Penulis: Ariel Setya

  • Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Jiwa Generasi Digital

    Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Jiwa Generasi Digital

    Generasi Z, yang lahir antara 1997-2012, menghadapi krisis kesehatan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Data dari American Psychological Association menunjukkan bahwa 91% Gen Z melaporkan mengalami gejala stres fisik atau emosional. Peran masif media sosial dalam membentuk realitas sosial menghasilkan angka tertinggi dibandingkan generasi sebelumnya

    Media sosial menciptakan paradoks yang unik bagi Gen Z. Mereka adalah generasi yang paling terhubung secara digital, namun paradoksnya mereka juga melaporkan tingkat kesepian dan isolasi sosial tertinggi. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter telah menjadi ruang utama untuk interaksi sosial. Namun, ironisnya menciptakan jarak emosional yang lebih dalam.

    Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, bukan kesejahteraan pengguna. Hasilnya, Gen Z terpapar konten yang memicu kecemasan, perbandingan sosial yang tidak sehat, dan validasi yang bergantung pada metrik digital. Seperti likes, views, dan followers. Ketergantungan pada validasi eksternal ini mengikis kepercayaan diri intrinsik dan menciptakan siklus kecemasan berkelanjutan.

    Dampak Psikologis yang Kompleks

    Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial berlebihan pada Gen Z berkorelasi dengan meningkatnya tingkat depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Fenomena “compare and despair” menjadi sangat nyata ketika mereka terus-menerus. Dengan membandingkan kehidupan mereka dengan highlight reel orang lain di media sosial.

    Fear of Missing Out (FOMO) telah berevolusi menjadi Fear of Missing Everything (FOME). Di mana Gen Z merasa tertekan untuk selalu update dengan tren terbaru, berita viral, dan aktivitas teman-teman mereka. Tekanan ini menciptakan chronic stress yang berdampak pada kualitas tidur, konsentrasi, dan kesehatan mental secara keseluruhan.

    Gen Z juga menghadapi bentuk baru dari perundungan melalui cyberbullying yang dapat terjadi 24/7 tanpa batas geografis. Cancel culture dan public shaming di media sosial menciptakan lingkungan yang tidak aman. Dengan berekspresi dan membuat kesalahan, padahal proses trial and error adalah bagian normal dari perkembangan remaja.

    Fenomena toxic positivity di media sosial juga menciptakan tekanan untuk selalu tampil bahagia dan sukses. Mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya normal dan perlu diproses. Hal ini menyebabkan emotional suppression yang berbahaya bagi kesehatan

    Meskipun tantangan berat, Gen Z juga menunjukkan resiliensi luar biasa. Mereka lebih terbuka membicarakan kesehatan mental, aktif mencari bantuan profesional, dan menggunakan platform digital untuk edukasi mental health. Gerakan digital detox, mindful social media use, dan pembentukan komunitas support online positif. Menunjukkan bahwa generasi ini tidak hanya menjadi korban, tetapi juga agen perubahan untuk kesehatan mental yang lebih baik.

    Kunci utama adalah menciptakan literasi digital yang sehat. Mengembangkan resiliensi emosional, dan membangun koneksi otentik di luar dunia digital. Generasi yang lahir dan besar di era teknologi ini.

    Baca juga : Kerja Ikhlas, Cleaner Masjid Dapat Hadiah Haji dari Kerajaan Saudi

  • Monthly Check-In Strategi Tim Unggul dengan Evaluasi Bulanan

    Monthly Check-In Strategi Tim Unggul dengan Evaluasi Bulanan

    Perusahaan mengadakan rapat evaluasi bulanan sebagai instrumen penting dalam manajemen modern yang harus dijalankan secara konsisten. Praktik ini meningkatkan kinerja tim dan mendorong kesuksesan organisasi secara menyeluruh.

    Evaluasi bulanan memungkinkan manajemen untuk memantau progres secara rutin, memastikan bahwa setiap proyek atau inisiatif berjalan sesuai rencana.

    Dengan mengadakan pertemuan bulanan, manajemen mengidentifikasi hambatan sejak dini dan mengambil tindakan korektif sebelum situasi memburuk. Langkah ini mencegah pemborosan waktu, sumber daya, dan anggaran3 yang tidak perlu.

    Rapat evaluasi membuka ruang dialog di mana setiap anggota tim menyampaikan pandangan, kendala, dan ide-ide inovatif. Komunikasi dua arah ini membangun kepercayaan antara manajemen dan karyawan serta meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan. Ketika perusahaan menghargai masukan karyawan, motivasi kerja mereka meningkat secara signifikan.

    Dalam dunia bisnis yang dinamis, manajemen menyesuaikan strategi dan prioritas melalui evaluasi bulanan. Rapat ini memberi ruang untuk beradaptasi dengan perubahan pasar atau kondisi internal. Dengan demikian, perusahaan mempertahankan daya saing di tengah persaingan yang ketat.

    Melalui evaluasi rutin, manajemen mengidentifikasi kebutuhan peningkatan keterampilan atau pelatihan tambahan. Perusahaan kemudian menyusun program pengembangan yang tepat sasaran, sehingga investasi dalam human capital menjadi lebih efektif dan terukur.

    Rapat evaluasi mencegah konflik antar departemen atau individu dengan membahas isu-isu potensial secara terbuka dan konstruktif. Pendekatan ini menghindarkan organisasi dari gangguan produktivitas akibat miskomunikasi.

    Rapat evaluasi bulanan menanamkan budaya perbaikan berkelanjutan dalam organisasi. Karyawan secara aktif mencari cara yang lebih baik, efisien, dan inovatif dalam menjalankan tugas mereka.

    Dengan mengimplementasikan rapat evaluasi bulanan secara konsisten, perusahaan tidak hanya meningkatkan kinerja tim dalam jangka pendek, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan jangka panjang.

    Melalui evaluasi bulanan, manajemen mengumpulkan data konkret tentang return on investment dari berbagai inisiatif. Dengan data tersebut, mereka mengukur efektivitas program dan mengambil keputusan berbasis bukti untuk periode selanjutnya.

    Baca juga : Kitabisa.com: Platform Crowdfunding Sosial Terbesar di Indonesia

  • Dari Kegelapan Menuju Terang Melalui Pendidikan dan Kesetaraan

    Dari Kegelapan Menuju Terang Melalui Pendidikan dan Kesetaraan

    MALANG, 24 Mei 2025 – Seminar Kampung Season 3 tentang Refleksi terhadap pemikiran R.A. Kartini dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” sukses terselenggara pada Minggu (25/5) di Balai dusun Busu, Desa Slamparejo Kec. Jabung. Menghadirkan Presiden Mahasiswa UIN Maliki Malang, Muammar Shidiq dan Maharina Novia Z, Marketing Communication Rumah Baca Cerdas A. Malik Fadjar. Seminar ini menjelaskan relevansi yang kuat dengan tantangan masa kini, khususnya dalam isu kesetaraan gender dan pendidikan perempuan. 

    “Kartini menegaskan bahwa wanita dan pria memiliki hak yang sama dalam segala aspek kehidupan. Visinya tentang kesetaraan ini menjadi kontras dengan praktik pernikahan dini yang masih terjadi di era modern, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diperjuangkannya,” jelas Muammar Shidiq. 

    Maka dari itu, pendidikan menjadi kunci utama transformasi sosial menurut Kartini. Ia percaya bahwa melalui pendidikan tinggi, perempuan dapat mengubah budaya patriarki yang mengakar, termasuk tradisi menikah dini yang membatasi potensi perempuan.

    Di era Kartini, kemampuan mengubah lingkungan nenek moyang dan pengalaman tradisional menjadi bukti kekuatan pendidikan dalam mentransformasi masyarakat. Peran perempuan tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi sebagai agen perubahan sosial.

    Lebih lanjut dalam Seminar kampung bertema “Perempuan dan Peradaban”, Muammar menegaskan “Warisan pemikiran Kartini mengajarkan bahwa perubahan pola pikir melalui pendidikan dapat merevolusi budaya dan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan, dimana setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang”.

    Menurut Kartini, perempuan memiliki peran penting sebagai agen perubahan di masyarakat. Melalui pendidikan tinggi, perempuan dapat mengubah pola pikir, budaya, dan lingkungan di daerah asal mereka. Para individu akan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh sebagai modal untuk mentransformasi tradisi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

    Baca juga : Safira Hunar Bahas How to Branding Yourself in Digital Era

  • Tren Tiktok “gapapa kan?”

    Tren Tiktok “gapapa kan?”

    Fenomena “Gapapa Kan” di TikTok kini menjadi salah satu tren yang menarik di media sosial. Para pembuat konten umumnya menampilkan perilaku atau situasi yang mungkin kontroversial, lalu menutupnya dengan pernyataan retoris “gapapa kan?” sebagai cara meminta validasi atau meredam kritik.

    Dari perspektif psikologi sosial, tren ini menunjukkan kebutuhan kuat akan validasi di era digital. Ketika mereka mengucapkan “gapapa kan?”, para kreator sebenarnya meminta persetujuan dari audiens, meskipun dengan gaya santai.

    Hal ini memperlihatkan bagaimana pengguna media sosial makin bergantung pada validitas eksternal. TikTok pun berperan dalam membentuk lanskap baru dalam hal persetujuan sosial.

    Dari Berbagai Sudat Pandang

    Secara sosiologis, tren ini mencerminkan pergeseran norma sosial. Dulu, masyarakat menganggap perilaku tertentu tabu atau tidak pantas, tetapi kini banyak pengguna menunjukkan hal tersebut secara terbuka dengan dalih “gapapa kan?”.

    Dari sudut pandang ekonomi atensi, tren ini semakin menarik. Dalam persaingan ketat di TikTok untuk menarik perhatian, para kreator menggunakan frasa “gapapa kan?” untuk mendorong keterlibatan audiens. Pernyataan ini memancing penonton agar memberi reaksi, baik berupa persetujuan maupun penolakan, sehingga algoritma TikTok akan semakin menyebarkan konten mereka.

    Dengan menyisipkan frasa “gapapa kan?”, para kreator menerapkan bentuk soft power secara halus. Dari segi budaya, tren ini mencerminkan masyarakat yang semakin permisif.

    Tren ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab platform. Dengan algoritma yang cenderung mempromosikan konten kontroversial demi engagement, TikTok secara tidak langsung turut mendorong penyebaran tren-tren yang kadang berisiko atau problematik.

    Dalam era ketika batas antara ruang pribadi dan publik semakin kabur, tren ini memperlihatkan ketidaknyamanan kolektif terhadap ambiguitas moral dan etika di media sosial. Dengan mencari validasi lewat frasa sederhana ini, para pembuat konten justru mengakui keraguan mereka sendiri terhadap perilaku yang mereka tampilkan.

    Tren “gapapa kan?” di TikTok bukanlah sekadar hiburan remeh. Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam dinamika sosial, psikologis kolektif, dan budaya digital. Media sosial kini bukan hanya tempat berbagi konten, tetapi juga arena untuk menegosiasikan norma-norma baru dalam masyarakat masa kini.

    Baca juga : Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

  • Profil Ibrahim Sjarief Assegaf Suami Najwa Shihab

    Profil Ibrahim Sjarief Assegaf Suami Najwa Shihab

    Najwa Shihab menikah dengan Ibrahim Sjarief Assegaf, seorang pengusaha yang memiliki latar belakang pendidikan dan keluarga yang cukup terpandang.

    Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Ibrahim Sjarief Assegaf

    Ibrahim menempuh pendidikan tinggi di bidang ekonomi dan bisnis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pendidikan formalnya mendukung perjalanan kariernya sebagai pengusaha sukses di Indonesia.

    Secara lebih spesifik, Ibrahim Assegaf memiliki dasar pendidikan yang kuat di bidang hukum. Ia menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, salah satu institusi pendidikan ternama di Indonesia. Selama masa kuliah, kecerdasannya terlihat dari keaktifannya mengikuti berbagai kegiatan akademis dan organisasi.

    Tidak puas dengan pencapaian tersebut, Ibrahim tidak berhenti pada gelar sarjana dan melanjutkan pendidikan pascasarjana di luar negeri. Sebagai hasilnya, ia berhasil meraih gelar Master of Laws (LL.M) dari Harvard Law School, Amerika Serikat yang merupakan salah satu fakultas hukum terbaik di dunia. Tentunya, pencapaian ini membuktikan dedikasi dan kecemerlangan intelektualnya dalam bidang hukum.

    Dari segi latar belakang keluarga, Ibrahim berasal dari keluarga Assegaf yang memiliki garis keturunan Arab-Indonesia. Pada kenyataannya, keluarga Assegaf dikenal sebagai salah satu keluarga terpandang dengan tradisi bisnis yang kuat.

    Akhirnya, pernikahan keduanya menggabungkan dua latar belakang yang berbeda – Najwa dari dunia jurnalistik dan Ibrahim dari dunia bisnis yang saling melengkapi dalam membangun keluarga yang harmonis.

    Karier Profesional yang Gemilang

    Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ibrahim Assegaf membangun karir yang cemerlang di bidang hukum. Ia bergabung dengan firma hukum terkemuka di Indonesia dan dengan cepat membangun reputasi sebagai pengacara berbakat dengan keahlian khusus di bidang hukum bisnis dan transaksi komersial.

    Ibrahim adalah salah satu pendiri Assegaf Hamzah & Partners, sebuah firma hukum yang berkembang menjadi salah satu kantor hukum terdepan di Indonesia. Firma ini menangani kasus-kasus kompleks dan besar yang melibatkan perusahaan multinasional dan proyek-proyek strategis.

    Baca juga : Shai Gilgeous-Alexander: Bintang Muda Menuju Puncak NBA sebagai MVP 2024-25

  • Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

    Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

    FOMO atau “Fear of Missing Out” semakin mengakar di kalangan mahasiswa Indonesia. Istilah ini menggambarkan kecemasan yang dirasakan seseorang saat ia merasa tertinggal dari pengalaman atau peristiwa menarik yang dialami orang lain. Di lingkungan kampus yang dinamis, mahasiswa menghadapi FOMO sebagai tantangan psikologis yang memengaruhi kehidupan sosial sekaligus performa akademik mereka.

    Di era digital, mahasiswa meluaskan kehidupan mereka ke ruang virtual yang menjadi arena baru untuk menunjukkan eksistensi sosial. Mereka aktif mengunggah momen kebersamaan dengan teman, prestasi akademik, dan berbagai kegiatan lainnya agar banyak orang dapat melihatnya. Akibatnya, mereka merasa tertekan untuk terus menampilkan eksistensi di dunia fisik maupun virtual.

    Mahasiswa kini mengukur identitas mereka tidak hanya dari pencapaian akademis, tetapi juga dari aktivitas dan kehadiran mereka dalam berbagai kegiatan sosial. Mereka mengikuti kegiatan organisasi dan partisipasi komunitas yang menjadi parameter baru dalam menentukan “kesuksesan” sebagai mahasiswa.

    Banyak mahasiswa merasa cemas dan mengikuti setiap kegiatan yang dianggap penting karena mereka takut kehilangan momen berharga atau kesempatan membangun jaringan.

    Dampak FOMO

    FOMO memberikan dampak signifikan pada kehidupan akademis mahasiswa. Mereka seringkali memecah konsentrasi antara kebutuhan belajar dan dorongan untuk terus mengikuti perkembangan sosial. Perhatian yang terbagi ini mengurangi keefektifan mereka dalam belajar dan memahami materi.

    Mahasiswa yang mengalami FOMO tinggi cenderung menunda tugas akademis demi mengikuti aktivitas sosial, sehingga mereka menciptakan lingkungan stres dan kecemasan yang sulit diputus. Dari perspektif kesehatan mental, para mahasiswa yang mengalami FOMO menunjukkan peningkatan gejala depresi dan kecemasan.

    Mereka membandingkan secara kontras kehidupan mereka dengan teman sebaya yang tampak lebih menarik dan bermakna di media sosial. Perasaan tidak puas dengan pengalaman pribadi dan menurunnya rasa percaya diri muncul akibat hal ini. Mahasiswa dengan FOMO tinggi juga sering mengalami gangguan tidur karena mereka terus mengecek media sosial hingga larut malam, khawatir melewatkan informasi penting.

    Semakin mahasiswa berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi sosial mereka, semakin mereka merasa teralienasi dari pengalaman otentik. Kehadiran fisik saja tidak lagi menjamin keterlibatan emosional ketika mereka lebih memperhatikan dokumentasi untuk media sosial. Mereka menjadikan interaksi sosial kurang bermakna karena motivasi mereka hanya untuk menunjukkan kehadiran, bukan menjalin koneksi sejati.

    Untuk mengatasi FOMO, mahasiswa harus meningkatkan kesadaran diri dan kemampuan menetapkan prioritas. Mereka perlu belajar mengenali bahwa mereka tidak harus mengikuti semua kegiatan dan bahwa nilai suatu pengalaman terletak pada keterlibatan mendalam, bukan penampilan eksternal. Pihak institusi pendidikan juga dapat menciptakan lingkungan yang menekankan kualitas pembelajaran dan interaksi sosial daripada sekadar kuantitas kegiatan.

    Pada akhirnya, mahasiswa perlu mengembangkan keterampilan krusial untuk menyeimbangkan kebutuhan akademis dan kehidupan sosial mereka. Dengan mengelola FOMO secara efektif, mahasiswa dapat memanfaatkan potensi penuh dari tahun-tahun formatif mereka di perguruan tinggi bukan hanya sebagai masa untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai waktu untuk pertumbuhan pribadi yang bermakna.

    Baca juga : Rahasia Sehat dan Bahagia ala Jennifer Bachdim

  • “Manusia Tikus” Perlawanan Diam Generasi Z Terhadap Tekanan Sosial

    “Manusia Tikus” Perlawanan Diam Generasi Z Terhadap Tekanan Sosial

    Fenomena ini unik yang muncul di kalangan Generasi Z sebagai bentuk ekspresi identitas dan perlawanan terhadap norma sosial. Istilah ini mengacu pada individu yang mengadopsi estetika, perilaku, atau karakteristik yang terinspirasi dari tikus.

    Anak muda Cina menyebut diri mereka “Manusia Tikus”. Mereka memilih hidup minimalis secara ekstrem dan menarik diri dari tekanan sosial seperti:

    • Hidup dengan sangat hemat, meminimalkan mengeluarkan dan konsumsi 
    • Menolak ambisi karir dan kompetensi sosial
    • Sering tinggal di apartemen kecil atau rumah sempit mirip “lubang tikus”
    • Menolak tekanan sosial seperti menikah, memiliki anak, atau membeli rumah
    • Bekerja cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk mengejar kekayaan

    fenomena ini muncul sebagai respons terhadap biaya hidup yang tinggi, persaingan kerja yang intens, tekanan sosial, dan ketidakpastian ekonomi di Cina.

    Beberapa aspek budaya pop dan media sosial memunculkan tren ini, ketika Gen Z mengadopsi karakter tikus seperti Remy dari film Ratatouille atau Stuart Little sebagai simbol perlawanan terhadap stereotip dan ekspektasi sosial.

    Di platform seperti TikTok dan Instagram hashtag terkait “manusia tikus” atau “rat cire” telah mengumpulkan jutaan tayangan. Konten yang menampilkan pakaian berwarna abu-abu, aksesoris berbentuk tikus, hingga makeup yang menyerupai fitur tikus.

    Para pengikut tren ‘rat core’ mengekspresikan diri mereka melalui pakaian vintage, mengenakan pakaian berlapis-lapis, dan menciptakan estetika DIY sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap konsumerisme dan fast fashion.Pendukung tren ini sering menggunakan barang bekas atau daur ulang. Mencerminkan kesadaran  lingkungan yang tinggi di kalangan Gen Z.

    Di media sosial “manusia tikus” memanifestasikan diri melalui meme, filter, dan konten humor yang menggunakan citra tikus. Humor absurd dan self deprecating menjadi ciri khas dengan penggunaan internet. Mereka Sering membandingkan dengan tikus yang berusaha terhadap hidup dunia yang semakin tidak ramah.

    Dampak Psikologis

    Fenomena ini juga memiliki dimensi psikologis mencerminkan bagaimana Gen Z merespons ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial. Dengan mengidentifikasikan diri sebagai ‘tikus” makhluk yang sering stigmatisasi namun sangat tangguh. Mereka menciptakan ruang aman untuk mengekspresikan kecemasan kolektif.

    Kritik terhadap kapitalisme juga menjadi aspek penting dari tren ini. Gerakan “manusia tikus” mengkritik konsumsi berlebih dan mempertanyakan standar keberhasilan konvensional dengan mengadopsi estetik yang sederhana dan fungsional.

    Meskipun terkesan aneh bagi generasi sebelumnya, fenomena ini menunjukkan kreativitas dan kemampuan Gen Z dalam menciptakan komunitas dan identitas alternatif. Tren ini juga merefleksikan bagaimana generasi mudah ironi dan humor sebagai mekanisme koping menghadapi tantangan dunia modern.

    Secara keseluruhan fenomena “manusia tikus” bukanlah sekedar trend fashion atau internet yang sepele, melainkan manifestasi kompleks dari sikap dan nilai Gen Z terhadap masyarakat kontemporer. Fenomena ini menggabungkan estetika, kritik sosial, eksploitasi identitas, dan humor absurd. Elemen yang secara konsisten mendefinisikan bagaimana Gen Z menavigasi dan memaknai di sekitar mereka.

    Baca juga : Pandawara Group: Anak Muda, Aksi Nyata untuk Lingkungan

  • Petualangan Dokter Tirta Membawa Perubahan di Tanah Air

    Petualangan Dokter Tirta Membawa Perubahan di Tanah Air

    Dokter Tirta Membawa Perubahan di Tanah Air, secara aktif mengunjungi berbagai pelosok Indonesia dan menganggap perjalanannya itu sebagai pengalaman pribadi yang berharga. Dorongan utamanya berakar pada kesadaran mendalam tentang ketimpangan akses kesehatan yang masih menjadi realitas pahit di negeri ini.

    Berawal dari Kesadaran

    Sebagai seorang dokter yang pernah bertugas di rumah sakit besar dan memiliki akses pada fasilitas kesehatan memadai. Dokter Tirta melihat kontras tajam antara pelayanan kesehatan di kota besar dengan daerah terpencil.

    Pengalaman menyaksikan langsung bagaimana masyarakat di pelosok harus menempuh jarak berpuluh kilometer untuk mendapatkan perawatan baik. Bahkan, tidak memiliki akses sama sekali menjadi titik balik yang menggerakkan hatinya.

    Melawan Disparitas

    Dokter Tirta merasa terpanggil untuk memastikan bahwa akses kesehatan tersedia bagi semua orang, tidak peduli latar belakang sosial ekonomi mereka Ketimpangan akses ini bukan hanya soal infrastruktur tetapi juga keterbatasan tenaga medis, obat-obatan, dan pengetahuan kesehatan dasar di daerah terpencil.

    Melampaui Tugas Profesional

    Yang membedakan Deker Tirta dari banyak tenaga medis lainnya adalah keputusan untuk tidak hanya praktik di zona nyaman. Ia memiliki untuk secara aktif menggunakan keahliannya medisnya. Platform media sosialnya dan jaringan yang dimilikinya untuk mengadvokasi perubahan sistematik dalam pelayanan kesehatan nasional.

    Dalam perjalanan hidupnya yang luar biasa Dokter Tirta telah mengukir jejak inspiratif sebagai seorang dokter yang tidak hanya mengabdikan diri dalam bidang kesehatan. Menjadi agen perubahan sosial yang sangat berpengaruh di Indonesia.

    Bermula dari tekadnya untuk memberikan layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitasnya bagi masyarakat yang paling membutuhkan. Beliau memulai misi mulianya dengan berkeliling ke daerah-daerah terpencil di seluruh nusantara.

    Perjalanan Dr.Tirta membawa perubahan di Tanah air tidak hanya sekedar memberikan pengobatan, melainkan juga membawa harapan dan edukasi kesehatan ke komunitas-komunitas yang selama ini terisolasi dari akses pelayanan medis yang memadai. Dengan semangat kemanusiaan yang luar biasa ia mengunjungi desa terpencil, daerah konflik, dan wilayah yang sulit terjangkau. 

    Beliau membawa perlengkapan media seadanya namun dengan deduksi yang tak pantas. Setiap langkahnya merupakan upaya nyata untuk mengurangi kesenjangan kesehatan yang selama ini melingkupi masyarakat indonesia bagian kebawah.

    Kontribusi Dr. Tirta

    Kontribusi terbesarnya tercermin dalam upaya preventif dan edukatif yang dilakukannya. Dr Tirta tidak sekadar mengobati penyakit tetapi juga mengajarkan masyarakat tentang pentingnya hidup sehat, sanitasi, dan pencegahan penyakit. Melalui pendekatan yang ramah dan komunikatif, ia berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap kesehatan.

    Mengajak untuk lebih peduli terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ceramah-ceramahnya yang inspiratif di berbagai daerah telah membuka wawasan ribuan orang akan pentingnya kesehatan preventif.

    Dalam perjalanannya Dr tirta juga aktif mengkampanyekan isu-isu kesehatan kritis yang sering terabaikan. Ia membangkitkan kesadaran masyarakat tentang masalah gizi buruk, pentingnya imunisasi, kesehatan ibu dan anak, serta berbagai penyakit menular yang masih menjadi ancaman di wilayah-wilayah terpencil.

    Setiap kali ia berkunjung ke suatu daerah, tidak hanya membawa obat-obatan, tetapi juga membawa semangat perubahan dan harapan baru bagi masyarakat setempat. Jejak langkahnya telah menginspirasi banyak tenaga medis muda untuk turut serta dalam misi sosial mengabdi kepada masyarakat. Dr Tirta membuktikan bahwa seorang dokter sejati. 

    Tidak hanya diukur dari kemampuan medisnya tetapi juga dari kepedulian dan dedikasi untuk membawa perubahan positif. Melaui pengabdiannya ia membantu ribuan orang, emngubah kehidupan mereka, dan membawa harapan baru di tanah air tercinta.

    Baja juga : Ilmuwan Perempuan Chien-Shiung Wu Yang Melawan Dunia Patriarki

  • Nugas Sambil Ngopi Kenapa Mahasiswa Suka di Coffee Shop?

    Nugas Sambil Ngopi Kenapa Mahasiswa Suka di Coffee Shop?

    Fenomena mahasiswa yang memadati coffee shop untuk mengerjakan tugas kuliah telah menjadi pemandangan umum di berbagai kota. Dengan laptop terbuka, buku berserakan, dan secangkir kopi yang mengepul. Coffee shop seolah berubah menjadi perpustakaan alternatif bagi generasi muda akademisi. Mengapa tren “nugas sambil ngopi” ini begitu populer di kalangan mahasiswa?

    Pertama, coffee shop mendukung untuk produktif. Suasana dengan dengung percakapan dan alunan musik lembut menciptakan white noise yang membantu mahasiswa berinteraksi. Berbeda dengan keheningan perpustakaan yang kadang justru memicu kantuk atau kedamaian rumah yang penuh gangguan. Coffee shop memberikan level kebisingan yang ideal untuk fokus mengerjakan.

    Ketersediaan fasilitas menjadi poin penting lainnya. Hampir semua coffee shop modern menyediakan WiFi gratis, stop kontak yang memadai, dan pencahayaan yang baik untuk mendukung pelanggan yang mengerjakan tugas sebagai bagian dari tuntutan pendidikan masa kini.

    Dengan membeli secangkir kopi mahasiswa mendapatkan “sewa” tempat yang nyaman berjam-jam dengan fasilitas lengkap.Kopi sendiri menjadi katalisator produktivitas. Kafein dalam kopi meningkatkan kewaspadaan, konsentrasi, dan energi yang dibutuhkan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademis yang menantang.Selain itu, ritual penyeruput kopi perlahan memberikan jeda mikro yang menyegarkan di antara sensasi belajar intensif.

    Coffee shop memfasilitasi mahasiswa untuk “belajar sendiri bersama-sama,” sebuah fenomena di mana mereka menggarap tugas masing-masing sambil tetap merasakan kehadiran komunitas.Terkadang pertemuan tidak sengaja dengan teman atau bahkan dosen dapat membuka peluang diskusi spontan atau bahkan kolaborasi yang produktif.

    Segi Psikologis

    Dari segi psikologis perpindahan tempat dari kampus atau rumah ke coffee shop menciptakan perpisahan mental antara zona relaksasi dan zona kerja. Perubahan lingkungan ini membantu mahasiswa memasuki “metode belajar” dengan lebih mudah dan mengurangi prokrastinasi. Terlebih kehadiran orang lain yang juga sedang bekerja atau belajar menciptakan tekanan sosial positif untuk tetap produktif.

    Coffee shop juga menjadi solusi bagi mahasiswa yang membutuhkan ruang “netral’ untuk pertemuan kelompok. offee shop menyediakan tempat yang lebih fleksibel dari pada ruang pribadi atau kampus, karena semua anggota kelompok dapat mengaksesnya kapan saja selama jam operasional yang lebih panjang.

    Media sosial yang menampilkan “aesthetic” buku dan kopi telah mendorong tren ini dan membentuk kebiasaan baru. Meski terlihat sebagai tren, mahasiswa tetap mengalami manfaat nyata dalam meningkatkan produktivitas akademik mereka.

    Meskipun dengan demikian ‘nugas sambil ngopi” bukanlah tanpa kelemahan. Biaya yang harus keluar secara rutin untuk membeli minuman biasa menjadi beban finansial. Namun banyak mahasiswa investasi sepadan dengan lingkungan belajar optimal yang mereka dapatkan. Sebuah ruang yang menawarkan keseimbangan antara fokus, kenyamanan, dan interaksi sosial.

    Baca ini : Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

  • Terpilih Koordinator Daerah BEM Nusantara(TEMDA)Jawa Timur

    Terpilih Koordinator Daerah BEM Nusantara(TEMDA)Jawa Timur

    Malang – Forum Temu Daerah (Temda) yang berlangsung di Kampus UMM, 1-4 Juni 2025, resmi memilih Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Naufal Rizky Firdaus, sebagai Koordinator Daerah BEM Nusantara Jawa Timur.

    Dalam proses demokratis ini, puluhan delegasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Timur mengikuti pemungutan suara yang transparan dan akuntabel.

    Dalam pidato usai terpilih, Naufal menegaskan bahwa jabatan yang ia emban bukan sekadar status struktural, melainkan amanah besar. Menggerakkan mahasiswa sebagai kekuatan perubahan. Ia menyoroti pentingnya peran BEM Nusantara dalam menyuarakan kepentingan rakyat secara nyata. Bukan hanya lewat pernyataan sikap melalui aksi konkret yang menyentuh persoalan di lapangan.

    Tema TEMDA

    Sejalan dengan semangat perubahan, panitia mengusung tema “Terciptanya Cahaya Baru BEM Nusantara Jawa Timur, Menuju Jawa Timur Lebih Maju”. Acara Temda yang menjadi momentum penting konsolidasi sekaligus regenerasi kepemimpinan gerakan mahasiswa tingkat provinsi.

    Lebih dari sekadar pemilihan, forum ini memilih pemimpin baru sekaligus merumuskan arah gerakan mahasiswa Jawa Timur ke depan. Melalui sidang pleno yang kompetitif, Naufal meraih kemenangan setelah memaparkan visi dan gagasan gerakannya di hadapan seluruh peserta.

    Para delegasi menilai presentasinya mampu menjawab tantangan gerakan mahasiswa kontemporer dan memberikan solusi konkret untuk kemajuan Jawa Timur.

    Di sisi lain, pemilihan ini menandai babak baru dalam koordinasi gerakan mahasiswa se-Jawa Timur. Dengan kepemimpinan Naufal, terpilihnya sosok ini memberikan harapan bagi BEM Nusantara Jawa Timur. Memperkuat sinergi antar perguruan tinggi dalam mengadvokasi isu-isu strategis yang berdampak pada masyarakat.

    Selain aspek kepemimpinan, Temda kali ini juga berhasil menyelenggarakan Ajang silaturahmi dan penguatan jaringan antar mahasiswa dari berbagai latar belakang institusi. Momentum ini semakin diperkuat dengan keragaman delegasi dari perguruan tinggi negeri dan swasta yang menunjukkan inklusivitas gerakan mahasiswa Jawa Timur.

    Dengan demikian, perhelatan Temda tidak hanya menghasilkan pemimpin baru, tetapi juga membangun fondasi kolaborasi yang lebih kuat untuk masa depan. Mengawali periode kepemimpinannya, sebagai Koordinator Daerah yang baru, Naufal akan mengimplementasikan visi yaitu

    “Jawa Timur Lebih Maju” melalui program-program strategis yang melibatkan seluruh elemen gerakan mahasiswa di provinsi ini.