi Komitmen Budaya

    Di industri musik yang berkembang pesat, grup dance pop NO NA tampil menonjol dengan nuansa budaya lokal. Dengan lagu terbarunya yang berjudul “Falling in Love”, grup ini menggabungkan elemen tarian Bali ke dalam gerakan koreografi mereka. Sebuah tindakan yang tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga emosional dan penuh arti bagi anggotanya. 

    Salah satu anggota NO NA, seperti yang diungkapkan dalam sesi wawancara yang dibagikan di akun Instagram mereka, menyatakan bahwa inspirasi ini berasal dari pengalaman pribadinya saat remaja berkunjung ke Bali. “Saat melihat penari Bali tampilkan Legong Kraton, saya merasa merinding.” Gerakannya elegan namun sarat dengan kekuatan. Sejak saat itu, saya menyadari bahwa suatu saat nanti saya ingin mengintegrasikan suasana itu ke dalam karya saya,” kata penari utamanya. 

    Proses penciptaan koreografi melakukan dengan penuh pertimbangan. NO NA bekerja sama dengan pelatih tari tradisional untuk mendalami arti filosofis di balik gerakan tangan dan tatapan mata yang khas dari Bali. Mereka mempelajari bahwa setiap gerakan memiliki makna dan kisah yang tidak dapat sembarangan meniru. Ini merupakan sebuah penghormatan, bukan hanya sekadar keindahan. 

    Bagi NO NA, menggabungkan budaya tradisional dengan gaya modern merupakan wujud komitmen untuk tetap mengingat asal usul mereka. Di tengah industri hiburan yang cepat dan mendunia, di mana tren Korea Selatan dan Barat sangat menguasai, mereka berupaya menjadi suara yang mengingatkan bahwa kultur Indonesia memiliki daya tarik unik yang pantas untuk disorot. 

    Dampak Sosial: Menari di Antara Tren, Menyuarakan Identitas

    Langkah NO NA memasukkan tarian Bali ke dalam dunia pop tidak hanya berhenti pada aspek seni. Terdapat efek sosial yang mulai muncul, khususnya di antara generasi muda. Setelah video mereka menjadi viral di media sosial dan menarik perhatian dari platform seperti USS Feeds, banyak netizen merasa terdorong untuk kembali mengeksplorasi budaya lokal. 

    Salah satu akibatnya adalah bertambahnya pencarian mengenai tarian Bali di platform seperti YouTube dan TikTok. Beberapa guru tari tradisional di Bali bahkan mengaku mendapatkan lebih banyak pertanyaan dan pendaftaran dari anak muda yang ingin mendalami lebih jauh. 

    “Sering kali kami mengalami kesulitan untuk mengundang remaja datang dan belajar tari, namun kini ada beberapa yang menyatakan ketertarikan mereka setelah melihat NO NA,” jelas Ni Luh Sari, seorang instruktur tari di Denpasar, seperti dikutip dari Kompasiana. Dia mengungkapkan bahwa NO NA sukses menghubungkan tradisi dan generasi terbaru melalui metode yang inklusif. 

    Di samping itu, hadirnya NO NA juga meningkatkan kesadaran akan signifikansi representasi budaya dalam dunia hiburan. Mereka tidak hanya terlihat stylish, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa budaya kita dapat membawa secara internasional tanpa kehilangan inti dari nilai-nilainya. Ini berfungsi sebagai “tamparan lembut” bagi pembuat konten lainnya agar lebih berani menjelajahi kekayaan lokal. 

    Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beberapa kali telah mendorong seniman muda untuk mengeksplorasi budaya lokal dalam karya-karya modern. Dalam rilis pers 2023, mereka menyatakan bahwa kombinasi ini dapat berfungsi sebagai strategi pelestarian sekaligus diplomasi budaya. Oleh karena itu, tindakan NO NA sejatinya sejalan dengan visi tersebut, serta bisa menjadi contoh nyata bahwa budaya tidak perlu berpikir kuno dan terasing dari anak muda. 

    Melampaui Tarian: Inspirasi dan Perubahan

    NO NA bukan lah grup pertama yang memadukan budaya dalam musik pop, tetapi cara mereka menyajikannya melalui latihan, penelitian, dan semangat untuk menghormati membuat langkah ini terasa tulus dan kuat. Untuk para penggemar, mereka tidak hanya sekadar idola, melainkan simbol bahwa berkarya dapat sekaligus meneguhkan jati diri bangsa. 

    Dalam sebuah postingan, akun @nonanav (yang terhubung dengan grup tersebut) menyampaikan harapan agar karya ini dapat menjadi jembatan untuk memahami lebih dalam kebudayaan Indonesia. “Jika setelah ini penonton merasa tertarik dengan tarian Bali, itu sudah sangat memuaskan bagi kami,” tulis mereka. 

    Sekarang, NO NA telah menciptakan kemungkinan yang besar. Bayangkan jika semakin banyak kelompok atau pencipta mulai melakukan hal yang sama. Tradisi tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan tumbuh dan dikenal secara luas dalam bentuk yang baru dan inklusif. 

    Baca juga: Nicole Kidman Desak Industri Film Tulis Peran Lebih Baik untuk Perempuan di Cannes 2025

  • Iman di Atas Roda: Pastor Zoltán dan Jalan Tak Lazim Menuju Hati Anak Muda

    Iman di Atas Roda: Pastor Zoltán dan Jalan Tak Lazim Menuju Hati Anak Muda

    Di tengah perkampungan kecil di utara Hungaria, sosok berpakaian jubah hitam meluncur lincah di atas papan skateboard. Bukan seorang pemuda, bukan pula atlet profesional, tetapi seorang pastor Katolik bernama Zoltán Lendvai. Dengan gestur tangan terbuka seperti hendak memeluk dunia, ia meluncur di jalan aspal, sesekali disambut senyum dan tepuk tangan anak-anak desa. Di sinilah cerita yang tak biasa dimulai—kisah tentang bagaimana keimanan bisa berseluncur ke hati generasi muda lewat medium yang paling mereka cintai.

    Judulnya bisa saja terdengar aneh bagi sebagian orang—seorang pastor berdakwah lewat skateboard. Namun bagi Pastor Zoltán, ini adalah jembatan untuk masuk ke dunia anak-anak dan remaja yang kerap merasa jauh dari institusi keagamaan. “Saya menyadari bahwa banyak anak muda yang tak datang ke gereja karena mereka merasa tak terhubung,” tuturnya dalam sebuah wawancara. “Maka saya memilih mendekati mereka, bukan menunggu mereka datang.”

    Ketika Agama Turun ke Jalan

    Ada sesuatu yang membebaskan dalam cara Pastor Zoltán mendekati dunia. Ia tidak memaksakan doktrin. Ia tidak menggurui dari mimbar yang tinggi. Ia justru menyentuh tanah, mendekat ke dunia yang sering diabaikan gereja: jalanan. Di sanalah anak-anak muda berkumpul, bermain, dan kadang terjebak dalam kebingungan identitas. Di jalan pula, ia hadir sebagai sahabat, bukan hanya rohaniwan. “Gereja bukanlah gedung, tetapi relasi,” katanya dalam salah satu sesi tanya jawab dengan pemuda lokal. Dan relasi, dalam dunia digital dan urban yang cepat ini, harus dibangun dengan cara yang segar.

    Bagi banyak orang muda di Redics, kehadiran Pastor Zoltán lebih dari sekadar sosok religius. Ia menjadi figur yang dapat mereka ajak bicara tanpa takut dihakimi. Beberapa dari mereka datang hanya untuk belajar trik skateboard darinya, tapi pulang dengan pertanyaan tentang iman, kasih, dan hidup yang lebih dalam. Ini bukan hal kecil di era ketika kehadiran agama seringkali dianggap membosankan atau tidak relevan. “Saya hanya ingin menunjukkan bahwa menjadi orang beriman bukan berarti berhenti bersenang-senang atau kehilangan jati diri,” ujarnya suatu kali dalam perbincangan informal.

    Metode Pastor Zoltán bahkan mulai menginspirasi komunitas Kristen di luar Hungaria. Di Prancis dan Jerman, beberapa gereja mulai mengadopsi pendekatan yang lebih ‘jalan’—mendekati kaum muda melalui seni jalanan, musik, dan olahraga. Mereka menyebutnya “spiritualitas urban.” Dalam pendekatan ini, skateboard bukan sekadar permainan, tapi bahasa simbolik untuk menjembatani jurang komunikasi antara institusi agama dan generasi muda.

    Di sisi lain, ia juga menerima kritik. Beberapa orang tua yang konservatif merasa bahwa bermain skateboard tidak pantas dilakukan oleh seorang imam. Namun Zoltán tidak marah. Ia memilih berdialog. “Saya tidak mencoba menggantikan doa dengan trik kickflip,” katanya sambil tersenyum. “Tapi saya ingin anak-anak muda tahu bahwa Tuhan bisa ditemui di mana saja—bahkan saat mereka jatuh dari papan.” Ucapan ini menjadi metafora kuat tentang bagaimana Tuhan tak hanya hadir dalam kesempurnaan, tetapi justru dalam kegagalan dan proses bangkit kembali.

    Kisahnya juga menyentuh ranah psikologi remaja. Anak muda masa kini kerap hidup dalam tekanan sosial, krisis eksistensial, dan pencarian makna. Dalam dunia yang menilai segalanya berdasarkan performa, skateboard menjadi simbol perlawanan—kebebasan berekspresi, keberanian gagal, dan semangat mencoba lagi. Pastor Zoltán menjadikan papan itu sebagai alat pendampingan psikologis, tempat anak muda belajar bahwa jatuh bukan akhir dari segalanya. Dalam tiap jatuh-bangun, terselip pesan spiritual yang dalam: rahmat Tuhan tidak datang untuk yang sempurna, tapi untuk yang terus mencoba.

    Ketika seorang anak remaja putus sekolah akhirnya kembali belajar karena merasa “dihargai” setelah diajak bermain oleh sang pastor, itulah kemenangan kecil yang tak bisa dihitung dengan statistik gereja. Atau saat seorang anak yang pemurung menjadi terbuka karena merasa “imam itu mau mendengar cerita saya,” di situlah kekuatan pendekatan Zoltán benar-benar terasa. Ia tidak memaksa perubahan, tetapi menjadi bagian dari proses alami yang tumbuh dari rasa percaya.

    Lebih dari sekadar viral, kisah Zoltán Lendvai adalah bukti bahwa spiritualitas tidak harus kaku. Ia menghidupkan kembali ide bahwa menjadi religius tidak berarti meninggalkan kehidupan duniawi, tapi justru menggaraminya. Seperti garam yang larut namun memberi rasa, ia melarutkan diri ke dalam komunitasnya, memberi warna tanpa mengubah bentuk orang lain.

    Dari Biara ke Papan Seluncur

    Zoltán Lendvai tumbuh sebagai anak pendiam di Hungaria. Namun sejak usia 15 tahun, ia jatuh cinta pada skateboard. Saat itu, kehadiran skateboard dianggap aneh di negaranya, apalagi digunakan oleh seseorang yang kelak akan menjadi pastor. Tapi minat itu tak padam, bahkan setelah ia ditahbiskan sebagai imam. Sebaliknya, ia justru memadukannya dengan panggilan spiritual.

    Dalam kesehariannya sebagai pastor paroki di Redics, Lendvai tak hanya memimpin misa atau mendampingi umat dalam kegiatan keagamaan. Ia juga sering terlihat bermain skateboard bersama anak-anak, mengajari mereka trik dasar sembari menyisipkan pesan-pesan Kristiani. Baginya, skateboard bukan sekadar olahraga, tapi alat untuk membangun hubungan yang bermakna.

    “Ada keindahan spiritual dalam keseimbangan, keberanian, dan kegigihan saat bermain skateboard,” ujarnya. “Nilai-nilai itu sangat Kristiani.”

    Menjembatani Generasi

    Di tengah kekhawatiran akan menjauhnya generasi muda dari agama, pendekatan Pastor Zoltán menjadi oase yang segar. Di saat gereja kerap dianggap kaku dan penuh aturan, ia datang membawa pesan dengan gaya yang membumi. Lewat papan seluncurnya, ia mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kasih—nilai-nilai yang ia petik dari Injil dan ia tanamkan tanpa menggurui.

    Metode yang ia gunakan tak hanya berdampak lokal. Setelah video dirinya bermain skateboard sambil mengenakan jubah viral pada 2010, berbagai media internasional mulai meliputnya. Mulai dari BBC, The Telegraph, hingga The Huffington Post mengangkat kisahnya, menjadikannya simbol bagi pendekatan pastoral yang lebih manusiawi dan inklusif.

    Di media sosial, ia juga tak luput dari perhatian. Banyak warganet yang menyebutnya sebagai “Skateboarding Priest” atau “Pastor yang Asik.” Namun di balik semua itu, Zoltán tetap rendah hati. Ia menolak menjadi selebritas dan tetap setia pada kehidupan pastoralnya yang sederhana.

    Makna Kesetiaan dalam Jalan Alternatif

    Kisah Pastor Zoltán adalah pengingat bahwa iman bukan sekadar ritual, tapi hubungan. Ia membuktikan bahwa pendekatan yang penuh empati dan relevan bisa menghidupkan kembali nilai spiritual yang mulai pudar di kalangan muda. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, metode seperti ini menghadirkan harapan bahwa agama bisa tetap menjadi ruang yang hangat dan bersahabat.

    Apa yang dilakukan Pastor Zoltán juga sejalan dengan pendekatan Paus Fransiskus yang mendorong para pemuka agama untuk turun langsung ke tengah masyarakat dan merangkul mereka yang ada di pinggiran. Dalam hal ini, skateboard menjadi metafora: untuk bisa meluncur dengan baik, seseorang harus terbuka, fleksibel, dan tidak takut jatuh—sama seperti dalam kehidupan spiritual.

    Baca Juga: Denis Kurniawan: Dari SMK ke Industri Animasi

  • Son Heung-min Antar Tottenham Hotspur Raih Trofi Pertama Setelah 16 Tahun

    Son Heung-min Antar Tottenham Hotspur Raih Trofi Pertama Setelah 16 Tahun

    LONDON – Tottenham Hotspur akhirnya mengakhiri puasa gelar selama lebih dari satu dekade setelah Son Heung-min Antar Tottenham Hotspur Raih Trofi Pertama Setelah 16 Tahun dengan kapten tim, Son Heung-min, menjadi figur sentral dalam kemenangan bersejarah tersebut.

    Dalam pertandingan final yang berlangsung di stadion netral pada malam Rabu (waktu setempat), Tottenham menunjukkan dominasi dan berhasil meraih trofi setelah menundukkan lawan dengan skor meyakinkan. Son Heung-min, yang menjadi kapten tim pada musim ini, tampak beremosi saat mengangkat trofi bersama teman-temannya. Ini adalah trofi pertama klub setelah memenangkan Piala Liga Inggris pada tahun 2008. 

    “Sebut aku legenda,” kata Son dengan semangat yang menggebu seperti yang tertulis di akun Instagram @ussfeeds, Kamis (22/5/2025). Pernyataan itu disambut dengan semangat oleh para penggemar yang telah menunggu gelar juara selama bertahun-tahun. 

    Keberhasilan ini tidak hanya signifikan untuk klub, tetapi juga menandakan pencapaian besar bagi Son secara pribadi. Pemain yang berasal dari Korea Selatan tersebut telah memperkuat Spurs sejak 2015 dan dikenal karena komitmen, konsistensi, serta kesetiaannya kepada klub London Utara tersebut. 

    Pelatih Tottenham, yang juga memberikan pendapat setelah pertandingan, menyatakan bahwa peran Son sangat penting baik di dalam maupun di luar lapangan. “Son merupakan seorang pemimpin yang sesungguhnya.” “Ia menjadi teladan bagi pemain muda dan menunjukkan contohnya melalui dedikasi yang ditunjukkannya setiap hari,” kata pelatih, sebagaimana dilaporkan oleh BBC Sport. 

    Di sisi lain, masyarakat Korea Selatan juga memberikan dukungan. Media lokal seperti The Korea Herald menekankan kemenangan ini sebagai tonggak penting dalam sejarah sepak bola Asia, mengingat Son merupakan pemain Asia pertama yang memimpin klub Inggris dalam kompetisi Eropa dan meraih trofi. 

    Tottenham Hotspur saat ini melihat musim depan dengan rasa percaya diri yang lebih tinggi. Para penggemar berharap momen ini menandai permulaan era baru keberhasilan bagi klub. “Ini bukan sekadar sebuah kemenangan, melainkan lambang dari usaha keras yang akhirnya membuahkan hasil,” tulis salah satu pendukung di media sosial.

    Dengan trofi yang akhirnya kembali ke ruang prestasi klub, Son Heung-min kini tidak hanya dianggap sebagai pemain luar biasa, tetapi juga sebagai lambang kebangkitan Tottenham Hotspur. 

    Baca Juga: Perjalanan Kreatif Gina S. Noer, Perempuan di Balik Skenario Film Indonesia

  • Pelari Nepal Sangé Sherpa Juara Kategori 162 Km Rinjani 100 Ultra, Tuntaskan Lomba dalam 41 Jam

    Pelari Nepal Sangé Sherpa Juara Kategori 162 Km Rinjani 100 Ultra, Tuntaskan Lomba dalam 41 Jam

    Sembalun, Lombok – Pelari Asal Nepal, Sangé Sherpa, berhasil menjadi pelari pertama yang sampai di garis finis dalam kategori 162 kilometer Rinjani 100 Ultra 2024. Ia menuntaskan medan ekstrem itu dengan catatan waktu yang mengesankan, yaitu 41 jam tanpa henti. 

    Ajang Rinjani 100 adalah salah satu kompetisi ultra trail yang paling menantang di Asia Tenggara. Rute perlombaan melewati trek-trek curam dan terjal di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, dengan total elevasi melebihi 13.000 meter. Lomba ini tidak hanya menguji kemampuan fisik, tetapi juga kekuatan mental peserta dari berbagai negara. 

    Sangé Sherpa, yang tersohor dalam dunia ultra trail global sebagai pelari kuat dari dataran tinggi Himalaya, menunjukkan performa luar biasa di jalur Rinjani. Dengan menggunakan headlamp dan pakaian bertuliskan FUGA, ia menyelesaikan lomba dengan semangat tinggi hingga mencapai garis finish. Dengan mengangkat tangannya ke langit dalam tanda kemenangan yang penuh emosi, seakan menjadi lambang bahwa usaha dan ketekunan tak pernah mengkhianati hasil. 

    Berdasarkan data dari situs resmi Rinjani 100 dan postingan Instagram @ussfeeds, Sangé mencatat Pelari Nepal Sangé Sherpa Juara Kategori 162 Km Rinjani 100 Ultra 2024 dalam maktu 41 jam. Ini bukan hanya berkenaan dengan kecepatan, tetapi juga tentang ketahanan menghadapi malam yang panjang, medan berbatu, dan suhu yang ekstrem. 

    Kemenangan ini menarik bukan hanya karena Sangé menjadi yang tercepat, tetapi karena ia berhasil membuktikan bahwa ketahanan dan semangat juangnya mampu melampaui batas kemampuan manusia. Dalam wawancara sebelumnya dengan media trail running, Sangé menyatakan bahwa ia selalu berlari dengan sepenuh perasaan sambil membawa aspirasi dari komunitas pegunungan tempat asalnya Nepal.

    Pencapaian ini juga menjadi motivasi bagi banyak pelari di Indonesia dan Asia Tenggara. Sangé menunjukkan bahwa dengan komitmen dan semangat yang tinggi, rintangan seberat apa pun dapat diatasi. Banyak pelari lokal yang mengaku terdorong untuk tetap berlatih setelah menyaksikan prestasinya. 

    Baca Juga: YouTuber “Outdoor Boys” Pilih Jeda Demi Keluarga

  • Langkah Kecil Novi Pratiwi, Dampak Besar untuk Sekitarnya

    Langkah Kecil Novi Pratiwi, Dampak Besar untuk Sekitarnya

    Meninggalkan Angkasa, Menyentuh Tanah

    Pada usianya yang cukup muda, Langkah Kecil Novi Pratiwi, Dampak Besar untuk Sekitarnya. Setelah bertahun-tahun menjalani profesi sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan swasta, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dengan sukarela. Bukan disebabkan oleh kelelahan, dan bukan juga karena hilangnya semangat untuk terbang, tetapi karena suara hati kecilnya terdorong untuk melayani kelompok yang sering terlupakan: orang dengan gangguan mental (ODGJ). 

    “Saya senantiasa merasakan dunia saya sangat nyaman, sementara luar sana banyak orang yang tidak memiliki tempat untuk diakui sebagai manusia,” kata Novi saat diwawancarai oleh media lokal Radar Jogja (2023). 

    Keputusan Novi tidak muncul secara tiba-tiba. Ketika masih terbang, ia sering kali membaca cerita mengenai penelantaran ODGJ di berbagai lokasi. Salah satu yang paling teringat adalah saat ia menyaksikan seorang perempuan dengan gangguan mental tidur di bawah jembatan dalam perjalanan dari bandara menuju hotel transit. “Saat itu saya hanya dapat melihat dari belakang jendela mobil.” “Tapi hatiku masih berada di sana,” kenangnya. 

    Dari Sayap ke Pelukan Perikemanusiaan 

    Setelah berhenti dari pekerjaan sebagai pramugari, Novi kembali ke kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah. Di situlah ia mulai memahami dunia rehabilitasi ODGJ secara langsung. Pada awalnya, ia hanya berpartisipasi sebagai sukarelawan di sebuah lembaga kecil yang menangani masalah ODGJ yang terabaikan. Namun seiring waktu, fungsinya mengalami perubahan. Ia mulai berpartisipasi dalam menjemput pasien, memandikan, memberi makan, serta mendampingi sesi terapi mereka. 

    Berdasarkan informasi dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2022, minimal ada lebih dari 400 ribu ODGJ berat di Indonesia, namun tidak semuanya menerima perawatan medis yang sesuai. “Novi menyatakan, ‘Statistik bisa tercatat, namun dampak sosial mereka tidak dapat diukur.’” 

    Ia juga menekankan kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya memperlakukan ODGJ secara manusiawi. Masih ada banyak kejadian pemaksaan, pengusiran, bahkan penyiksaan yang mreka lakukan atas nama ‘gangguan’. 

    Novi kini meluncurkan inisiatif kecil berbasis komunitas yang disebut “Ruang Pulih”, sebuah gerakan tidak resmi yang mengizinkan rumahnya menjadi tempat singgah bagi ODGJ yang terabaikan sebelum mereka rujuk ke rumah sakit jiwa atau panti sosial. Tempat tinggal sederhana itu tidak memiliki banyak perlengkapan, tetapi penuh dengan kasih sayang dan ketulusan. 

    Satu Raga, Satu Transformasi 

    Bagi Novi, mendukung ODGJ bukan hanya tindakan sosial, tetapi juga proses pemulihan yang saling menguntungkan. “Kadang saya merasa sembuh saat mendengar tawa mereka atau hanya sekadar mau menggenggam tangan saya,” ujarnya. 

    Salah satu cerita yang paling mengesankan adalah mengenai Pak Karyo (nama samaran), seorang pria berusia 50-an yang ditemukan dalam keadaan hampir telanjang, tidak bisa berbicara, dan mencari makan dari tempat sampah di terminal kota. memerlukan waktu dua bulan sebelum Pak Karyo kembali mengenali dirinya. Saat ini, ia telah dapat bertani di kebun kecil milik Novi. 

    Cerita ini kemudian dipublikasikan oleh saluran YouTube Lentera Jiwa dan berhasil menarik lebih dari 50 ribu penonton, yang kebanyakan mengaku terinspirasi. Banyak yang kemudian mengirimkan bantuan logistik atau hanya datang untuk menyaksikan secara langsung kegiatan di Ruang Pulih. 

    Namun, Novi tidak merasa bahwa ia luar biasa. “Saya hanya ingin ada, meski hanya satu orang yang saya bantu.” “Bagi saya, itu sudah memadai.” 

    Menginspirasi Melalui Tindakan Konkret 

    Cerita Novi bukan hanya motivasi pribadi, tetapi juga bukti bahwa tindakan kecil yang rutin dapat memberikan pengaruh besar. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang berlomba meraih perhatian di media sosial, Novi mengambil langkah tenang: mengangkat kembali jiwa-jiwa yang pernah hancur. 

    Saat ini, Novi berkolaborasi dengan berbagai profesional medis, psikiater setempat, serta Dinas Sosial Kabupaten Klaten untuk memfasilitasi layanan bagi pasien ODGJ yang tidak memiliki keluarga atau identitas. Ia juga kerap menjadi pembicara dalam diskusi kampus mengenai kesehatan mental dan advokasi hak asasi manusia. 

    “Saya tidak merasa menyesal dengan pilihan untuk berhenti menjadi pramugari.” “Saat ini saya memang tidak terbang, tetapi saya merasakan kedekatan yang lebih dengan sesama manusia,” ucapnya. 

    Menjadi Jembatan Impian 

    Kisah Novi Pratiwi menunjukkan bahwa setiap individu memiliki peluang untuk memberikan dampak, tanpa memandang latar belakang atau pekerjaan sebelumnya. Meskipun ia mungkin tidak lagi terbang di angkasa biru, telapak kakinya di tanah telah menjadi penghubung harapan bagi mereka yang selama ini terabaikan. 

    Dalam era yang cepat dan sering kali egois, sosok seperti Novi mengingatkan kita tentang satu hal mendasar: kebaikan tidak perlu berlebihan, cukup ada di saat mereka butuh. 

    Baca Juga: Rachel Vennya, Simbol Perempuan Tangguh