MANUNGSA— Di balik nama besar Muhammadiyah, ada sosok manusia yang rendah hati dan mencintai ilmu. Lebih dari sekedar tokoh pembaru Islam, Ahmad Dahlan ternyata juga merupakan pribadi yang mampu menyentuh hati mereka yang mengenalnya
Kehidupan Awal K.H Ahmad Dahlan
Lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis pada 1 Agustus 1868. Ayahnya, K.H. Abu Bakar adalah khatib Masjid Gedhe Kauman serta ibunya berasal dari keturunan ulama. Lingkungan rumahnya kental dengan suasana keislaman. Suara lantunan ayat, pengajian, dan obrolan tentang kitab-kitab klasik adalah bagian dari hari-harinya.
Pada usia 8 tahun, ia mampu menghafal Al-Qur’an dan dikenal tekun belajar. Sejak kecil, ia tumbuh tidak jauh dari lingkungan masjid, tempat ia belajar bukan hanya ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai kepemimpinan dan kejujuran (Suryanegara, 2013). Namun Darwis tidak tumbuh menjadi anak yang pendiam atau kaku. Ia justru aktif bermain bersama teman-temannya. Sepak bola dan Petak umpet menjadi favoritnya, tanpa pernah melupkaan shalat tepat waktu atau mengaji di rumah. Dari kecil, ia menunjukkan sifat yang disiplin dan memiliki rasa ingin tahu tinggi.
Pendidikan
Pada usia 15 tahun, K.H. Ahmad Dahlan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus belajar. Lima tahun dihabiskan di sana, ia tidak hanya belajar fiqih dan tafsir, tetapi juga menyerap gagasan pembaruan Islam dari pemikiran baru dari tokoh-tokoh Islam modern seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Di tanah suci, ia menyaksikan Islam yang rasional, dinamis, dan berpihak pada kemajuan.
Saat kembali ke tanah air, Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Nama baru itu mencerminkan identitas spiritual dan intelektual yang baru. Menolak menjadi ulama yang terpisah dari masyarakat, Ahmad Dahlan konsisten memilih pendekatan merakyat. Ia tak segan mengajar anak-anak kecil, rutin berdiskusi dengan para pemuda, bahkan rela membuka sekolah sederhana dari rumahnya sendiri. Kehidupan pribadinya sehari-hari pun mencerminkan nilai-nilai yang ia ajarkan.
Karakter dan Kebiasaan Sehari-hari
Sebagai pribadi, K.H. Ahmad Dahlan sangat membumi. Ia berdagang kain sendiri ke pasar setiap pagi untuk menghidupi keluarganya. Sebuah pekerjaan yang memberinya ruang untuk tetap dekat dengan masyarakat. Kepada siapapun ia mudah tersenyum. Ia menyapa tetangga, menyempatkan diri bermain biola di sela-sela mengajar. Santri mengenalnya sebagai kiai yang lebih suka memberi contoh dan bercerita.
K.H. Ahmad Dahlan bangun pagi, melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an, lalu mengajar, berdagang, atau melakukan aktivitas sosial. “Beliau itu tidak pernah bersikap berlebihan, baik dalam berpakaian, makan, maupaun berbicara,” ujar K.H. Syamsul Anwar, sejarawan Muhammadiyah, dalam wawancara dengan Suara Muhammadiyah (2020). Meski menjadi tokoh penting, Ahmad Dahlan tidak menjaga jarak dengan masyarakat. Ia sering duduk lesehan bersama pedagang pasar, mendengarkan keluh kesah, bahkan ikut membantu memikul barang dagangan. Baginya, menjadi pemimpin berarti dekat dengan yang dipimpin.
Anekdot, Mengajarkan Agama Lewat Musik
Salah satu kisah menarik tentang sosoknya terjadi saat ia ditanya olehg muridnya tentang makna agama. Alih-alih menjawab panjang lebar, ia mengambil biola dan memainkan lagu lembut. Setelah usai, ia bertanya kepada murid-muridnya “Apa yang kalian rasakan?” Para murid menjawab: tentram, sejuk, damai. Llau ia berkata “Begitulah agama. Menghadrkan ketentraman dalam jiwa.” (Sang Pencerah, Film, 2010). Pendekatan ini menunjukkan bagaimana kecerdikan Ahmad Dahlan dalam memahami agama. Bukan hanya sebagai dogma, melainkan sebagai pegalaman batin yang meneduhkan.
Relasi Sosial
Salah satu titik balik penting dalam perjalanan dakwah Ahmad Dahlan adalah ketika ia menikah dengan Nyai Siti Walidah, (kelak dikenal sebagai tokoh ‘Aisyiyah). Ia memperlakukan istrinya dengan penuh hormat dan mempercayainya sebagai mitra perjuangan. Bahkan, ia memberi ruang besar pada Nyai Dahlan untuk mendidik kaum perempuan, hal yang saat itu masih dianggap tabu.
Kepada anak-anaknya, ia menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan tidak takut berbeda. Di rumah, ia lebih sering mendengarkan dan berdialog daripada memberi perintah. Prinsip hidupnya sederhana, hidup untuk memberi manfaat. Ia lebih sering menjadi sahabat daripada hanya sekadar orang tua.
Keteladanan K.H Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923 pada usia 54 tahun. Tapi nilai-nilainya tidak ikut mati. Tak berhenti di sana, kesederhanaannya, keberaniannya berpikir berbeda, ketulusannya dalam berdakwah, dan kasih sayangnya kepada sesama—semuanya masih terus hidup sampai sekarang, diwariskan melalui ribuan sekolah, rumah sakit, dan gerakan sosial Muhammadiyah.
Bukan hanya pendiri organisasi, Kiai Dahlan adalah teladan kemanusiaan. Ia membuktikan bahwa Islam bukan sekadar doktrin, tapi harus hadir dalam tindakan nyata yang membebaskan, menyayangi, dan mencerdaskan.
Baca juga: Siapa Edward de Bono? Inilah Tokoh di Balik Lateral Thinking dan Pengaruhnya terhadap Cara Berpikir di Dunia Modern
Referensi:
- Nasir, H. (2010). Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
- Suryanegara, A.H. (2013). Api Sejarah 1. Bandung: Salamadani.
- Sang Pencerah. (2010). Film, disutradarai oleh Hanung Bramantyo.
- “Tokoh Inspiratif: KH Ahmad Dahlan.” Suara Muhammadiyah, 2020.