Penulis: Ariel Setya

  • Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

    Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

    FOMO atau “Fear of Missing Out” semakin mengakar di kalangan mahasiswa Indonesia. Istilah ini menggambarkan kecemasan yang dirasakan seseorang saat ia merasa tertinggal dari pengalaman atau peristiwa menarik yang dialami orang lain. Di lingkungan kampus yang dinamis, mahasiswa menghadapi FOMO sebagai tantangan psikologis yang memengaruhi kehidupan sosial sekaligus performa akademik mereka.

    Di era digital, mahasiswa meluaskan kehidupan mereka ke ruang virtual yang menjadi arena baru untuk menunjukkan eksistensi sosial. Mereka aktif mengunggah momen kebersamaan dengan teman, prestasi akademik, dan berbagai kegiatan lainnya agar banyak orang dapat melihatnya. Akibatnya, mereka merasa tertekan untuk terus menampilkan eksistensi di dunia fisik maupun virtual.

    Mahasiswa kini mengukur identitas mereka tidak hanya dari pencapaian akademis, tetapi juga dari aktivitas dan kehadiran mereka dalam berbagai kegiatan sosial. Mereka mengikuti kegiatan organisasi dan partisipasi komunitas yang menjadi parameter baru dalam menentukan “kesuksesan” sebagai mahasiswa.

    Banyak mahasiswa merasa cemas dan mengikuti setiap kegiatan yang dianggap penting karena mereka takut kehilangan momen berharga atau kesempatan membangun jaringan.

    Dampak FOMO

    FOMO memberikan dampak signifikan pada kehidupan akademis mahasiswa. Mereka seringkali memecah konsentrasi antara kebutuhan belajar dan dorongan untuk terus mengikuti perkembangan sosial. Perhatian yang terbagi ini mengurangi keefektifan mereka dalam belajar dan memahami materi.

    Mahasiswa yang mengalami FOMO tinggi cenderung menunda tugas akademis demi mengikuti aktivitas sosial, sehingga mereka menciptakan lingkungan stres dan kecemasan yang sulit diputus. Dari perspektif kesehatan mental, para mahasiswa yang mengalami FOMO menunjukkan peningkatan gejala depresi dan kecemasan.

    Mereka membandingkan secara kontras kehidupan mereka dengan teman sebaya yang tampak lebih menarik dan bermakna di media sosial. Perasaan tidak puas dengan pengalaman pribadi dan menurunnya rasa percaya diri muncul akibat hal ini. Mahasiswa dengan FOMO tinggi juga sering mengalami gangguan tidur karena mereka terus mengecek media sosial hingga larut malam, khawatir melewatkan informasi penting.

    Semakin mahasiswa berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi sosial mereka, semakin mereka merasa teralienasi dari pengalaman otentik. Kehadiran fisik saja tidak lagi menjamin keterlibatan emosional ketika mereka lebih memperhatikan dokumentasi untuk media sosial. Mereka menjadikan interaksi sosial kurang bermakna karena motivasi mereka hanya untuk menunjukkan kehadiran, bukan menjalin koneksi sejati.

    Untuk mengatasi FOMO, mahasiswa harus meningkatkan kesadaran diri dan kemampuan menetapkan prioritas. Mereka perlu belajar mengenali bahwa mereka tidak harus mengikuti semua kegiatan dan bahwa nilai suatu pengalaman terletak pada keterlibatan mendalam, bukan penampilan eksternal. Pihak institusi pendidikan juga dapat menciptakan lingkungan yang menekankan kualitas pembelajaran dan interaksi sosial daripada sekadar kuantitas kegiatan.

    Pada akhirnya, mahasiswa perlu mengembangkan keterampilan krusial untuk menyeimbangkan kebutuhan akademis dan kehidupan sosial mereka. Dengan mengelola FOMO secara efektif, mahasiswa dapat memanfaatkan potensi penuh dari tahun-tahun formatif mereka di perguruan tinggi bukan hanya sebagai masa untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai waktu untuk pertumbuhan pribadi yang bermakna.

    Baca juga : Rahasia Sehat dan Bahagia ala Jennifer Bachdim

  • Nugas Sambil Ngopi Kenapa Mahasiswa Suka di Coffee Shop?

    Nugas Sambil Ngopi Kenapa Mahasiswa Suka di Coffee Shop?

    Fenomena mahasiswa yang memadati coffee shop untuk mengerjakan tugas kuliah telah menjadi pemandangan umum di berbagai kota. Dengan laptop terbuka, buku berserakan, dan secangkir kopi yang mengepul. Coffee shop seolah berubah menjadi perpustakaan alternatif bagi generasi muda akademisi. Mengapa tren “nugas sambil ngopi” ini begitu populer di kalangan mahasiswa?

    Pertama, coffee shop mendukung untuk produktif. Suasana dengan dengung percakapan dan alunan musik lembut menciptakan white noise yang membantu mahasiswa berinteraksi. Berbeda dengan keheningan perpustakaan yang kadang justru memicu kantuk atau kedamaian rumah yang penuh gangguan. Coffee shop memberikan level kebisingan yang ideal untuk fokus mengerjakan.

    Ketersediaan fasilitas menjadi poin penting lainnya. Hampir semua coffee shop modern menyediakan WiFi gratis, stop kontak yang memadai, dan pencahayaan yang baik untuk mendukung pelanggan yang mengerjakan tugas sebagai bagian dari tuntutan pendidikan masa kini.

    Dengan membeli secangkir kopi mahasiswa mendapatkan “sewa” tempat yang nyaman berjam-jam dengan fasilitas lengkap.Kopi sendiri menjadi katalisator produktivitas. Kafein dalam kopi meningkatkan kewaspadaan, konsentrasi, dan energi yang dibutuhkan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademis yang menantang.Selain itu, ritual penyeruput kopi perlahan memberikan jeda mikro yang menyegarkan di antara sensasi belajar intensif.

    Coffee shop memfasilitasi mahasiswa untuk “belajar sendiri bersama-sama,” sebuah fenomena di mana mereka menggarap tugas masing-masing sambil tetap merasakan kehadiran komunitas.Terkadang pertemuan tidak sengaja dengan teman atau bahkan dosen dapat membuka peluang diskusi spontan atau bahkan kolaborasi yang produktif.

    Segi Psikologis

    Dari segi psikologis perpindahan tempat dari kampus atau rumah ke coffee shop menciptakan perpisahan mental antara zona relaksasi dan zona kerja. Perubahan lingkungan ini membantu mahasiswa memasuki “metode belajar” dengan lebih mudah dan mengurangi prokrastinasi. Terlebih kehadiran orang lain yang juga sedang bekerja atau belajar menciptakan tekanan sosial positif untuk tetap produktif.

    Coffee shop juga menjadi solusi bagi mahasiswa yang membutuhkan ruang “netral’ untuk pertemuan kelompok. offee shop menyediakan tempat yang lebih fleksibel dari pada ruang pribadi atau kampus, karena semua anggota kelompok dapat mengaksesnya kapan saja selama jam operasional yang lebih panjang.

    Media sosial yang menampilkan “aesthetic” buku dan kopi telah mendorong tren ini dan membentuk kebiasaan baru. Meski terlihat sebagai tren, mahasiswa tetap mengalami manfaat nyata dalam meningkatkan produktivitas akademik mereka.

    Meskipun dengan demikian ‘nugas sambil ngopi” bukanlah tanpa kelemahan. Biaya yang harus keluar secara rutin untuk membeli minuman biasa menjadi beban finansial. Namun banyak mahasiswa investasi sepadan dengan lingkungan belajar optimal yang mereka dapatkan. Sebuah ruang yang menawarkan keseimbangan antara fokus, kenyamanan, dan interaksi sosial.

    Baca ini : Menggugat Budaya Sibuk Melalui Self-Care

  • “Manusia Tikus” Perlawanan Diam Generasi Z Terhadap Tekanan Sosial

    Fenomena ini unik yang muncul di kalangan Generasi Z sebagai bentuk ekspresi identitas dan perlawanan terhadap norma sosial. Istilah ini mengacu pada individu yang mengadopsi estetika, perilaku, atau karakteristik yang terinspirasi dari tikus.

    Anak muda Cina menyebut diri mereka “Manusia Tikus”. Mereka memilih hidup minimalis secara ekstrem dan menarik diri dari tekanan sosial seperti:

    • Hidup dengan sangat hemat, meminimalkan mengeluarkan dan konsumsi 
    • Menolak ambisi karir dan kompetensi sosial
    • Sering tinggal di apartemen kecil atau rumah sempit mirip “lubang tikus”
    • Menolak tekanan sosial seperti menikah, memiliki anak, atau membeli rumah
    • Bekerja cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk mengejar kekayaan

    fenomena ini muncul sebagai respons terhadap biaya hidup yang tinggi, persaingan kerja yang intens, tekanan sosial, dan ketidakpastian ekonomi di Cina.

    Beberapa aspek budaya pop dan media sosial memunculkan tren ini, ketika Gen Z mengadopsi karakter tikus seperti Remy dari film Ratatouille atau Stuart Little sebagai simbol perlawanan terhadap stereotip dan ekspektasi sosial.

    Di platform seperti TikTok dan Instagram hashtag terkait “manusia tikus” atau “rat cire” telah mengumpulkan jutaan tayangan. Konten yang menampilkan pakaian berwarna abu-abu, aksesoris berbentuk tikus, hingga makeup yang menyerupai fitur tikus.

    Para pengikut tren ‘rat core’ mengekspresikan diri mereka melalui pakaian vintage, mengenakan pakaian berlapis-lapis, dan menciptakan estetika DIY sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap konsumerisme dan fast fashion.Pendukung tren ini sering menggunakan barang bekas atau daur ulang. Mencerminkan kesadaran  lingkungan yang tinggi di kalangan Gen Z.

    Di media sosial “manusia tikus” memanifestasikan diri melalui meme, filter, dan konten humor yang menggunakan citra tikus. Humor absurd dan self deprecating menjadi ciri khas dengan penggunaan internet. Mereka Sering membandingkan dengan tikus yang berusaha terhadap hidup dunia yang semakin tidak ramah.

    Dampak Psikologis

    Fenomena ini juga memiliki dimensi psikologis mencerminkan bagaimana Gen Z merespons ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial. Dengan mengidentifikasikan diri sebagai ‘tikus” makhluk yang sering stigmatisasi namun sangat tangguh. Mereka menciptakan ruang aman untuk mengekspresikan kecemasan kolektif.

    Kritik terhadap kapitalisme juga menjadi aspek penting dari tren ini. Gerakan “manusia tikus” mengkritik konsumsi berlebih dan mempertanyakan standar keberhasilan konvensional dengan mengadopsi estetik yang sederhana dan fungsional.

    Meskipun terkesan aneh bagi generasi sebelumnya, fenomena ini menunjukkan kreativitas dan kemampuan Gen Z dalam menciptakan komunitas dan identitas alternatif. Tren ini juga merefleksikan bagaimana generasi mudah ironi dan humor sebagai mekanisme koping menghadapi tantangan dunia modern.

    Secara keseluruhan fenomena “manusia tikus” bukanlah sekedar trend fashion atau internet yang sepele, melainkan manifestasi kompleks dari sikap dan nilai Gen Z terhadap masyarakat kontemporer. Fenomena ini menggabungkan estetika, kritik sosial, eksploitasi identitas, dan humor absurd. Elemen yang secara konsisten mendefinisikan bagaimana Gen Z menavigasi dan memaknai di sekitar mereka.

    Baca juga : Pandawara Group: Anak Muda, Aksi Nyata untuk Lingkungan

  • Petualangan Dokter Tirta Membawa Perubahan di Tanah Air

    Petualangan Dokter Tirta Membawa Perubahan di Tanah Air

    Dokter Tirta Membawa Perubahan di Tanah Air, secara aktif mengunjungi berbagai pelosok Indonesia dan menganggap perjalanannya itu sebagai pengalaman pribadi yang berharga. Dorongan utamanya berakar pada kesadaran mendalam tentang ketimpangan akses kesehatan yang masih menjadi realitas pahit di negeri ini.

    Berawal dari Kesadaran

    Sebagai seorang dokter yang pernah bertugas di rumah sakit besar dan memiliki akses pada fasilitas kesehatan memadai. Dokter Tirta melihat kontras tajam antara pelayanan kesehatan di kota besar dengan daerah terpencil.

    Pengalaman menyaksikan langsung bagaimana masyarakat di pelosok harus menempuh jarak berpuluh kilometer untuk mendapatkan perawatan baik. Bahkan, tidak memiliki akses sama sekali menjadi titik balik yang menggerakkan hatinya.

    Melawan Disparitas

    Dokter Tirta merasa terpanggil untuk memastikan bahwa akses kesehatan tersedia bagi semua orang, tidak peduli latar belakang sosial ekonomi mereka Ketimpangan akses ini bukan hanya soal infrastruktur tetapi juga keterbatasan tenaga medis, obat-obatan, dan pengetahuan kesehatan dasar di daerah terpencil.

    Melampaui Tugas Profesional

    Yang membedakan Deker Tirta dari banyak tenaga medis lainnya adalah keputusan untuk tidak hanya praktik di zona nyaman. Ia memiliki untuk secara aktif menggunakan keahliannya medisnya. Platform media sosialnya dan jaringan yang dimilikinya untuk mengadvokasi perubahan sistematik dalam pelayanan kesehatan nasional.

    Dalam perjalanan hidupnya yang luar biasa Dokter Tirta telah mengukir jejak inspiratif sebagai seorang dokter yang tidak hanya mengabdikan diri dalam bidang kesehatan. Menjadi agen perubahan sosial yang sangat berpengaruh di Indonesia.

    Bermula dari tekadnya untuk memberikan layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitasnya bagi masyarakat yang paling membutuhkan. Beliau memulai misi mulianya dengan berkeliling ke daerah-daerah terpencil di seluruh nusantara.

    Perjalanan Dr.Tirta membawa perubahan di Tanah air tidak hanya sekedar memberikan pengobatan, melainkan juga membawa harapan dan edukasi kesehatan ke komunitas-komunitas yang selama ini terisolasi dari akses pelayanan medis yang memadai. Dengan semangat kemanusiaan yang luar biasa ia mengunjungi desa terpencil, daerah konflik, dan wilayah yang sulit terjangkau. 

    Beliau membawa perlengkapan media seadanya namun dengan deduksi yang tak pantas. Setiap langkahnya merupakan upaya nyata untuk mengurangi kesenjangan kesehatan yang selama ini melingkupi masyarakat indonesia bagian kebawah.

    Kontribusi Dr. Tirta

    Kontribusi terbesarnya tercermin dalam upaya preventif dan edukatif yang dilakukannya. Dr Tirta tidak sekadar mengobati penyakit tetapi juga mengajarkan masyarakat tentang pentingnya hidup sehat, sanitasi, dan pencegahan penyakit. Melalui pendekatan yang ramah dan komunikatif, ia berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap kesehatan.

    Mengajak untuk lebih peduli terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ceramah-ceramahnya yang inspiratif di berbagai daerah telah membuka wawasan ribuan orang akan pentingnya kesehatan preventif.

    Dalam perjalanannya Dr tirta juga aktif mengkampanyekan isu-isu kesehatan kritis yang sering terabaikan. Ia membangkitkan kesadaran masyarakat tentang masalah gizi buruk, pentingnya imunisasi, kesehatan ibu dan anak, serta berbagai penyakit menular yang masih menjadi ancaman di wilayah-wilayah terpencil.

    Setiap kali ia berkunjung ke suatu daerah, tidak hanya membawa obat-obatan, tetapi juga membawa semangat perubahan dan harapan baru bagi masyarakat setempat. Jejak langkahnya telah menginspirasi banyak tenaga medis muda untuk turut serta dalam misi sosial mengabdi kepada masyarakat. Dr Tirta membuktikan bahwa seorang dokter sejati. 

    Tidak hanya diukur dari kemampuan medisnya tetapi juga dari kepedulian dan dedikasi untuk membawa perubahan positif. Melaui pengabdiannya ia membantu ribuan orang, emngubah kehidupan mereka, dan membawa harapan baru di tanah air tercinta.

    Baja juga : Ilmuwan Perempuan Chien-Shiung Wu Yang Melawan Dunia Patriarki

  • Memulai Bisnis Modal Minimal Bagi Pemuda di Usia Produktif

    Memulai Bisnis Modal Minimal Bagi Pemuda di Usia Produktif

    Memulai bisnis tak lagi harus menunggu modal besar. Di era digital saat ini, para pemuda di usia produktif semakin terdorong untuk menjadi pelaku usaha bermodal minim, dengan mengandalkan kreativitas, teknologi, dan keberanian untuk mencoba. Langkah kecil seperti memanfaatkan media sosial, sistem dropship, dan kolaborasi desain menjadi lompatan awal menuju kemandirian finansial.

    modal itu penting, tapi bukan segalanya. Di era sekarang, kita bisa mulai bisnis dari modal ide kreatif dulu. Misalnya, memanfaatkan media sosial buat branding, kolaborasi barter sama temen yang punya skill desain, atau bahkan dropship biar gak perlu stok barang dulu. Kuncinya “Start small, think big, and move fast. Jangan nunggu semua serba siap, mulai aja dulu dari yang ada.” kata Arkham

    Tips Memulai Bisnis Modal Minimal

    Memulai bisnis dengan modal kecil membutuhkan keterampilan khusus yang bisa menggantikan keterbatasan dana. Critical Thinking atau mengambil keputusan cepat atau tepat adalah kemampuan untuk menganalisis situasi secara objektif, mengevaluasi berbagai opsi dan, mengambil keputusan yang tepat dalam waktu singkat.

    Bisnis Modal Minimal tidak kalah penting Communication skill atau kunci membangun hubungan seperti meyakinkan tentang nilai produk, menegosiasi, membangun jaringan. Adaptability atau kemampuan beradaptasi juga penting mengingat dinamika dunia bisnis yang terus berubah. Sebagai pelaku bisnis harus siap melakukan perubahan strategi kapan saja dibutuhkan. 

    Sebagai pelengkap, penguasaan digital skill dasar seperti copywriting untuk menciptakan konten yang menarik.Basic design untuk visualisasi ide serta kemampuan menganalisis data untuk menghasilkan insight bernilai.

    Manajemen waktu & prioritas. Arkham menggunakan sistem to-do list dan time blocking, jadi waktu kuliah tetap fokus, tapi bisnis juga tetap jalan. Anggap aja keduanya saling mendukung ilmu dari bangku kuliah bisa kamu praktekkan langsung di lapangan bisnis. Jadi bukan dua dunia yang saling bertabrakan, tapi dua dunia yang saling melengkapi.

    Menyelaraskan pendidikan dengan aktivitas wirausaha di usia muda kuncinya adalah  manajemen waktu & prioritas. Menggunakan sistem to-do list dan time blocking menjadikan waktu kuliah tetap fokus, tapi bisnis juga tetap jalan.

    Anggap aja keduanya saling mendukung ilmu dari bangku kuliah bisa kamu praktekkan langsung di lapangan bisnis. Jadi bukan dua dunia yang saling bertabrakan, tapi dua dunia yang saling melengkapi.

    Sektor bisnis yang paling potensial untuk dimasuki oleh wirausahawan muda yang relate banget sama gaya hidup Gen Z. Contohnya F&B kekinian kayak Chocotea, Digital service seperti konten kreator, social media management, sampai design dan AI tools.

    Tidak masalah kalau belum punya banyak pengalaman justru itu jadi alasan buat terus belajar dan nyoba. Belajar dari trial-error karena pengalaman terbaik ya praktik langsung.Konsumsi konten edukatif seperti podcast, YouTube, artikel. Jangan malu belajar dari orang lain termasuk kritik.

    Contoh untuk Chocotea, bisa pakai konten FOMO di TikTok, testimoni dari temen, dan visual yang aesthetic. Jangan lupa mainin storytelling—biar brand kita gak cuma jual produk, tapi juga vibes dan value.

    Tokoh yang Sukses

    Ada banyak, tapi beberapa yang paling relate seperti William Tanuwijaya (Tokopedia) yang mulai dari warnet,Gibran Rakabuming (Chilli Pari & Markobar). Mereka punya sama: visi, konsistensi, dan keberanian buat mulai dari nol.

    Mindset itu bukan bawaan lahir, tapi hasil latihan. cara kembangin banyak baca dan diskusi (biar sudut pandang makin luas. Keluar dari zona nyaman karena pertumbuhan datang dari tantangan. Biasakan untuk action first, perfect later.

    “Jangan tunggu hebat baru mulai, mulai aja dulu biar jadi hebat.”

    Baca juga Menjadi Gen Z yang Produktif, Tips Mengatur Waktu di Era Multitasking