Penulis: Nashwa Kayla

  • Muhammad Al Imran Ukir Sejarah di Debut Internasional, Raih Emas di Dubai

    Muhammad Al Imran Ukir Sejarah di Debut Internasional, Raih Emas di Dubai

    Malang, 16 Mei 2025— Atlet para bulu tangkis Indonesia, Muhammad Al Imran, mencetak prestasi gemilang. Ia meraih medali emas dalam debut internasionalnya di ajang 6th Fazza Dubai Para Badminton Internasional 2025. Bertanding di nomor tunggal putra klasifikasi SL3, Imran menaklukkan unggulan keempat dunia asal India, Umesh Vikram Kumar, dalam pertandingan tiga gim dengan skor 21-18, 19-21, dan 21-9.

    Prestasi ini terasa lebih istimewa karena Imran meraihnya hanya beberapa hari setelah berhasil lolos klasifikasi internasional SL3. “Alhamdulillah, saya bisa masuk Pelatnas dan langsung ikut kejuaraan internasional. “Alhamdulillah, saya bisa masuk Pelatnas dan langsung ikut kejuaraan internasional. Bersyukur diberi rezeki menjadi juara,” ujar Imran dalam keterangan tertulis yang diterima dari NPC Indonesia.

    Perjalanan karir Imran mulai mencuat sejak meraih emas pada ajang Jawa Barat 2022 di Bekasi. Ia kemudian memperkuat kontingen Jawa Barat pada Peparnas XVII/2024 di Solo dan berhasil membawa pulang tiga medali emas. Atas konsistensinya di level nasional, Imran dipanggil ke pelatnas dan langsung mendapat kepercayaan untuk tampil di ajang internasional di Dubai

    Menurut Ukun Rukaendi, Pelatih Nasional Bulu Tangkis, prestasi Imran sudah terlihat sejak tampil di Peparnas Solo. “Kami sudah memprediksi Imran punya potensi besar. “Ketika mendapat kesempatan debut, dia langsung membuktikannya dengan meraih emas. Ini membuat banyak negara peserta terkejut,” ujar Rukaendi seperti dikutip dari Antara News.

    Keberhasilan Al Imran menandai langkah awal proses pembinaan menuju atlet muda bersaing level dunia. Tim pelatih kini tengah mempersiapkan program jangka panjang agar imran dapat bersaing di Paraimpiade Los Angeles 2028.

    Kemenangan ini bukan hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Imran, tetapi juga menjadi harapan baru bagi masa depan para bulu tangkis Indonesia. Kombinasi dedikasi dan semangat juang Imran menjadi modal berharga untuk terus menghadirkan prestasi gemilang bagi Indonesia di dunia internasional

    Baca juga: Warriors Berada Di ujung Tanduk: Stephen Curry Alami Cedera

  • Ratusan Aktor Film Dunia Kecam Diamnya Industri Terhadap Tragedi di Gaza Jelang Festival Cannes

    Ratusan Aktor Film Dunia Kecam Diamnya Industri Terhadap Tragedi di Gaza Jelang Festival Cannes

    Malang, 13 Mei 2025— Lebih dari 350 tokoh industri film Internasional, termasuk Mark Ruffalo, Javier Bardem, dan Xavier Dolan, menandatangani surat teruka yang mengecam sikap diam industri film terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Harian Prancis Libération menerbitkan surat tersebut pada Senin (13/5), tepat sebelum pembukaan Festival Film Cannes ke-78.

    Dalam surat bertajuk “In Cannes, the horror in Gaza must not be silenced”, para penandatangan menyuarakan keprihatinan atas penderitaan warga sipil Palestina akibat serangan Israel dan mengkritik kurangnya respons dari komunitas budaya global. Mereka menyoroti kematian Fatima Hassouna, seorang jurnalis foto dan seniman Palestina berusia 25 tahun, yang tewas bersama sepuluh anggota keluarganya dalam serangan udara Israel di Gaza pada 16 April 2025. Film dokumenter tentang Hassouna, Put Your Soul on Your Hand and Walk, diumumkan akan diputar di Cannes melalui program ACID (Association du Cinéma Indépendant pour sa Diffusion)—sebuah asosiasi di Prancis yang mempromosikan dan mendistribusikan film-film independen, terutama karya sineas baru atau kurang dikenal—sehari sebelum kematiannya.

    Para penandatangan menyerukan agar dunia perfilman tidak menjadi “kelompok diam” terhadap kekerasan yang terjadi. Mereka juga mendesak penggunaan seni sebagai alat perlawanan dan pembelaan hak asasi manusia. Surat ini juga mengkritik Akademi Oscar karena tidak memberikan dukungan yang memadai kepada sutradara Palestina Hamdan Ballal, yang mengalami penahanan oleh pasukan Israel meskipun filmnya No Other Land berhasil memenangkan penghargaan Oscar.

    Festival Film Cannes 2025 resmi membuka rangkaian acaranya pada Selasa (13/5). Festival ini menampilkan berbagai film yang menyoroti isu-isu geopolitik, termasuk dokumenter tentang Ukraina. Para penyelenggara juga memberikan penghormatan kepada jurnalis Palestina yang gugur dan menyerukan agar dunia tidak mengabaikan tragedi kemanusiaan yang terjadi.

    Baca juga: Ratu Won Gyeong: Perempuan di Balik Berdirinya Tahta Joseon

  • Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

    Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

    MANUNGSA— Dunia yang berputar cepat dan penuh tuntutan kerap menganggap berhenti sejenak untuk merawat diri sebagai kelemahan, bahkan kemewahan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi “produkivitas” sebagai simbol nilai diri, self-care adalah tindakan yang egois. Padahal, self-care berarti memberi kita kesempatan untuk menjadi manusia sepenuhnya, bukan hanya orang yang terus bekerja.

    Self-Care Bukan Bentuk Egoisme

    Banyak yang masih menganggap bahwa perawatan diri (self-care) ada;ah tindakan egois, hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Namun, budaya produktivitas eksploitatif lah yang melahirkan asumsi ini—sebuah sistem yang hanya menganggap waktu, tenaga, dan tubuh manusia hanya bernilai ketika “berguna”.

    Audre Lorde, aktivis feminis kulit hitam, menantang konsep ini dengan menulis, “Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare” (Sister Outsider, 1988). Dengan kata lain, merawat diri adalah bentuk pertahanan terhadap sistem yang sering kali meniadakan nilai manusia di luar peran produktifnya.

    Sebuah studi yang diterbitkan oleh American Psychological Association (APA) bahkan menunjukkan bahwa tekanan untuk terus produktif dapat meningkatkan risiko burnout, depresi, dan isolasi sosial (APA, 2019). Oleh karena itu, memilih untuk beristirahat atau menetapkan batas waktu kerja tidak hanya penting secara pribadi, tetapi juga bentuk protes terhadap sistem kerja yang toxic.

    Budaya Toxic Productivity dan Ilusi Nilai Diri

    5 tanda toxic productivity

    Dunia kerja modern, khususnya di lingkungan urban dan digital, mengangkat kesibukan sebagai simbol prestise dan kompetensi. Semakin sibuk seseorang, semakin pula tinggi anggapan bahwa ia berharga. Namun, Dr. Devon Price psikolog sosial, meneyebut ini sebagai “produk dari kapitalisme yang mengondisikan kita untuk merasa bersalah jika tidak terus bekerja” (Price, 2021)

    Laporan Deloitte 2022 mengungkapkan bahwa milenial dan Gen Z kini menghadapi tingkat stres yang tinggi akibat tekanan untuk terus produktif, bahkan di luar jam kerja. Dalam hal ini, self-care bukan hanya pelepasaan sesaat, melainkan langkah menyelamatkan kesehatan mental jangka panjang.

    Aksi Self-Care yang Bisa Dilakukan

    Kita bisa memulai praktik self-care dari hal-hal sederhana sehari-hari. Seperti menolak pekerjaan tambahan saat tubuh lelah, mengambil waktu tanpa gadget, hingga tidur yang cukup. Walau tampak sederhana, tindakan-tindakan ini menyampaikan pesan bahwa manusia bukan mesin.

    Berbagai macam self-care

    Lebih jauh, ketika individu dalam satu komunitas saling mendukung praktik perawatan diri, dampaknya menjadi kolektif. Freelancer mengadvokasi kebijakan kerja fleksibel, sementara berbagai perusahaan mengampanyekan cuti haid dan kesehatan mental—keduanya merupakan contoh nyata bagaimana self-care menginspirasi perubahan struktural.

    Menyadari Hak Untuk Beristirahat

    Di tengah arus hustle culture yang membius, memilih untuk berhenti dan merawat diri bisa terasa seperti langkah mundur. Tetapi justru dalam diam dan istirahat itu, seseorang bisa memulihkan kesadarannya—bahwa hidup bukan tentang menjadi alat produksi tanpa henti.

    Merawat diri adalah pengingat bahwa kita manusia. Dan dalam dunia yang memuliakan kesibukan, menjaga kewarasan adalah tindakan paling berani.

    Baca juga: Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

    Referensi:

    • Audre Lorde. 1988. Sister Outsider: Essays and Speeches. Crossing Press.
    • American Psychological Association. 2019. Stress in America Report.
    • Dr. Devon Price. 2021. Laziness Does Not Exist. Simon & Schuster.
    • Deloitte. 2022. Deloitte’s Gen Z and Millennial Survey reveals two generations striving for balance and advocating for change.

  • Ratu Won Gyeong: Perempuan di Balik Berdirinya Tahta Joseon

    Ratu Won Gyeong: Perempuan di Balik Berdirinya Tahta Joseon

    Drama Korea The Queen Who Crowns (2025) menghidupkan kembali legenda Ratu Won Gyeong melalui penampilan memukau Cha Joo-Young, yang menggambarkannya sebagai sosok sentral cerdas dan penuh pengaruh dalam pembentukan Dinasti Joseon. Melalui narasi yang berfokus pada perspektifnya, drama ini mengangkat kisah perjuangan perempuan yang tidak hanya menjadi istri raja, tetapi juga arsitek kekuasaan yang membentuk masa depan kerajaan.

    Latar Belakang Ratu Won Gyeong

    Ratu Won Gyeon (Lady Min) berasal dari klan Yeoheung Min, salah satu keluarga bangsawan terkemuka yang mendominasi percaturan politik akhir masa Goryeo. Sebagai putri Min Je, seorang pejabat negara yang menguasai strategi pemerintahan dan menganut filsafat Neo-Konfusianisme—ia mewarisi kecerdasan politik ayahnya. Filsafat inilah yang kelak menjadi landasan ideologis Dinasti Joseon.

    Lahir di tengah ketidakstabilan politik Goryeo, Lady Min tumbuh dalam lingkungan aristokratik yang mengutamakan pendidikan tinggi dan pengaruh istana. Sejak muda, ia menunjukkan kecerdasan dan kemampuan memahami dinamika politik yang rumit. Dua kemampuan penting yang kelak menjadi ciri khasnya sebagai Ratu. Min Je membekali putrinya dengan pendidikan mendalam dalam sastra klasik, sejarah, dan ajaran Konfusianisme, sehingga Ratu Won Gyeong tidak hanya tumbuh sebagai perempuan istana yang anggun, tetapi juga berkembang menjadi politisi yang cakap.

    Strategi Kekuasaan Ratu Won Gyeong

    Pertemuan dengan Yi Bang Won, anak raja Taejo, yang mendirikan Dinasti Joseon, menandai babak baru dalam kehidupannya. Keduanya menikah dengan tujuan membentuk aliansi politik, tetapi hubungan itu berkembang menjadi partner yang strategis. Won Gyeong tidak hanya mendampingi suaminya, ia juga membentuk pijakan ideologis dan politik yang menopang ideologi mereka.

    Raja Taejong dan Ratu Won Gyeong dalam Drama The Queen Who Crowns
    Source: ssmedia.my.id

    Transisi dari Goryeo ke Joseon membuka peluang sekaligus tantangan. Saat konflik suksesi meletus di antara para putra Raja Taejo, Won Gyeong memilih untuk berdiri di sisi Yi Bang Won. Ia menyusun strategi kudeta yang berujung pada Peristiwa Putra Mahkota Kedua—salah satu episode paling berdarah dalam sejarah istana Joseon.

    Dalam konflik tersebut, Won Gyeong memainkan peran krusial. Ia memantau aliansi, menilai loyalitas pejabat, dan mengelola intrik yang muncul. Meski tindakan-tindakannya jarang terdokumentasi secara eksplisit, pengaruhnya terasa jelas. Setelah kudeta berhasil, Yi Bang Won dinobatkan sebagai Raja Taejong, dan Won Gyeong menjadi Ratu.

    Ratu dan Ibu yang Bijak

    Transisi menuju peran sebagai ratu bukan berarti perjuannya telah berakhir. Istana baru, membawa dinamika baru. Meski banyak ratu hanya berfungsi sebagai simbol belaka, Won Gyeong menegaskan kekuasaannya dengan otoritasnya di Istana. Di tengah ancaman politik dari selir-selir muda yang dijadikan alat politik suaminya, ia dengan cerdik mempertahankan otoritas dan pengaruhnya di istana.

    Alih-alih melawan secara personal dan terbuka, Won Gyeong memilih jalur diplomasi. Dengan kepala tegak, ia mempertahankan martabat kerajaannya sembari merancang masa depan anak-anaknya—terutama Yi Do, yang kelak akan mengukir sejarah sebagai Sejong The Great . Ia tak hanya menjadi ibu dari raja, ia adalah pembentuk karakter dan visi sang putra.

    Dengan strategi halus dan cerdik, Ratu Won Gyeon berhasil meredam konflik istana tanpa mempermalukan siapapun. Gaya kepemimpinannya yang lembut tapi tetap efektif, mengajarkan bahwa stabilitas bisa dicapai bukan dengan dominasi, melainkan dengan kebijakan.

    Interpretasi Perempuan dalam Dunia Modern

    Sayangnya, sejarah resmi Dinasti Joseon jarang menuliskan peran perempuan secara adil. Para sejarawan sering menyebut Won Gyeong hanya sebagai istri atau ibu. Namun, pengaruhnya turut menjaga stabilitas istana dan mendukung kesinambungan kekuasaan kerajaan.

    Budaya populer, seperti drama sejarah The Queen Who Crowns, menginterpretasikan ulang sosok Ratu Won Gyeong dan mengangkatnya kembali ke permukaan. Drama ini menggambarkannya sebagai perempuan kuat yang turut menentukan setiap keputusan penting. Hal tersebut memberikan ruang bagi penonton untuk memahami bahwa di balik suksesnya Raja Taejong dan Raja Sejong, berdiri sosok ibu dan istri yang berperan penting.

    Ratu Won Gyeong membuktikan bahwa perempuan mampu memainkan peran penting di tengah dunia yang didominasi laki-laki, bahkan dalam sistem sepatriarkal zaman Joseon sekalipun. Ia adalah lambang ketahanan, diplomasi, dan kekuatan intelektual.

    Baca juga: Kalis Mardiasih Bahas Pendidikan Perempuan hingga Ketimpangan Gender dalam Diskusi Ruang Gagasan

    Referensi:

    • The Queen Who Crowns. 2025. TvN.
    • Forbes. 2025. ‘The Queen Who Crowns’ Refuses To Be Her King’s Subject.

  • Asap Konklaf Berwarna Putih, Kardinal Roberts Francis Prevost, Paus Baru Terpilih

    Asap Konklaf Berwarna Putih, Kardinal Roberts Francis Prevost, Paus Baru Terpilih

    Malang, 9 Mei 2025— Asap putih mengepul dari cerobong Kapel Sistina pada Kamis sore, menandai terpilihnya Paus baru oleh para kardinal Gereja Katolik dalam Konklaf 2025. Berdasarkan laporan Vatican News, Kardinal Roberts Francis Prevost, O.S.A., asal Amerika Serikat, telah terpilih sebagai Paus ke-267 dan mengambil nama Paus Leo XIV.

    Latar Belakang Paus Leo XIV

    Sebelum terpilih menjadi Paus, Prevost, memiliki rekam jejak panjang dalam pelayanan Gereja. Ia pernah menjabat sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup dan sebelumnya melayani sebagai Uskup Agung Chiclayo, Peru. Menurut laporan dari Time, dalam penampilan perdananya di balkon Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV menyampaikan salam dalam bahasa Italia yang berartikan May peace be with all of you.

    Orang Amerika Serikat pertama yang terpilih menjadi Paus dalam sejarah gereja Katolik.
    Source: msn.com

    Robert Prevost lahir di Chicago, Illinois, dan bergabung dengan Ordo Santo Agustinus pada 1977. Ia menerima tahbisan imam pada 1982 dan mengabdikan sebagian besar hidupnya sebagai misionaris serta memimpin ordo di Peru. Selain mengangkat Prevost menjadi kardinal pada 2023, Paus Fransiskus juga menyerahkan tanggung jawab kepadanya untuk memimpin Dikasteri yang mengatur penunjukkan uskup di seluruh dunia.

    Umat Katolik di seluruh dunia menyambut hangat terpilihnya Prevost sebagai Paus Leo XIV. Para pengamat memuji pengalaman pastoralnya dan menilai bahwa latar belakang internasionalnya memperkuat posisinya sebagai figur yang berpotensi meneruskan reformasi serta menguatkan semangat sinodalitas yang telah Paus Fransiskus gagas. Mereka juga menyoroti pendekatan dialogis yang selama ini Prevost tunjukkan dalam pelayanannya, baik di tingkat lokal maupun internasional. Mereka menilai kepiawaiannya menjembatani keberagaman budaya serta pengalamannya di Amerika Latin sebagai modal penting dalam memimpin Gereja global yang semakin plural dan kompleks.

    Baca juga: Micro-Activism In Action: Mengapa Suara Generasi Muda Seperti Melati dan Isabel Wijsen Penting dalam Perubahan Sosial?


    Referensi:

    • Vatican News. (2025). “Leo XIV is the new Pope.”
    • Vatican News. (2025). “Biography of Pope Leo XIV.”
    • Time. (2025). “Conclave Picks Robert Prevost, Who Will Be Pope Leo.”

  • Simu Liu sebagai Shang-Chi, Representasi Asia Pertama di Marvel Cinematic Universe

    Simu Liu sebagai Shang-Chi, Representasi Asia Pertama di Marvel Cinematic Universe

    MANUNGSA— Tak semua orang bisa menyebut dirinya sebagai akuntan, stuntman, bintang sitkom, dan superhero Marvel dalam satu kalimat. Simu Liu membuktikan bahwa jalan hidup tak bisa sepenuhnya lurus untuk mencapai puncak. Di balik ketenarannya sebagai Shang-Chi, ada kisah perjuangan seorang anak imigran yang mencari jati diri di tengah tekanan keluarga dan stereotip Hollywood.

    Tumbuh dalam Ekspektasi

    Simu Liu lahir di Harbin, Tiongkok, pada 1989. Ia berpindah ke Kanada pada usia lima tahun bersama kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai insinyur. Keluarga Liu membesarkannya di Mississauga, Ontario, dalam lingkungan yang menjunjung tinggi prestasi akademik, sehingga pressure yang mereka berikan sempat menciptakan jarak emosional antara Liu dan keluarganya.

    “Orang tua saya tidak pernah mengatakan ‘aku sayang kamu’ secara langsung,” ungkap Liu dalam wawancaranya dengan WBUR. “Mereka menunjukkan kasih sayang lewat makanan dan tekanan agar saya berhasil” (WBUR, 17 Mei 2022)

    Dalam memoarnya We Were Dreamers, Liu menggambarkan masa kecilnya sebagai pergulatan antara memnuhi ekspektasi atau mengejar kebahagiaan pribadi. Ia menyebut pernah merasa gagal sebagai anak karena tidak mampu memenuhi standar ekspektasi kesuksesan orang tuanya. Lebih jauh lagi, Liu menyadari bahwa ekspektasi tersebut menjadi sumber motivasi sekaligus keraguan. Oleh karena itu, hubungan dengan keluarganya menjadi tema penting dalam narasi hidupnya.

    Awal Karir Simu Liu

    Setelah lulus dari Western University dengan gelar di bidang bisnis dan akuntansi, Liu bekerja di salah satu firma akuntansi terbesar dunia. Akan tetapi, ia merasa tidak benar-benar enjoy dalam rutinitas kantoran. Dikutip dari Maclean’s 19 Agustus 2021, Simu Liu mengungkapkan bahwa ia dipecat dalam waktu kurang dari setahun bekerja. Momen itu walaupun menyakitkan, namun menjadi awal dari kebebasannya. Ia memilih mengejar karir di dunia entertainment, meski sama sekali tidak memiliki latar belakang dalam akting.

    Simu Liu dan pemeran sitkom Kim’s Convenience
    Source: ew.com

    Ia pun memulai perjuangannya dari bawah—mulai dari menjadi stuntman dan figuran, hingga akhirnya meraih peran sebagai Jung Kim dalam sitkom Kim’s Convenience (2016–2021), yang mengangkat kehidupan keluarga imigran Korea di Kanada. Serial itu bukan hanya populer, tetapi juga menjadi representasi penting bagi komunitas Asia di Amerika Utara.

    Shang Chi dan Mimpi Simu Liu

    Pada 2019, Liu mengejutkan fans Marvel ketika Marvel mengumumkannya sebagai pemeran utama dalam film Shang-Chi and The Legend of The Ten Rings (2021). Ia menjadi superhero Asia pertama dalam Marvel Cinematic Universe. Bahkan dalam salah satu tweetnya, Liu menuliskan, “Hey@Marvel, great job with Cpt America and Thor. Now how about an Asian American hero?,”
    Tweet iseng ini, dianggap menjadi manifestasi dan kini menjadi kenyataan.

    Simu Liu dalam perannya sebagai Shang Chi di Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings
    Source: rare-gallery.com

    “Saya tumbuh dengan menyukai superhero, tapi tidak pernah melihat yang seperti saya. Kini saya berdiri di sini, mengenakan kostum pahlawan,” kata Liu dalam konferensi pers Marvel (Variety, 25 Agustus 2021).

    Tak heran, film tersebut sukses besar dan membawa Liu menjadi sorotan global. Ia pun meraih penghargaan People’s Choice Awards dan menjadi ikon representasi Asia di Hollywood.

    Stereotip Asia

    Simu Liu juga aktif menyuarakan pentingnya representasi dan memerangi kebencian terhadap komunitas Asia.

    Saya ingin orang-orang tahu bahwa aksen yang mereka dengar dari orang tua kita bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan. Itu suara dari perjuangan dan keberanian,” ujar Liu saat diwawancarai oleh The Guardian (The Guardian, 4 Mei 2022).

    Melalui bukunya, wawancara, dan media sosial, Liu terus menjadi suara generasi baru Asia di diaspora. Secara konsisten, ia mendorong masyarakat untuk mencintai warisan budaya mereka sambil menantang batasan sosial yang sudah lama ada.

    Kini, Simu Liu tidak hanya dikenal sebagai bintang film. Ia adalah simbol harapan, terutama bagi anak-anak imigran yang tumbuh dengan keraguan dan tekanan. Di tengah tantangan identitas dan budaya, Liu menunjukkan bahwa keberhasilan tidak harus sesuai jalur orang tua atau norma industri.

    Baca juga: Sisi Lain K.H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah yang Penuh Kasih

    Referensi:

    • Simu Liu: ‘I Grew Up Ashamed to Be Asian. Now I’m Proud. The Guardian, 4 Mei 2022.
    • Liu, Simu. We Were Dreamers: An Immigrant Superhero Origin Story. HarperCollins, 2022.
    • Simu Liu Talks Shang-Chi, Stereotypes and Superhero Pressure. Time, 10 Mei 2022.
    • Simu Liu on Life Before Marvel: I Was Laid Off From Deloitte. Maclean’s, 20 Juli 2021.
    • Shang-Chi Star Simu Liu on Becoming a Marvel Superhero.Variety, 25 Agustus 2021.
  • Sisi Lain K.H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah yang Penuh Kasih

    Sisi Lain K.H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah yang Penuh Kasih

    MANUNGSA— Di balik nama besar Muhammadiyah, ada sosok manusia yang rendah hati dan mencintai ilmu. Lebih dari sekedar tokoh pembaru Islam, Ahmad Dahlan ternyata juga merupakan pribadi yang mampu menyentuh hati mereka yang mengenalnya

    Kehidupan Awal K.H Ahmad Dahlan

    Lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis pada 1 Agustus 1868. Ayahnya, K.H. Abu Bakar adalah khatib Masjid Gedhe Kauman serta ibunya berasal dari keturunan ulama. Lingkungan rumahnya kental dengan suasana keislaman. Suara lantunan ayat, pengajian, dan obrolan tentang kitab-kitab klasik adalah bagian dari hari-harinya.

    Pada usia 8 tahun, ia mampu menghafal Al-Qur’an dan dikenal tekun belajar. Sejak kecil, ia tumbuh tidak jauh dari lingkungan masjid, tempat ia belajar bukan hanya ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai kepemimpinan dan kejujuran (Suryanegara, 2013). Namun Darwis tidak tumbuh menjadi anak yang pendiam atau kaku. Ia justru aktif bermain bersama teman-temannya. Sepak bola dan Petak umpet menjadi favoritnya, tanpa pernah melupkaan shalat tepat waktu atau mengaji di rumah. Dari kecil, ia menunjukkan sifat yang disiplin dan memiliki rasa ingin tahu tinggi.

    Pendidikan

    Pada usia 15 tahun, K.H. Ahmad Dahlan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus belajar. Lima tahun dihabiskan di sana, ia tidak hanya belajar fiqih dan tafsir, tetapi juga menyerap gagasan pembaruan Islam dari pemikiran baru dari tokoh-tokoh Islam modern seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Di tanah suci, ia menyaksikan Islam yang rasional, dinamis, dan berpihak pada kemajuan.

    Saat kembali ke tanah air, Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Nama baru itu mencerminkan identitas spiritual dan intelektual yang baru. Menolak menjadi ulama yang terpisah dari masyarakat, Ahmad Dahlan konsisten memilih pendekatan merakyat. Ia tak segan mengajar anak-anak kecil, rutin berdiskusi dengan para pemuda, bahkan rela membuka sekolah sederhana dari rumahnya sendiri. Kehidupan pribadinya sehari-hari pun mencerminkan nilai-nilai yang ia ajarkan.

    Karakter dan Kebiasaan Sehari-hari

    Sebagai pribadi, K.H. Ahmad Dahlan sangat membumi. Ia berdagang kain sendiri ke pasar setiap pagi untuk menghidupi keluarganya. Sebuah pekerjaan yang memberinya ruang untuk tetap dekat dengan masyarakat. Kepada siapapun ia mudah tersenyum. Ia menyapa tetangga, menyempatkan diri bermain biola di sela-sela mengajar. Santri mengenalnya sebagai kiai yang lebih suka memberi contoh dan bercerita.

    K.H. Ahmad Dahlan bangun pagi, melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an, lalu mengajar, berdagang, atau melakukan aktivitas sosial. “Beliau itu tidak pernah bersikap berlebihan, baik dalam berpakaian, makan, maupaun berbicara,” ujar K.H. Syamsul Anwar, sejarawan Muhammadiyah, dalam wawancara dengan Suara Muhammadiyah (2020). Meski menjadi tokoh penting, Ahmad Dahlan tidak menjaga jarak dengan masyarakat. Ia sering duduk lesehan bersama pedagang pasar, mendengarkan keluh kesah, bahkan ikut membantu memikul barang dagangan. Baginya, menjadi pemimpin berarti dekat dengan yang dipimpin.

    Anekdot, Mengajarkan Agama Lewat Musik

    Salah satu kisah menarik tentang sosoknya terjadi saat ia ditanya olehg muridnya tentang makna agama. Alih-alih menjawab panjang lebar, ia mengambil biola dan memainkan lagu lembut. Setelah usai, ia bertanya kepada murid-muridnya “Apa yang kalian rasakan?” Para murid menjawab: tentram, sejuk, damai. Llau ia berkata “Begitulah agama. Menghadrkan ketentraman dalam jiwa.” (Sang Pencerah, Film, 2010). Pendekatan ini menunjukkan bagaimana kecerdikan Ahmad Dahlan dalam memahami agama. Bukan hanya sebagai dogma, melainkan sebagai pegalaman batin yang meneduhkan.

    Relasi Sosial

    Salah satu titik balik penting dalam perjalanan dakwah Ahmad Dahlan adalah ketika ia menikah dengan Nyai Siti Walidah, (kelak dikenal sebagai tokoh ‘Aisyiyah). Ia memperlakukan istrinya dengan penuh hormat dan mempercayainya sebagai mitra perjuangan. Bahkan, ia memberi ruang besar pada Nyai Dahlan untuk mendidik kaum perempuan, hal yang saat itu masih dianggap tabu.

    Kepada anak-anaknya, ia menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan tidak takut berbeda. Di rumah, ia lebih sering mendengarkan dan berdialog daripada memberi perintah. Prinsip hidupnya sederhana, hidup untuk memberi manfaat. Ia lebih sering menjadi sahabat daripada hanya sekadar orang tua.

    Keteladanan K.H Ahmad Dahlan

    K.H. Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923 pada usia 54 tahun. Tapi nilai-nilainya tidak ikut mati. Tak berhenti di sana, kesederhanaannya, keberaniannya berpikir berbeda, ketulusannya dalam berdakwah, dan kasih sayangnya kepada sesama—semuanya masih terus hidup sampai sekarang, diwariskan melalui ribuan sekolah, rumah sakit, dan gerakan sosial Muhammadiyah.

    Bukan hanya pendiri organisasi, Kiai Dahlan adalah teladan kemanusiaan. Ia membuktikan bahwa Islam bukan sekadar doktrin, tapi harus hadir dalam tindakan nyata yang membebaskan, menyayangi, dan mencerdaskan.

    Baca juga: Siapa Edward de Bono? Inilah Tokoh di Balik Lateral Thinking dan Pengaruhnya terhadap Cara Berpikir di Dunia Modern

    Referensi:

    • Nasir, H. (2010). Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
    • Suryanegara, A.H. (2013). Api Sejarah 1. Bandung: Salamadani.
    • Sang Pencerah. (2010). Film, disutradarai oleh Hanung Bramantyo.
    • “Tokoh Inspiratif: KH Ahmad Dahlan.” Suara Muhammadiyah, 2020.

  • Siapa Edward de Bono? Inilah Tokoh di Balik Lateral Thinking dan Pengaruhnya terhadap Cara Berpikir di Dunia Modern

    Siapa Edward de Bono? Inilah Tokoh di Balik Lateral Thinking dan Pengaruhnya terhadap Cara Berpikir di Dunia Modern

    MANUNGSA— Nama Edward de Bono mungkin tidak setenar tokoh teknologi atau ilmuwan populer lainnya, namun gagasan-gagasannya telah mengubah cara jutaan orang di dunia berpikir dan mengambil keputusan. Tapi siapa sebenarnya pria di balik konsep lateral thinking ini?

    Lahir di Malta pada 19 Mei 1933, Edward Charles Francis Publius de Bono tumbuh di lingkugan yang sederhana, jauh dari pusat-pusat pemikiran dunia. Namun sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan luar biasa pada bagaimana berpikir dan bertindak. Namun, sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan luar biasa pada bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Ayahnya seorang dokter, sementara ibunya seorang jurnalis , dua profesi yang mempertemukannya dengan logika dan empati sejak dini.

    Malta, yang kala itu masih menjadi wilayah kecil di bawah bayang-bayang kekuatan besar Eropa, bukan tempat yang sering melahirkan pemikir dunia. Tapi de Bono membuktikan bahwa keterbatasan geografis tidak membatasi kekuatan gagasan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Oxford University dengan beasiswa Rhodes—sebuah pencapaian luar biasa. Di sana, ia menyelesaikan studi di bidang psikologi, fisiologi, dan kedokteran, kemudian mendapatkan gelar doktor di bidang filsafat. Tapi, alih-alih mengejar ketenaran akademis, ia memilih jalan yang lebih menantang: mengubah cara orang berpikir.

    Filosofi Berpikir Edward de Bono

    Edward de Bono tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi pintar, tapi bagaimana menjadi bijak. Ia merasa frustasi dengan cara berpikir tradisional yang kolot dan sering menimbulkan konflik. Menurutnya, banyak masalah di dunia yang muncul bukan karena kurangnya pengetahuan, tapi karena cara berpikir terbatas. Dari sinilah ia mencentuskan konsep lateral thinking—cara berpikir menyamping, bukan lurus. Tujuannya? Membantu orang menemukan solusi kreatif yang tidak terpikirkan sebelumnya.

    Konsep Lateral Thinking

    Konsep ini kemudian diterapkan di berbagai bidang, dari dunia pendidikan, bisnis, hingga pemerintahan. De Bono bahkan pernah diminta oleh PBB dan berbagai pemimpin negara untuk memberikan pelatihan berpikir kreatif dan penyelesaian konflik.

    Sisi Humanis Edward de Bono

    Edward de Bono mampu menarik perhatian karena sisi humanisnya yang kuat. Di tengah ketenerannya sebagai pakar berpikir, ia tetap percaya bahwa kekuatan terbesar bukan terletak di ruang kuliah kampus ternama, tapi di ruang kelas anak-anak sekolah. Ia kerap mengisi seminar untuk siswa SD dan SMP, membekali mereka dengan keterampilan berpikir sejak dini. Baginya, masa depan dunia tidak akan berubah jika kita terus mengajarkan apa yang harus dipikirkan, bukan “bagaimana” cara berpikir.

    Kontribusi Intelektual

    Edward de Bono wafat pada 9 Juni 2021 pada usianya yang menginjak 88 tahun. Ia pergi dengan mewariskan pemikirannya di ratusan buku, seminar, dan program latihan yang ia tinggalkan. Ia mungkin tidak membuat penemuan teknologi mutakhir, tapi ia memberi dunia sesuatu yang lebih mendasar, yaitu cara baru untuk memahami realitas, menyelesaikan konflik, dan menciptakan masa depan yang jauh lebih baik.

    Di era informasi seperti sekarang, ketika segala sesuatu serba cepat, mungkin kita butuh lebih banyak de Bono—untuk mengajarkan cara berpikir yang lebih jernih, lebih empatik, dan lebih manusiawi.

    Ingin tahu lebih banyak tentang pemikiran Edward de Bono?

    Coba baca bukunya yang paling terkenal, Lateral Thinking atau Six Thinking Hats.

    Baca juga: Gelar Puteri Indonesia 2025 di Raih Oleh Firsta Yufi Amarta Putri

  • Mengenal Kepribadian Oh Yi-Young di “Resident Playbook”

    Mengenal Kepribadian Oh Yi-Young di “Resident Playbook”

    MANUNGSA— Oh Yi-Young, yang diperankan oleh Go Youn-Jung, menjadi tokoh utama dalam drama medis Resident Playbook (spin-off dari Hospital Playlist). Sejak kemunculannya, ia menampilkan raut wajah yang dingin dan menunjukkan sikap terbuka, bahkan kerap bersikap blak-blakan.

    Menurut kreator drama ini, Shin Won-Ho menggambarkan Oh Yi-Young sebagai karakter yang berwajah kaku tanpa ekspresi. Di lingkungan RS Jongno Yulje tempat ia bertugas, sikap cuek Oh Yi-Young langsung mencuri perhatian tenaga pengajar dan rekan dokter. Dalam beberapa adegan awal, Oh Yi-Young menampakkan sikap acuh tak acuh yang langsung mengundang reaksi di antara senior dan profesor departemen obstetri.

    Kepribadian Oh Yi-Young dalam Resident Playbook

    Keunikan Oh Yi-Young terletak pada sikapnya yang polos dan tanpa basa-basi. Ia selalu berlaku jujur dalam situasi apa pun dan sering menyampaikan pendapatnya secara lugas. Sebagai contoh, ketika duduk di pertemuan karyawan, ia pernah tegas menolak ajakan duduk bersama profesor dengan alasan ia sedang bersama seseorang yang ia sukai. Sikap kaku dan terbuka semacam ini memang menajdi ciri khasnya. Pandangan ini membuat setiap gerakan kecil di wajahnya tampak berakna. Shin Won-Ho mengakui bahwa ekspresi tanpa emosi adalah kelebihan Go Youn-Jung, sehingga sedikit ekspresi saja langsung menuampaikan emosi yang kuat pada penonton.

    Awal yang Sulit dan Character Development

    Awalnya, Oh-Yi-Young tidak memasuki dunia medis karena panggilan hati, melainkan terpaksa. Ia enggan menjalani residensi, namun terpaksa kembali ke rumah sakit untuk melunasi hutang-hutangnya. Tekanan pekerjaan dokter ternyata sangat berat. Tekanan beban kerja dan skema rumah sakit bahkan sempat membuatnya mempertimbangkan mundur. Kolega yang manipulatif membuatnya hampir menyerah. Dalam titik terendah itu, alarm gawat darurat (code blue) nyaris membuatnya lari, namun justru membuat Oh Yi-Young sadar untuk bertahan mengahadapi tantangan.

    Oh Yi-Young saat menghadapi situasi code blue

    Lambat laun, kepribadian Oh Yi-Young mulai berkembang. Ia belajar lebih banyak tentang empati dan tanggung jawab. Misalnya, dalam sat momen ia tak tega meninggalkan pasien yang kesakitan dan memilih untuk membantu memindahkan pasien tersebut. Pengalamannya dalam membantu proses persalinan pertama kali memberi dampak mendalam pada Yi-Young. Satu ucapan salah satu professornya, Seo Jung Min, menandai titik balik reputasinya yang berubah dari residen biasa menjadi talenta medis yang menjanjikan. Langkah-langkah kecil ini menunjukkan bagaimana kepribadian Oh Yi-Young yang terus tumbuh menjadi dokter bertanggung jawab.

    Pengaruh Lingkungan

    Lingkungan rumah sakit dan interasi dengan orang lain sangat membentuk kepribadian Oh Yi-Young. Sikap blak-blakannya sering menimbulkan ketegangan sekaligus humor saat berhadapan dengan profesor atau senornya. Misalnya saat seorang senior menyuruhnya tersenyum di bawah tekanan, ia justru menjelaskan pandangannya secara jujur, menimbulkan suasana serius sekaligus jenaka. Interaksi ini menegaskan kejujuran khas Oh Yi-young, apa adanya.

    Walau awalnya canggung dalam bersosialisasi, perlahan Oh Yi-Young mulai memenangkan hati rekan-rekannya. Seiring berjalannya waktu, ia perlahan bersahabat dengan mereka. Lewat pengalaman kerja bersama, ia belajar bekerja sama. Misalnya, ia memberanikan diri membantu senior melakukan suturasi di ruang bedah dan mendapat pujian karena kepiawaiannya. Kerjasama seperti ini mengikis citra dinginnya. Bahkan rivalitas sesama residen pun berujung pada persahabatan. Semua pengalaman ini menegaskan bahwa lingkungan kerja yang kompetitif mampu mendorong Oh Yi-Young untuk berkembang.

    Sisi Hangat Oh Yi-Young

    Di balik wajah beku Oh Yi-young, penonton dapat melihat sisi hangat dan rapuh yang membuatnya makin menarik. Meskipun di depan ia terlihat sinis, hati Oh Yi-young sebenarnya lembut. Ia menunjukkan belas kasih pada pasien; misalnya dengan sabar menenangkan pasien yang ketakutan menjalani operasi besar. Tenaga medis dan penonton merasakan bahwa di bawah sikap cueknya tersimpan hati baik. Orang-orang tidak mungkin tidak menyukai kejujuran dan kepeduliannya.

    Kejujurannya juga mewarnai kisah cintanya yang canggung. Saat jatuh hati pada senior Goo Do-won, ia berani mengekspresikan perhatian—seperti meraih tangan Do-won saat foto bersama—tanpa rasa malu. Kegagapan Oh Yi-Young dalam cinta justru menambah kehangatan karakternya. Go Youn-Jung berhasil menampilkan dualitas; Oh Yi-Young nerd dalam percintaan, namun jujur apa adanya.

    Oh Yi-Young dan Goo Do-Won

    Secara keseluruhan, Oh Yi-young tampil sebagai sosok kompleks yang tumbuh sepanjang cerita. Ciri cuek yang terlihat jelas di permukaan justru melengkapi kehangatan hatinya. Kombinasi ekspresi dingin dan kepedulian tulus ini membuat ia menjadi karakter yang berkesan.

    Baca juga: Micro-Activism In Action: Mengapa Suara Generasi Muda Seperti Melati dan Isabel Wijsen Penting dalam Perubahan Sosial?

  • Cerita Natalius Pigai, dari Aktivis Jalanan Ke Menteri HAM

    Cerita Natalius Pigai, dari Aktivis Jalanan Ke Menteri HAM

    MANUNGSA— Di tengah hiruk-pikuk dinamika nasional, nama Natalius Pigai mungkin bukanlah headline harian yang kerap menghiasi media besar.  Di sisi lain, bagai obor dalam gelap, terutama di Papua, nama ini sudah lama menjadi suara.

    Lahir di Paniai, Papua, 28 Juni 1975, Pigai tumbuh dalam lanskap sosial yang keras. Lebih dari itu, ketidakadilan bukan sekadar teori dalam buku-buku hukum, melainkan kenyataan yang menghampiri halaman rumah, sekolah, dan jalanan. Dari sanalah kesadaran serta bara perjuangan itu menyala.

    Perjuangan Awal Natalius Pigai

    Natalius Pigai memulai karirinya sejak muda. Ia bergabung dengan berbagai organisasi mahasiswa Papua di Yogyakarta. Pigai aktif dalam Yayasan Sejati dan Cindelaras, dua LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menjadi titik tolak langkah advokasi awalnya. Pada 1999, ia menuntaskan studinya di STPMD APMD Yogyakarta, kampus yang terkenal sebagai tempat lahirnya para aktivis akar rumput.

    Perjuangan Pigai tak berhenti di ruang kelas. Ia menerobos belantara birokrasi sebelum akhirnya dipilih menjadi Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017. Di lembaga itu, Pigai memimpin Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan. Dengan vokal, Pigai menyuarakan berbagai kasus HAM, mulai dari Papua, Aceh, hingga konflik agraria di Kalimantan dan NTB. Pigai memimpin langsung investigasi kasus penembakan empat siswa oleh aparat keamanan di Paniai (Desember 2014). Timnya membawa laporan ke sidang PBB, mengungkap fakta pelanggaran HAM berat yang terus terjadi di tanah kelahirannya.

    Dari Demonstrasi ke Regulasi

    Pigai bukan hanya bersuara dari luar lingkaran kekuasaan. Dari Komnas HAM, ia melangkah ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai menteri pada 2024.

    Lantas apa yang dilakukan Pigai? Ia justru semakin meningkatkan volume kritiknya melalui pidato-pidato. Pigai menolak pembungkaman atas nama stabilitas nasional, mendorong pengakuan atas pluralitas, serta sejarah luka bangsa. Salah satu kebijakan terkenalnya adalah inisiatif amnesti untuk narapidana lanjut usia dan korban kriminalisasi di Papua. Ia menyebutnya sebagai “rekonsiliasi kecil” untuk membuka ruang dialog.

    Suara Papua

    Meski menajabat di tingkat nasional, Pigai tidak pernah melupakan identitasnya. Ia kerap menyarakan bahwa tubuh dan pikirannya adalah representasi dari “orang-orang yang tak memiliki akses bicara.” Kepada UNPO (Unpresented Nations and Peoples Organization/Organisasi Bangsa Tak Terwakili), Pigai mengecam rasisme sebagai luka struktural bangsa yang terus dibiarkan membusuk.

    Melawan dengan Kekuasaan

    Natalius Pigai tidak mencari popularitas. Ia menulis buku, menghadiri forum internasional, dan tetap menjadi pembicara di diskusi komunitas. Di sela jadwalnya yang padat, ia menulis tentang nasionalisme Papua, keadilan transisi, dan perlindungan kelompok adat. Pigai membuka luka-luka lama bangsa. Ia percaya bahwa rekonsiliasi bukan lahir dari perintah, tapi dari pengakuan dan keberanian untuk mendengar.

    Dalam setiap langkah Pigai, ia mengingatkan kita bahwa keadilan bukanlah milik mereka yang bersuara paling keras, melainkan milik mereka yang tetap berdiri ketika tidak ada lagi yang peduli.

    Baca juga: Membesarkan Mimpi Meruntuhkan Stigma, Kisah Family Caregiver Anak Berkebutuhan Khusus