Penulis: Nashwa Kayla

  • Fenomena Female Breadwinners di Indonesia

    Apa itu Female Breadwinners? Yuk bahas data dan tantangannya

  • Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan terbesar Indonesia abad ke-20

    Lewat tulisan, ia melawan ketidakadilan dan membela yang terpinggirkan. Simak perjalanan hidup dan karya-karyanya.

  • Perjalanan Kreatif Gina S. Noer, Perempuan di Balik Skenario Film Indonesia

    Perjalanan Kreatif Gina S. Noer, Perempuan di Balik Skenario Film Indonesia

    MANUNGSA— Gina S. Noer tumbuh menjadi salah satu penulis dan sutradara yang disegani di industri film Indonesia. Bukan sekadar menulis, ia membawa isu-isu sosial ke tengah percakapan publik melalui film. Siapa sangka, kegemarannya menonton film di masa remaja akan membawanya ke panggung-panggung festival bergengsi.

    Dari Hobi hingga Karir

    Lahir di Balikpapan pada 24 Agustus 1985, Ratna Ginatri S. Noer atau lebih dikenal sebagai Gina S. Noer, memulai perjalanannya di dunia perfilman daari kecintaannya terhadap menonton film. Ketertarikannya ini membawanya membentuk klub film dan memproduksi film pendek. Kemudian, ia memperlihatkannya kepada penulis skenario senior, Salman Aristo, yang kini menjadi suaminya. Melalui interaksi ini, Gina mulai terlibat dalam komunitas penulis skenario dan memenangkan lomba penulisan skenario pada 2004, yang kemudian membuka jalan baginya ke industri film Indonesia.

    Gina memulai karirnya sebagai penulis skenario dengan karya pertamanya untuk film “Foto, Kotak, dan Jendela” pada tahun 2006. Sejak saat itu, ia telah menulis skenario untuk berbagai film populer seperti “Ayat-Ayat Cinta” (2008), “Perempuan Berkalung Sorban” (2009), “Habibie & Ainun” (2012), dan “Keluarga Cemara” (2019). Pada 2019, Gina melakukan debut penyutradaraannya melalui film “Dua Garis Biru”, yang mendapat sambutan hangat dari penonton.

    Penghargaan Karya Gina S. Noer

    Karya-karya Gina tidak hanya sukses secara komersil tetapi juga mendapat pengakuan di berbagai ajang penghargaan. Pada Festival Film Indonesia 2019, ia mencentak sejarah dengan memenangkan dua Piala Citra. Penulis Skenario Asli Terbaik untuk “Dua Garis Biru” dan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik untuk “Keluarga Cemara”. Prestasi ini menjadikannya sebagai orang pertama yang meraih dua penghargaan dalam satu tahun yang sama.

    Isu Sosial dan Ekosistem yang Dibangun

    Gina menyutradarai film “Like & Share” (2022) yang mengangkat tema kekerasan seksual dan pornografi di kalangan remaja, serta pentingnya pendidikan seks yang tepat. Sebagai sineas, ia peka terhadap isu-isu sosial, khususnya yang berkaitan dengan remaja dan perempuan. Tidak hanya memutar filmnya di bioskop Indonesia, Gina juga menayangkannya di berbagai festival film internasional, termasuk International Film Festival Rotterdam dan Osaka Asian Film Festival. Di mana film ini memenangkan Grand Prix.

    Bersama suaminya, Gina mendirikan Wahana Kreator Nusantara. Sebuah perusahaan yang fokus pada pengembangan konten kreatif dan pelatihan bagi para penulis dan sineas muda. Melalui Wahana Kreator, Gina telah membantu melahirkan berbagai karya orisinil dan memberikan pelatihan kepada lebih dari seribu peserta, memperkuat ekosistem perfilman Indonesia.

    Perjalanan Gina S. Noer dari seorang penikmat film menjadi salah satu sineas terkemuka di Indonesia menunjukkan dedikasi dan komitmennya terhadap dunia perfilman. Dengan karya-karya yang menggugah dan kepeduliannya terhadap isu sosial, Gina terus memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk wajah perfilman Indonesia yang lebih inklusif dan sadar akan realitas sosial.

    Baca juga: Menyelami Dunia Sastra dan Jurnalisme Leila S. Chudori

    Referensi:

    • Kincir. 2022. Profil Gina S. Noer, Penulis dan Sutradara Like & Share
    • IDN Times. 2021. IWF 2021: Cerita Gina S. Noer Jadi Penulis Skenario Film
    • Kompas. 2019. Film “Dua Garis Biru” Jadi Debut Gina S Noer sebagai Sutradara
  • Nicole Kidman Desak Industri Film Tulis Peran Lebih Baik untuk Perempuan di Cannes 2025

    Nicole Kidman Desak Industri Film Tulis Peran Lebih Baik untuk Perempuan di Cannes 2025

    20, Mei 2025– Aktris pemenang Oscar, Nicole Kidman menggunakan panggung Women in Motion Awards di Festival Cannes 2025 untuk menyerukan perubahan signifikan di Industri perfilman. Dalam pidatonta, Kidman menyampaikan keprihatinan terhadap masih terbatasnya peran mendalam bagi perempuan, khususnya mereka yang berusia di atas 40 tahun.

    Dikutip dari Vanity Fair, Kidman menyerukan bahwa “Kita perlu memberikan perempuan peran yang lebih baik, jadi tolong, tulislah mereka,” dalam acara penghargaan yang diselenggarakan oleh Kering Group pada Senin waktu setempat.

    Seruan ini datang di tengah meningkatnya sorotan terhadap kesenjangan gender dalam perfilman global. Meskipun kesadaran akan pentingnya representasi perempuan telah tumbuh, statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah sutradara perempuan dalam film-film box office masih sangat lambat. Sebagai contoh, Kidman mengutip data yang menunjukkan hanya 4% film box office tahun 2017 memiliki sutradara perempuan. Angka ini memang meningkat, tetapi pada 2024 baru mencapai 13%.

    Pengaruh Nicole Kidman

    Lebih lanjut, Kidman mengingatkan bahwa aktris senior seperti dirinya dan Julianne Moore masih memiliki fans loyal dan daya tarik box office yang kuat. Namun, industri film hanya menawarkan peran terbatas kepada mereka. Sejak 2017, ia telah berkomitmen secara publik untuk bekerja dengan setidaknya satu sutradara perempuan setiap 18 bulan. Namun, hingga kini, ia bahkan telah bekerja sama dengan lebih dari 27 perempuan pembuat film, melampaui target awalnya. Meski demikian, perubahan yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. Di tengah perhatian global terhadap kesetaraan gender, kreator perempuan masih sering menghadapi tantangan struktural.

    Di sisi lain, Kering Group meluncurkan program Women in Motion pada 2015, dan program ini telah menjadi salah satu forum penting dalam mengangkat isu ini. Selama sepuluh tahun terakhir, penghargaan ini telah mengapresiasi tokoh-tokoh perempuan berpengaruh dalam dunia sinema, termasuk Susan Sarandon, Salma Hayek, dan Jane Fonda. Kini, mereka memberikan penghargaan kepada Kidman atas komitmennya terhadap pemberdayaan perempuan di industri film.

    Dengan suara bergetar, Kidman mengakhiri pidatonya dengan ajakan kepada para penulis dan kreator untuk mulai menulis karakter perempuan yang lebih kompleks.

    Baca juga: Ratusan Aktor Film Dunia Kecam Diamnya Industri Terhadap Tragedi di Gaza Jelang Festival Cannes

    Referensi:

    • Vanity Fair. 2025. Nicole Kidman Calls for Change in Cannes: ‘We Need to Give Women Better Roles…So Please Write Them’
    • news.com.au. 2025. Nicole Kidman opens up about career and her big public pledge during candid chat in Cannes
    • NDTV. 2025. Nicole Kidman To Receive Women In Motion Award At Cannes Film Festival
  • Menyelami Dunia Sastra dan Jurnalisme Leila S. Chudori

    Menyelami Dunia Sastra dan Jurnalisme Leila S. Chudori

    MANUNGSA— Leila S. Chudori dikenal sebagai salah satu penulis dan jurnalis paling berpengaruh di Indonesia. Melalui karya-karyanya, ia tak hanya merekam sejarah dan realitas sosial-politik, tetapi juga menginspirasi generasi penulis muda dengan keberaniannya mengangkat isu-isu penting.

    Pendidikan Leila S. Chudori

    Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta pada 12 Desember 1962. Sejak muda, bakat menulisnya telah terlihat jelas. Cerpen pertamanya berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang”, dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung ketika ia berumur 11 tahun. Selain itu, Leila mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific di Kanada, kemudian menempuh studi Ilmu Politik dan Studi Pembangunan Perbandingan di Universitas Trent. Setelah lulus pada 1988, ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan majalah Tempo sebagai wartawan.

    Karir dan Karya

    Leila secara berani mengangkat tema-tema sensitif dalam karya-karyanya, mulai dari politik hingga dinamika sosial Indonesia. Tidak hanya menerjemahkan kumpulan cerpen “Malam Terakhir” (1989) ke dalam bahasa Jerman (Die Letzte Nacht), ia juga meraih kesuksesan dengan novel pertamanya, “Pulang” (2012). Novel ini menceritakan pengalaman pengasingan politik di Paris dan berhasil memenangkan Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2013.

    Selain itu, “Laut Bercerita” (2017), karya terbarunya, mendapatkan penghargaan S.E.A. Write Award pada tahun 2020. Keberhasilan ini menandai posisi Laila sebagai penulis yang tidak hanya diapresiasi di Indonesia, tetapi juga di tingkat internasional.

    Leila S. Chudori dalam Dunia Jurnalistik dan Perfilman

    Di dunia jurnalistik, Leila telah mewawancarai tokoh-tokoh penting dunia, seperti Nelson Mandela, Yasser Arafat, dan Cory Aquino. Berkat pengalaman tersebut, perspektifnya kian kaya, yang kemudian tercermin dalam karya-karyanya, baik jurnalistik maupun fiksi.

    Selain menulis, Leila juga aktif dalam dunia perfilman dan televisi. Ia menulis naskah drama televisi “Dunia Tanpa Koma” (2006), yang memenangkan penghargaan serial Televisi Terbaik di Bandung Film Festival 2007. Naskah film pendek Drupadi (2009), yang merupakan interpretasi epik Mahabharata, juga menjadi bagian dari karya-karya kreatifnya.

    Leila S. Chudori merupakan ibu dari penulis Rain Chudori. Bersama putrinya, ia mendirikan Peron House, sebuah penerbit yang berfokus pada karya sastra Indonesia dan internasional. Melalui penerbitan ini, mereka berupaya memperluas jangkauan karya-karya sastra Indonesia ke dunia internasional, sekaligus memupuk talenta penulis baru.

    Melalui perjalanan dan dedikasinya, Leila S. Chudori telah membuktikan bahwa sastra dan jurnalistik dapat menjadi media kuat untuk merekam dan memahami kompleksitas kehidupan sosial-politik Indonesia.

    Baca juga: Menjadi Rory Gilmore, Gigih Belajar ditengah Banyaknya Distraksi

    Referensi:

    • Telkomsel. 2024. Mengenal Laila S. Chudori: Biodata dan Buku-Bukunya.
    • Badan Bahasa Kemendikbud. 2022. Laila S. Chudori
    • Goodreads. 2017. Leila S. Chudori (Author of Laut Bercerita)

  • Menjadi Rory Gilmore, Gigih Belajar ditengah Banyaknya Distraksi

    Menjadi Rory Gilmore, Gigih Belajar ditengah Banyaknya Distraksi

    Rory Gilmore sebagai Cermin Realita

    Rory Gilmore dalam serial Gilmore Girls

    Romanticizing Rory Gilmore

    Playlist Spotify “studying like rory gilmore”

    Namun, kita harus menekankan bahwa semangat belajar Rory bukan sekadar romantisasi perjuangan. Ia menunjukkan bahwa kerja keras tidak instan dan hasilnya pun tidak selalu sesuai harapan. Meski akhirnya berhasil masuk Yale, Rory menghadapi berbagai tantangan akademik dan pribadi sepanjang perjalanannya. Ia pernah stres, gagal dalam ujian, bahkan memutuskan cuti kuliah sejenak karena krisis identitas. Melalui semua itu, Rory mengajarkan bahwa kegigihan bukan berarti tanpa jatuh.

    Disiplin dan Konsisten

    Serial ini menggambarkan Rory sebagai sosok yang selalu menjadikan belajar sebagai prioritas utamanya.Bahlan saat teman-temannya bersantai, ia memilih untuk mengulang materi dan menulis esai. Jadwal belajarnya ketat dan metode belajarnya terorganisir dengan baik. Tidak hanya membaca buku pelajaran, ia juga aktif dalam ekstrakurikuler dan menulis untuk media sekolah. Semua ini menunjukkan bahwa keberhasilannya bukan hasil keberuntungan, melainkan hasil dari upaya konsisten.

    Namun, serial ini menampilkan semangat belajarnya dengan cara yang alami dan tidak kaku. Rory tetap memiliki kehidupan sosial dan hubungan personal yang kompleks. Ini memperlihatkan bahwa menjadi gigih bukan berarti mengorbankan seluruh aspek lain dalam hidup. Justru, keseimbangan yang ia upayakan menjadi kekuatan tersendiri dalam karakternya.

    Jejak Rory Gilmore di Mata Gen Z

    Kini, lebih dari dua dekade setelah serial pertamanya tayang, Rory Gilmore masih relevan. Generasi Z kerap menjadikan Rory sebagai inspirasi dalam rutinitas belajar mereka. Bahkan di beberapa platform seperti website dan YouTube menciptakan komunitas daring bertajuk “Rory Gilmore Reading Challenge” yang mengajak peserta menyelesaikan daftar bacaan klasik versi Rory. Hal ini menunjukkan bahwa karakter fiksi dapat berdampak nyata, khususnya dalam membentuk budaya belajar di era digital yang penuh distraksi.

    Meski demikian, tidak semua hal dalam karakter Rory patut ditiru tanpa refleksi. Beberapa orang menilai bahwa ekspektasi tinggi yang menekannya dapat memberi tekanan berlebihan. Namun, dari sisi lain, Rory menyampaikan pesan penting bahwa belajar adalah proses yang berharga, bukan sekadar alat untuk meraih prestasi.

    Baca juga: Ilmuwan Perempuan Chien-Shiung Wu Yang Melawan Dunia Patriarki

  • Kiprah Beverly Joubert di Tengah Savana

    Kiprah Beverly Joubert di Tengah Savana

    Beverly Joubert dan Kameranya

    Perempuan di Garis Konservasi

    Aksi Beverly Joubert

    Potret dalam Big Cat Initiative
  • Warisan Intelektual Abdul Malik Fadjar Melalui Rumah Baca Cerdas

    Warisan Intelektual Abdul Malik Fadjar Melalui Rumah Baca Cerdas

    MANUNGSA— Di tengah derasnya arus digital dan derasnya informasi, berdirilah Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute Abdul Malik Fadjar. Lebih dari sekedar perpustakaan, tempat ini adalah warisan hidup dari seorang tokoh pendidikan nasional yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa. Abdul Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan, merintis RBC sebagai pusat pemikiran progresif, tempat generasi muda dapat tumbuh melalui literasi, dan diskusi. Meski ia telah tiada, jejak pemikirannya tetap mengalir dalam setiap halaman buku dan percakapan yang tercipta di sana.

    Latar Belakang A. Malik Fadjar

    Abdul Malik Fadjar bukanlah nama yang asing dalam peta pendidikan nasional. Pria kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk dunia pendidikan dan dakwah Islam modern. Sejak awal karirnya sebagai guru dan dosen, ia tidak hanya mengajar, tetapi juga aktif mengembangkan institusi pendidikan, terutama di lingkungan Muhammadiyah.

    Keteladanannya membuat ia dipercaya menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama dua periode (2005-2015), posisi yang memperkuat komitmennya terhadap pengembangan pendidikan Islam yang berkemajuan. Tidak hanya itu, pada 1995 ia diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan pada 2001 A. Malik Fadjar menerima gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kontribusinya terhadap pendidikan Islam.

    Lahirnya Rumah Baca Cerdas

    Ketika sebagian orang mempersiapkan masa pensiun dengan beristirahat, Malik Fadjar justru memulai satu babak penting lainnya, yaitu membangun pusat literasi. Pada 30 November 2005, RBC resmi berdiri di rumah peninggalan pribadinya di Malang. Ia bermimpi menciptakan tempat belajar yang hidup, yang tidak sekadar menyimpan buku, tapi juga menghidupkan dialog, perdebatan, dan gagasan.

    Sebagian besar koleksi buku di RBC berasal dari perpustakaan pribadi Malik Fadjar. Ia berharap agar buku-buku itu tidak hanya menjadi isi rak, melainkan menjembatani pengetahuan bagi generasi baru. RBC dilengkapi dengan ruang diskusi yang nyaman dan cafe, karena baginya, diskusi paling berkesan selalu terjadi saat minum kopi.

    Dari Rumah Baca menjadi Institut

    Meski aktivitas di RBC sudah berjalan sejak 2005, baru pada 2020 institusi ini secara resmi menjadi RBC Institute Abdul Malik Fadjar. Transformasi ini mengubah banyak hal. RBC kini memiliki struktur organisasi yang lebih sistematis, termasuk posisi Direktur Eksekutif, dan menjalin kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sebagai mitra operasional utama.

    Perubahan ini juga menandai semakin beragamnya kegiatan RBC. Selain diskusi bulanan dan program literasi, mereka menjalankan riset, publikasi, dan menerbitkan buku. Salah satu program inovatifnya adalah Mobil Terbang—sebuah upaya membawa buku dan diskusi ke sekolah-sekolah. Dengan semangat keberlanjutan, RBC tidak hanya menjadi tempat membaca, tetapi juga ekosistem pembelajaran yang merangkul pemikiran sosial-keagamaan secara progresif. Semua itu tetap setia pada visi awal sang pendiri: menjadikan ilmu sebagai alat membebaskan, bukan membatasi.

    Kini, walau Malik Fadjar telah tiada, semangatnya tetap hidup di setiap aktivitas RBC. Anak-anak muda, aktivis, dan masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul di sana—membaca, berdiskusi, dan membentuk gagasan baru. Setiap lembar buku yang dibuka, setiap kata yang diperdebatkan, menjadi bukti bahwa warisan pemikiran tidak pernah benar-benar berakhir.

    Tidak heran bila banyak pihak menganggap RBC sebagai bentuk konkret dari gagasan “pendidikan yang membebaskan.” Bukan hanya ruang baca, melainkan pusat pertumbuhan intelektual yang mendewasakan siapa pun yang bersedia membuka pikirannya.

    Baca juga: B.J. Habibie: Kasih, Teknologi, dan Dedikasi Tanpa Batas