Penulis: Nashwa Kayla

  • Zhang Junjie: Real-Life Underdog di balik Revolusi Teh Latte CHAGEE

    Zhang Junjie: Real-Life Underdog di balik Revolusi Teh Latte CHAGEE

    MANUNGSA— Di balik secangkir teh susu segar bermerek Chagee yang kini ramai digandrungi di gerai-gerai Asia, terselip kisah hidup yang jauh dari kata manis. Sosok dibalik merek fenomenal ini, Zhang Junjie, bukanlah anak konglomerat atau lulusan universitas top. Sebaliknya, pria kelahiran provinsi Yunnan, Tiongkok ini justru pernah menjalani hidup sendirian di jalanan sejak usia 10 tahun, tanpa orang tua, tanpa keluarga, dan bahkan tanpa kemampuan membaca. 

    Kini, namanya tercatat sebagai miliarder termuda Tiongkok setelah sukses membawa perusahaannya melantai di NASDAQ (National Association of Security Dealers Automated Quotations) pada april 2025. IPO (Initial Public Offering) itu berhasil menghimpun dana lebih dari 400 juta USD, sekaligus menempatkan kekayaan bersih Zhang di kisaran 1.8 miliar USD. Tapi, seperti filosofi teh yang butuh waktu untuk diseduh, kesuksesan Zhang tentu saja bukan sesuatu yang instan. 

    Zhang mengawali hidup mandirinya dengan bekerja sebagai karyawan di jaringan kedai teh Taiwan saat usianya baru menginjak 17 tahun. Kala itu, ia belum bisa membaca, tetapi semangat belajar dan etos kerjanya luar biasa. Ia menjadi orang pertama yang datang dan terakhir pulang dari toko. Perlahan tapi pasti, ia naik pangkat menjadi manajer operasional di wilayah Yunnan. Zhang kemudian mendapatkan tawaran untuk mengambil alih satu cabang yang hampir tutup. Meski berada di lokasi yang tidak strategis, Zhang menjemput bola. Ia menggunakan cara-cara yang efektif, seperti membagikan selebaran, membuka layanan pesan antar, hingga bekerja sama dengan kantin sekolah. Kegigihannya membuahkan hasil, kedai itu kembali ramai dan Zhang semakin yakin dengan jalan hidupnya di dunia teh. 

    Tak puas hanya berjualan, Zhang mulai menimba ilmu bisnis ke luar negeri. Ia sempat melakukan trip ke Malaysia dan Korea Selatan, mempelajari tren teh, lalu kembali ke Tiongkok dengan ilmu baru. Terinspirasi oleh tokoh dunia seperti Nelson Mandela, ia menyadari bahwa keberanian saja tidak cukup. Ia harus memahami bagaimana menjalankan perusahaan. Maka, ia bekerja di sebuah startup di Shanghai demi mempelajari struktur organisasi dan manajemen keuangan. 

    Pada 2017, barulah Zhang mendirikan merek miliknya sendiri, yaitu Chagee atau dalam bahasa Mandarin 霸王茶姬. Di tengah tren bubble tea yang saat itu sedang naik daun, Zhang memilih menghadirkan teh latte yang mengutamakan kesegaran daun teh lokal yang dipadukan dengan susu segar. Filosofinya sederhana, yaitu kembali pada rasa autentik, dengan nilai gizi dan estetika yang cocok dengan gaya hidup anak muda. 

    Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah image

    Kedai Pertama CHAGEE di Kunming, China
    Source: chagee.com

    Keputusannya terbukti jitu. Dalam kurun waktu beberapa tahun, Chagee berkembang pesat dan membuka ribuan gerai di berbagai kota Tiongkok, Asia Tenggara, hingga baru-baru ini masuk ke pasar Indonesia. Konsistensinya terhadap kualitas dan pengalaman minum teh yang menyenangkan membuat Chagee tampil berbeda di tengah persaingan pasar yang ketat. 

    Namun, dibalik semua pencapaiannya, Zhang tetap bertahan dengan semangat awalnya. Meski berada dalam situasi “tiga tanpa” (tanpa pendidikan formal, tanpa riwayat usaha, dan tanpa modal) ia membuktikan bahwa masa lalu tak harus menentukan masa depan. 

  • Kenalan Sama 4 Member no na, Girl Group Indonesia Pertama dari 88rising!

    Kenalan Sama 4 Member no na, Girl Group Indonesia Pertama dari 88rising!

    MANUNGSA — Label musik 88rising, yang telah sukses mengorbitkan nama-nama seperti Rich Brian, NIKI, dan Joji, kembali memperkenalkan no na, girl group pertama asal Indonesia. no na akan memulai debut resminya pada 2 Mei 2025, menjadi tonggak penting dalam perjalanan musik Indonesia di kancah Internasional. 

    88rising memperkenalkan grup ini dengan caption “no na, the introduction. we are here. coming may 2nd.” Di akun resmi Instagram mereka.

    Teaser pre-sebut tersebut menampilkan visual yang menggambarkan keindahan Indonesia, termasuk pantai dan pemandangan alam lainnya. Video pendek tersebut memperkenalkan keempat anggota no na— Baila Fauri, Christy Gardena, Esther Geraldine, dan Shazfa Adesya dengan menampilkan visual mereka dalam berbagai pose dan ekspresi yang mencerminkan identitas grup. Teaser ini memberikan gambaran awal tentang konsep dan gaya musik no na yang menggabungkan elemen-elemen budaya Indonesia dengan sentuhan modern. setiap anggota tampil dengan menunjukkan karakter unik melalui pemilihan busana dan individual shoot mereka. 

    Baila Fauri

    Baila Fauri lahir pada 29 September 2001 di Jakarta. Sejak kecil, Baila sudah menunjukkan minat yang besar pada dunia musik. Karirnya dimulai saat ia mengikuti ajang Indonesian Idol Junior pada 2014 lalu. Baila bahkan menembus babak enam besar dalam ajang tersebut. Meski tidak keluar sebagai pemenang, Baila terus mengembangkan kemampuan vokalnya. Pada 2019, ia merilis single perdananya “Eye to Eye” yang kemudian mendapatkan sambutan hangat dari penggemarnya. 

    Baila tidak hanya dikenal di dunia musik, tetapi ia juga memancarkan pesona yang karismatik dan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai genre musik. Keputusannya untuk bergabung dengan no na menunjukkan tekadnya untuk terus berkembang dan membawa karirnya ke dunia internasional. 

    Christy Gardena

    Christy Gardena merupakan gadis asal Lombok yang sejak kecil sudah terjun ke dunia tari. Sebagai seorang balerina, Christy telah unjuk kebolehan di berbagai kompetisi tari. Ia berhasil meraih juara 3 dalam International Dance Asia Competition pada 2019. Meski informasi mengenai Christy masih terbatas, namun, akun TikToknya memiliki jumlah likes 2.2 juta yang berarti sebelumnya ia juga aktif di media sosial. 

     

    Esther Geraldine

    Esther Geraldine mulai dikenal di dunia hiburan Indonesia setelah mengikuti Indonesian Idol musim ke-10. Meski tereliminasi lebih awal, Esther melanjutkan karir musiknya dengan merilis beberapa single. Lagu debutnya seperti “Rarity” mendapatkan sambutan positif dari penggemarnya. 

    Shazfa Adesya 

    Shazfa Adesya merupakan anggota no na yang memiliki latar belakang internasional. Ia telah menempuh pendidikan di University of New South Wales (UNSW) di bidang Media in Public Relations and Advertising. Shazfa dikenal karena ketertarikannya terhadap dunia seni, terutama tari dan musik. Dengan kombinasi kemampuan akademis dan bakat seni, Shazfa Adesya adalah sosok yang menarik di dunia hiburan dan musik Indonesia saat ini.

    Masing-masing anggota no na membawa elemen yang tidak hanya memperkaya identitas grup, tetapi juga menciptakan harmoni dalam keberagaman. Mereka menyatukan berbagai latar belakang dan keterampilan, dari vokalis hingga penari profesional, serta pengaruh di media sosial, untuk menciptakan kesatuan. Bersama-sama, mereka siap untuk memperkenalkan karya mereka kepada dunia, tidak hanya sebagai sekumpulan musisi, tetapi sebagai representasi dari keberagaman perempuan muda Indonesia. Sebagai grup pertama asal Indonesia yang debut di bawah 88rising, no na akan debut pada 2 Mei 2025 mendatang dengan harapan besar untuk menunjukkan potensi Indonesia di panggung musik internasional.

  • May Day sebagai Cermin Nestapa Buruh Indonesia

    May Day sebagai Cermin Nestapa Buruh Indonesia

    MANUNGSA — Setiap 1 Mei, jalan-jalan di ibu kota dan kota-kota besar di Indonesia dipenuhi oleh lautan massa yang menuntut keadilan. May Day atau Hari Buruh Internasional, menjadi momen di mana pekerja dari berbagai sektor bersuara menentang ketidakadilan sistem ketenagakerjaan. Tahun 2025, aksi ini kembali digelar—sekitar 200 ribu buruh akan memadati Monas, Jakarta, sementara puluhan ribu lainnya turun ke jalan di 30 provinsi.

    Namun, dibalik gegap gempita aksi tersebut, tersimpan kisah pilu yang tak kunjung berubah dari tahun ke tahun. Upah tak layak, ancaman PHK sepihak, eksploitasi pekerja, dan minimnya perlindungan hukum masih menajdi masalah struktural yang membelenggu buruh Indonesia.

    Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyatakan bahwa Hari Buruh tahun ini akan menyuarakan enam tuntutan utama, yaitu:

    Tuntutan yang Berulang

    Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, dalam keterangan persnya, menegaskan enam tuntutan utama yang diusung para buruh tahun ini:

    1. Penghapusan sistem outsourcing, yang menyebabkan buruh kehilangan kepastian kerja.
    2. Penetapan upah layak, yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup riil.
    3. Pembentukan Satgas PHK, sebagai perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak.
    4. Revisi UU Ketenagakerjaan, karena dinilai masih berat sebelah terhadap pemilik modal.
    5. Perlindungan hukum untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT).
    6. Pemanfaatan aset hasil korupsi untuk program kesejahteraan buruh.

    Dikutip dari ANTARA news, Said Iqbal mengatakan bahwa “May Day bukan tentang libur kaum buruh, May Day adalah tentang bagaimana mengingat kembali penderitaan kaum buruh untuk memperjuangkan isu-isu kaum buruh,”

    Sementara itu, kehadiran Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam aksi di Monas tahun ini menimbulkan beragam reaksi. Meski dianggap sebagai sinyal terbukanya kanal dialog, banyak kalangan buruh masih meragukan komitmen pemerintah dalam merespons tuntutan mereka secara konkret.

    Ketimpangan Upah dan Biaya Hidup

    Di tingkat provinsi, disparitas antara Upah Minimum Provinsi (UMP) dan kebutuhan hidup menjadi masalah besar. Di DKI Jakarta, UMP tahun 2025 sebesar Rp. 5.396.761, sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan hidup layak untuk keluarga kecil bisa mencapai Rp7–8 juta per bulan.

    Karena tekanan ekonomi tersebut, banyak buruh terpaksa bekerja lembur. Namun, menurut Komnas Perempuan, lembur sering kali tidak dihitung dan dibayar sesuai aturan.

    Ancaman Outsourcing dan PHK Sepihak

    Sistem outsourcing menjadi sumber keresahan utama buruh kontrak. Status kerja yang tidak tetap membuat buruh bisa di-PHK sewaktu-waktu tanpa pesangon yang layak. Proses hukum yang panjang dan mahal membuat mayoritas buruh akhirnya pasrah.

    PRT: Tenaga yang Dilupakan Regulasi

    Kondisi pekerja rumah tangga (PRT) juga tak kalah memprihatinkan. Hingga saat ini, RUU Perlindungan PRT masih mangkrak. Sementara itu, data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menunjukkan lebih dari 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang tahun 2018–2023, mulai dari kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga penahanan upah.

    Ketua JALA PRT, Lita Anggraini, menegaskan bahwa tanpa regulasi, PRT akan terus menjadi kelompok paling rentan di dunia kerja.

    May Day bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah momen kolektif di mana jutaan buruh menunjukkan bahwa mereka masih bertahan, meski dengan penghasilan tak layak, tanpa jaminan kerja, dan dalam sistem hukum yang berat sebelah.

    Selama negara belum menjadikan kesejahteraan buruh sebagai prioritas utama, lautan massa akan terus turun ke jalan setiap 1 Mei. Mereka datang bukan untuk merayakan, tetapi untuk mengingatkan bahwa keadilan sosial masih menjadi janji yang belum ditepati.

    Baca juga: Inovasi Hijau: Peran Startup Sosial Dalam Menjawab Tantangan Limbah

    Referensi:

    • Antara News. (2025). Said Iqbal: May Day momentum perjuangkan isu kaum buruh
    • Kompas. (2025). 6 Tuntutan May Day 2025: Buruh Akan Minta Prabowo Outsourcing hingga Rampas Aset Koruptor.
    • Komnas Perempuan. (2024). Siaran Pers Bersama Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, KND Mendorong Pengesahan RUU PPRT.

  • Better Endings: M2M Siap Sapa Penggemar di Jakarta

    Better Endings: M2M Siap Sapa Penggemar di Jakarta

    MANUNGSA— Di awal 2000-an, sebelum Spotify dan TikTok merambah, ada dua gadis muda asal Norwegia yang suaranya menghiasi kaset-kaset bertuliskan “M2M”. Bagi generasi milenial, nama ini bukan sekedar duo pop, melainkan bagian dari masa tumbuh. 

    Kini, lebih dari dua dekade sejak debut mereka, M2M akan hadir di Jakarta dalam konser bertajuk The Better Endings Tour pada hari ini, 26 April 2025 di Ecovention Hall, Ancol.  

    Siapa M2M?
    Bagi generasi muda sekarang, mungkin nama M2M terdengar asing, bahkan nyaris tak dikenal. Namun, bagi mereka yang tumbuh di era awal 2000-an, M2M adalah suara yang membalut masa remaja. M2M adalah duo pop asal Norwegia yang terdiri dari Marion Elise Raven dan Marit Elisabeth Larsen. Mereka bukanlah hasil dari audisi label atau agensi, melainkan dua sahabat dari kota kecil Lørenskog, Norwegia. 

    Sejak usia lima tahun, mereka sudah bermusik bersama. Saat 8 tahun, mereka merilis lagu anak-anak dalam bahasa Norwegia dengan nama duo “Hubba-Bubba”. Namun, ketika beranjak remaja, mereka menulis lagu-lagu berbahasa Inggris dengan nuansa yang lebih mature. Label besar asal Amerika, Atlantic Records, kemudian mengontrak mereka dan mengganti nama duo menjadi M2M— singkatan dari nama depan mereka, yaitu Marit dan Marion. 

    Source: fanpop.com

    Debut Internasional
    Lagu debut mereka, Don’t Say You Love Me, dirilis pada tahun 1999 dan langsung melejit berkat keberadaanya di soundtrack film animasi populer “Pokémon: The First Movie”. Lagu itu menjadi pembuka yang sukses besar— masuk chart Billboard, diputar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tahun 2000, M2M merilis lagu mereka, Shades of Purple, yang memperkuat eksistensi mereka sebagai musisi pop remaja. 

    Citra M2M di Tengah Dunia Pop 
    Branding M2M yang menonjol di tengah hiruk pikuk industri musik pop awal 2000-an adalah keaslian mereka. Tidak ada gimmick berlebihan, hanya dua remaja dengan gitar, jeans, dan t-shirt. Mereka tampil seperti teman sebaya yang bercerita soal cinta pertama, rasa kecewa, dan pertanyaan-pertanyaan khas remaja. Lagu seperti Pretty Boy, Mirror Mirror, hingga The Day You Went Away tidak hanya menjadi hits, tapi terasa seperti tulisan di buku harian yang dinyanyikan dengan lantang. 

    Karir M2M 
    Sayangnya, karir M2M berlangsung singkat. Setelah album kedua mereka, “The Big Room” (2002), duo ini bubar. Marion dan Marit memilih jalan solo masing-masing. Namun, meski hanya aktif selama beberapa tahun, M2M meninggalkan jejak— khususnya di Asia, termasuk Indonesia. 

    Di Indonesia, lagu-lagu mereka menjadi bagian dari kehidupan banyak remaja. Mereka diputar di radio, dijadikan lagu pensi, atau sekedar menemani masa-masa remaja. Hingga kini, lagu-lagu M2M masih banyak ditemukan di playlist “Nostalgia tahun 2000-an”. 

    Reunited in Jakarta 
    Dua dekade setelah lagu-lagu mereka menemani masa remaja banyak orang, M2M akhirnya kembali menyapa penggemarnya dengan formasi lengkap. Hari ini, 26 April 2025, Marion Raven dan Marit Larsen naik panggung bersama di Ecovention Hall, Ancol, Jakarta, dalam rangkaian konser reuni bertajuk The Better Endings Tour.

    Bagi banyak orang, ini bukan sekadar konser nostalgia. Ini merupakan reuni emosional antara M2M dan mereka yang tumbuh bersama lagu-lagunya. Dari Pretty Boy hingga Don’t Say You Love Me, semuanya hidup kembali, kali ini bukan lewat kaset atau radio, tapi secara langsung di hadapan ribuan orang. 

  • RBC Institute A. Malik Fadjar Soroti Bias Gender dalam Pendidikan Lewat Diskusi Bersama Kalis Mardiasih

    RBC Institute A. Malik Fadjar Soroti Bias Gender dalam Pendidikan Lewat Diskusi Bersama Kalis Mardiasih

    Malang, 24 Maret — Ruang Baca Cerdas (RBC) Institue A. Malik Fadjar memperkuat posisinya sebagai ruang intelektual kritis dengan menggelar diskusi bertajuk “Ruang Gagasan: Menyoal Pendidikan Perempuan” bersama penulis dan aktivis Kalis Mardiasih, Kamis (24/4). Bertempat di Ruko Permata Jingga, Lowokwaru, Malang, forum ini tidak hanya membedah buku “Esok Jilbab kita Dirayakan”, tetapi juga menegaskan komitmen RBC Insitute A. Malik Fadjar terhadap isu kesetaraan dan pembebasan pendidikan dari bias struktural.

    Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar, Subhan Setowara, menyatakan bahwa forum ini dirancang sebagai respons atas pentingnya ruang diskusi kritis, serta berharap agar kegiatan ini dapat memperluas kesadaran kolektif mengenai pentingnya pendidikan perempuan sebagai pilar pembangunan bangsa. “

    Diskusi ini merupakan bagian dari inisiatif Ruang Gagasan, program rutin yang digagas oleh RBC Institue A. Malik Fadjar untuk mempertemukan masyarakat luas dengan isu-isu penting dalam ruang yang inklusif, terbuka, juga reflektif. Melalui forum ini, RBC berharap dapat terus mendorong diskursus yang membumi dan membebaskan.

    Kehadiran Kalis Mardiasih, aktivis sekaligus penulis buku yang dibahas, menjadi penegasan terhadap agenda RBC dalam mengadvokasi kesadaran kritis. Dalam paparannya, Kalis mengangkat beragam tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia pendidikan, mulai dari stereotip gender, pengalaman biologis, hingga pilihan hidup perempuan.

    “Sistem pendidikan kita masih bias kelas dan bias gender,” tegas Kalis. Ia membeberkan berbagai bentuk marginalisasi perempuan: mulai dari pengorbanan cita-cita pribadi, tekanan sosial yang membelenggu, hingga peminggiran sistematis di bidang-bidang yang secara stereotip dilabeli sebagai ‘”domain laki-laki”.

    Diskusi ini mencerminkan visi RBC Institute A. Malik Fadjar untuk tidak hanya menjadi ruang baca, melainkan ruang berpikir. Dengan menyoroti jilbab sebagai simbol yang sarat akan makna politik dan sosial, diskusi ini membuka ruang bagi pembacaan yang lebih dalam terhadap pendidikan perempuan, bukan semata soal akses, melainkan soal kuasa, narasi, dan juga struktur.

    Acara diskusi ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang berlangsung secara dinamis. Mempertemukan berbagai pandangan tentang agama, budaya, dan pendidikan dalam lanskap Indonesia hari ini. Diskusi ini membuktikan bahwa RBC Institue A. Malik Fadjar terus berupaya menjadi ruang yang membuka kemungkinan untuk bertanya, berdiskusi, dan berpikir ulang tentang sistem pendidikan kita.

  • Micro-Activism In Action: Mengapa Suara Generasi Muda Seperti Melati dan Isabel Wijsen Penting dalam Perubahan Sosial?

    Micro-Activism In Action: Mengapa Suara Generasi Muda Seperti Melati dan Isabel Wijsen Penting dalam Perubahan Sosial?

    Bali dikenal dengan lanskap alamnya yang mempesona. Namun, di balik hingar bingar deburan ombak, tersisip cerita dua gadis muda yang merubah wajah aktivisme dengan cara yang paling sederhana. Melati dan Isabel Wijsen bukan nama asing dalam aktivisme lingkungan. Dua kakak beradik ini mulai kampanye mereka saat masih berusia 12 dan 10 tahun. Mereka bukan hanya mengamati keindahan laut, tetapi juga menyaksikan bagaimana plastik mencemari setiap sudutnya. Menurut mereka, laut bukanlah tempat sampah, bukan juga prasmanan tanpa akhir. Sejak kecil, mereka tumbuh diatas kapal, menjelajah pulau demi pulau bersama orang tuanya.  Laut adalah rumah kedua, sumber magic pada masa kecil mereka. Mulai dari menyaksikan cahaya fosfor yang bersinar saat menyiram air laut, hingga bertemu langsung dengan pari manta untuk pertama kalinya. 

    Jejak Awal, Dampak Global
    Gerakan bernama Bye Bye Plastic Bags bermula dari keresahan akan tumpukan plastik yang mencemari pantai-pantai Bali. Mereka memulai dengan aksi membersihkan sampah bersama wisatawan dan warga lokal. Dari sana, mereka bergerak mengedukasi, menyampaikan suara mereka dan akhirnya berhasil mengumpulkan lebih dari 100.000 tanda tangan dalam sebuah petisi yang mendesak pelarangan tas plastik sekali pakai. Tindakan Melati dan Isabel tidak berhenti sampai di titik itu. Mereka mendampingi lebih dari 800 keluarga serta berbagai toko lokal untuk beralih ke tas ramah lingkungan. Melalui pendekatan komunitas, mereka menunjukkan bahwa perubahan bisa datang dari hal-hal sederhana

    Micro-Activism
    Apa yang dilakukan oleh Melati dan Isabel kini dikenal dengan micro-activism. Konsep ini merujuk pada tindakan kecil dalam skala individu maupun komunitas. Jika dilakukan secara konsisten, bisa memantik perubahan sosial lebih besar. Berbeda dari aksi besar-besaran yang sering muncul di media, micro-activism bersifat personal.  Melati dan Isabel telah berbicara di hadapan ribuan orang—dari pelajar hingga pemimpin dunia di PBB. Forbes menyebut Melati sebagai salah satu dari 10 perempuan paling inspiratif di Indonesia. Namun semua pencapaian itu berakar dari satu hal yang sangat  sederhana, yaitu keresahan dan kepedulian terhadap sesuatu yang mereka cintai.

    Indonesian sisters Melati and Isabel Wijsen pose after receiving the 2017 Bambi Award in the “Our Earth” category during the award ceremony on November 16, 2017 at the Stage Theatre on Potsdamer Platz in Berlin.
    The BAMBI awards are the main German media awards. / AFP PHOTO / Tobias SCHWARZ
    (Photo credit: TOBIAS SCHWARZ/AFP via Getty Images)

    Suara dari Indonesian Ocean Pride 
    Tak hanya berhenti di Bye Bye Plastic Bags, Melati dan Isabel kemudian menjadi Founder dan Co-Founder dari Indonesian Ocean Pride,  NGO (Non-Governmental Organisation) yang bertujuan untuk menghubungkan kembali masyarakat Indonesia dengan identitas maritimnya. IOP menyoroti pentingnya laut sebagai sumber kehidupan dan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menyimpan kekayaan laut luar biasa. Namun, kekayaan itu terus terancam oleh perikanan destruktif, sampah plastik, dan polusi. IOP hadir untuk mengingatkan bahwa laut adalah identitas kita. 

    Dalam wawancaranya dengan CNN Travel, Melati menyatakan bahwa suara generasi muda seharusnya memiliki resonansi yang lebih besar. 

    “If we could meet with world leaders and speak to them, we would tell them to listen more to the youth, consider us as more than just inspiration. We have bright innovative ideas of how to deal with some of the greatest issues of our time,”

    Dengan semangat dan determinasi mereka, Melati dan Isabel menginspirasi generasi muda di seluruh dunia untuk percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk membuat dampak nyata. 

    Ikuti kisah mereka di byebyeplasticbags.org dan indonesianoceanpride.org.

  • Greenday Ubah Lirik Lagu Saat Coachella, Dukungan Terbuka untuk Palestina

    Greenday Ubah Lirik Lagu Saat Coachella, Dukungan Terbuka untuk Palestina

    MANUNGSA — Coachella 2025 tak hanya diramaikan oleh dentuman musik, tapi juga dijadikan panggung pernyataan politik oleh Green Day. Dalam aksi mengejutkan dan berani, band punk legendaris asal Amerika ini mengubah lirik lagu dalam album American Idiot. Hal ini terjadi sebagai bentuk dukungan untuk Palestina dan penolakan terhadap genosida.

    Ribuan penonton bersorak ketika Green Day membawakan lagu dalam album American Idiot — album ikonik yang selama dua dekade menjadi simbol kritik dan perlawanan terhadap politik Amerika. Sorakan berubah menjadi kehebohan saat Billie Joe Armstrong mengubah lirik dalam lagu Jesus of Suburbia menjadi “Runnin’ away from pain like the kids from palestine / Tales from another broken home”, menggantikan lirik aslinya yaitu “Runnin’ away from pain when you’ve been victimized”.

    Di tengah dunia hiburan yang kerap bungkam terhadap isu-isu sensitif demi menjaga citra dan kontrak kerja, Green Day justru dengan lantang menyuarakan. Band punk legendaris asal Amerika ini kembali menunjukkan bahwa idealisme mereka bukan sekedar gimmick panggung.

    billboard.com

    Green Day merupakan band asal California yang berdiri pada 1987. Sejak awal, Green Day dikenal sebagai grup yang kerap vokal tentang keresahan sosial melalui musik. Album mereka yang paling fenomenal adalah American Idiot (2004), yang merupakan kritik tajam terhadap pemerintahan Amerika. Di tengah meningkatnya aksi boikot dan sensor terhadap aksi pro-Palestina, banyak publik figur yang memilih aman. Tindakan Green Day terasa seperti tamparan terhadap budaya diam yang menjangkiti industri hiburan.

    Dalam festival musik terbesar Amerika, serta di negara yang pemerintahannya kerap dituding mendukung militerisasi di Timur Tengah, Green Day memilih untuk bersuara. Bukan lewat orasi panjang, tetapi lewat baris lirik yang singkat dan tepat.

    Baca juga: Menangkap Realitas dalam Bidikan Lensa, Perjalanan Dorothea Lange dalam Mengabadikan Isu Sosial

  • Mengeksplorasi Imajinasi Im Sang Choon di Balik K-drama ‘When Life Gives You Tangerines’

    Mengeksplorasi Imajinasi Im Sang Choon di Balik K-drama ‘When Life Gives You Tangerines’

    Drama When Life Gives You Tangerines tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta Kdrama. Dengan latar Pulau Jeju pada tahun 1960-an, kisahnya yang relate dengan pengalaman banyak orang sekaligus penuh emosi berhasil menarik perhatian penonton. Bukan hanya sekedar drama romantis, cerita ini juga menggambarkan perjuangan hidup, membuat drama ini semakin relate dengan realitas yang dialami oleh banyak orang.

    Dibalik hype-nya drama ini, ada sosok penting yang merangkai jalan ceritanya dengan apik, yaitu Im Sang-Choon. Ia dikenal sebagai penulis yang mampu menghadirkan kisah-kisah sarat makna dengan sentuhan humor yang khas. Sebelumnya, Im Sang-Choon juga sukses dengan drama Fight for My Way (2017) dan When the Camellia Blooms (2019), dua drama slice of life yang menghangatkan hati. 

    Dalam When Life Gives You Tangerines, Im Sang-Choon kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam membangun karakter yang hidup. Tangerine di sini bukan sekadar buah, tetapi menjadi simbol harapan dan perjuangan. Buah jeruk yang tumbuh di Pulau Jeju menghadapi angin kencang dan cuaca yang tidak menentu, namun, tetap bertahan dan menemukan kebahagiaan di segala kesulitan. Menurut Korea Times, judul drama ini merupakan adaptasi dari ungkapan dalam dialek Jeju, yaitu Pokssak Sogatsuda yang berarti “kamu telah bekerja keras”. Ungkapan ini sering digunakan untuk menyampaikan penghargaan atas usaha seseorang, mencerminkan tema utama drama ini. Tangerine dalam drama ini juga melambangkan kehangatan keluarga, kebersamaan, serta impian yang terus diperjuangkan meskipun keadaan tidak selalu berpihak. 

    ʜ𖤬𖦪ɪɴɪ. (n.d.). Pinterest. Retrieved April 08, 2025, from https://pin.it/4hdjxTRq1

    Imajinasi Im Sang-Choon juga terlihat dalam caranya membangun dunia cerita yang unik. Ia bukan sekedar menghadirkan Pulau Jeju sebagai latar tempat, tetapi menghidupkannya sebagai bagian dari narasi. Im Sang-Choon mengeksplorasi kehidupan masyarakat setempat dengan detail yang autentik, dari tradisi Haenyeo hingga dinamika sosial yang khas pada era itu. Hal ini memberikan detail lebih pada cerita, membuat penonton hanyut dalam dunia yang ia ciptakan. Gaya penyampaian Im Sang-Choon dalam ceritanya seringkali mengandung humor ringan yang digabungkan dengan momen emosional. Mampu menciptakan kesimbangan yang membuat cerita terasa lebih real. 

    Keberhasilan When Life Gives You Tangerines semakin mempertegas posisi Im Sang-Choon sebagai salah satu penulis terbaik di industri K-drama. Lebih dari sekadar hiburan, drama ini merupakan refleksi kehidupan yang mengajarkan bahwa di balik kesederhanaan selalu terdapat ruang untuk harapan dan kebahagiaan (NK)

  • Menangkap Realitas dalam Bidikan Lensa, Perjalanan Dorothea Lange dalam Mengabadikan Isu Sosial

    Menangkap Realitas dalam Bidikan Lensa, Perjalanan Dorothea Lange dalam Mengabadikan Isu Sosial

    Dorothea Lange merupakan seorang fotografer dokumenter yang mengabadikan penderitaan para petani selama The Great Depression. Ia sekaligus menjadi mata bagi mereka yang terpinggirkan, suara yang tak terdengar, dan saksi bisu dari kesulitan hidup banyak orang selama masa-masa sulit dalam sejarah Amerika Serikat. Lange mengabadikan realitas sosial yang kerap diabaikan melalui lensa kameranya dan membawa dampak signifikan dalam dunia jurnalisme foto serta kesadaran sosial.

    Mengawali Karier dari Studio hingga Jalanan

    Lahir pada 26 Mei 1895 di Hoboken, New Jersey, Amerika Serikat, Dorothea Lange belajar fotografi di Universitas Columbia di New York CIty dibawah bimbingan Clarence H. White, seorang anggota kelompok Photo-Secession. Pada tahun 1918, Lange berencana melakukan ekspedisi keliling dunia dengan mengandalkan hasil penjualan fotonya. Namun, ia kehabisan uang saat tiba di San Fransisco, sehingga ia memutuskan untuk menetap dan bekerja di sebuah studio fotografi. Ketika The Great Depression melanda Amerika pada 1930-an, ia merasa terpanggil untuk meninggalkan kenyamanan studionya dan mengarahkan kameranya ke jalanan. Lange mendokumentasikan dampak krisis ekonomi terhadap rakyat biasa. Perjalanannya dari kamp-kamp pengungsi dan daerah pedesaan yang terkena dampak ekonomi membawanya bertemu dengan para buruh migran, petani yang kehilangan lahan, dan keluarga yang berjuang untuk bertahan hidup. Potret mereka menjadi saksi bisu dari penderitaan yang terjadi di seluruh negeri. 

    Dokumenter The Great Depression

    Sebagai bagian dari proyek Farm Security Administration (FSA), Lange berkeliling ke berbagai pelosok Amerika untuk memotret dampak dari The Great Depression. Foto-fotonya tidak hanya menjadi dokumentasi, tetapi juga mampu mempengaruhi kebijakan sosial dan publikasi di berbagai media. White Angel Breadline (1933), potret dokumenter pertamanya, menangkap potret seorang pria tua berjaket lusuh berdiri terpisah dari kerumunan orang dalam antrean roti di San Francisco. Wajahnya tertunduk, mencerminkan keputusasaan dan penderitaan yang dialami banyak orang pada saat itu. 

    White Angel Broadline, San Francisco, 1932 by Dorothea Lange

    Lange juga mengabadikan realitas para pengungsi akibat krisis ekonomi melalui foto Ditched, Stalled and Stranded (1935). Karya ini menangkap momen yang menampilkan dua individu di dalam mobil. Ekspresi mereka mencerminkan kesulitan dan ketahanan, menggambarkan tantangan sosial-ekonomi pada era tersebut. Sosok pria memegang kemudi menatap langsung ke arah kamera, sementara wanita disampingnya menatap dengan ekspresi muram. Komposisi yang tajam dan detail interior sederhana mengisyaratkan akan keadaan sulit yang mereka hadapi. Lange, melalui foto ini menunjukkan pendekatan humanistiknya, dengan mengangkat perjuangan yang dialami oleh rakyat Amerika selama The Great Depression

    Ditched, Stalled, and Stranded, San Joaquin Valley, California, 1936 by Dorothea Lange

    Tak hanya berfokus pada kemiskinan ekonomi, Lange menangkap sejarah panjang ketidakadilan sosial di Amerika dalam fotonya Ex-Slave with a Long Memory (1937). Foto ini menampilkan seorang budak berusia lanjut dengan tatapan mata menyiratkan masa lalu kelam yang masih membekas dalam ingatannya. Dengan pendekatan humanis, Lange mengabadikan lebih dari sekedar potret manusia, ia juga menangkap narasi kehidupan yang terukir dalam ekspresi wajah subjeknya.

    Ex-Slave with a Long Memory, 1937,
    by Dorothea Lange

    Migrant Mother: Simbol Ketahanan dalam Kesulitan

    Salah satu karya paling iconic Lange adalah Migrant Mother yang diambil pada tahun 1936. Foto tersebut menampilkan seorang ibu bernama Florence Owens Thompson yang duduk dengan tatapan kosong, sementara anak-anaknya bersandar di bahunya. Gambar ini menjadi simbol dari perjuangan dan ketahanan kaum miskin selama The Great Depression. Foto ini merepresentasikan jutaan orang yang mengalami nasib serupa. 

    United States Government. Dorothea Lange’s “Migrant Mother”: Photographs in the Farm Security Administration Collection: An Overview. Prints and Photographs Reading Room. Library of Congress, United States Government.

    Publikasi foto Migrant Mother di surat kabar dan majalah berhasil menarik perhatian pemerintah dan masyarakat luas terhadap kondisi mengkhawatirkan buruh migran. Tak lama setelahnya, bantuan mulai berdatangan ke kamp pengungsi di Nipomo, California, di mana potret tersebut diambil. Ini merupakan bukti bagaimana sebuah potret mampu mengubah kebijakan dan membawa dampak sosial yang signifikan. 

    Dokumenter Japanese-American Internment  

    Saat perang dunia ke II meletus, Lange kembali mengangkat isu sosial dengan mendokumentasikan penahanan warga keturunan Jepang di kamp-kamp interniran Amerika Serikat. Ia mengabadikan kehidupan di kamp-kamp tersebut, termasuk kamp Manzanar atas izin War Relocation Authority (WRA). Foto-fotonya menggambarkan bagaimana ribuan warga Jepang-Amerika kehilangan rumah dan bisnis mereka, serta dipaksa hidup dalam kondisi yang tidak adil. 

    Namun, banyak foto-foto Lange yang saat itu disensor pemerintah karena dianggap terlalu menggambarkan penderitaan dan ketidakadilan yang dialami para tahanan. Setelah bertahun-tahun kemudian, dokumentasi ini diakui sebagai bukti penting dari pelanggaran hak asasi manusia selama perang.

    Pengaruh dalam Dunia Fotografi

    Setelah perang dunia II, Lange terus bekerja sebagai fotografer dokumenter. Ia ikut mendirikan majalah Aperture yang menjadi salah satu publikasi fotografi paling berpengaruh. Lange juga bekerja untuk berbagai proyek sosial, termasuk dokumentasi tentang kehidupan petani dan masyarakat adat di berbagai belahan dunia. 

    Di akhir hidupnya, Lange mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk kanker esofagus yang merenggut nyawanya pada 11 Oktober 1965 di San Francisco, California. Meski telah tiada, karya Lange tetap hidup sebagai warisan yang menginspirasi banyak fotografer, jurnalis, dan aktivis sosial. Foto-foto Lange bukan hanya berfungsi sebagai arsip sejarah, tetapi juga sebagai pengingat bahwa seni dapat menjadi alat yang kuat dalam menyuarakan ketidakadilan dan membawa perubahan sosial. Dalam dunia yang seringkali dihadapkan dengan berbagai ketimpangan sosial, bidikan lensa Dorothea Lange tetap relevan, mengajarkan kita untuk melihat lebih luas ke dalam realitas yang ada di sekitar. Lange membuktikan bahwa fotografi bukan hanya sekadar seni, tetapi juga sebuah bentuk perlawanan serta empati terhadap sesama.