Penulis: Ariel Setya

  • Tokoh Inspiratif Kota Malang Djoko Prihatin

    Tokoh Inspiratif Kota Malang Djoko Prihatin

    Djoko Prihatin, pemilik Richdjoe Barbershops, secara resmi menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Kota Malang. Melalui kepemimpinannya, ia mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dengan memberdayakan sektor usaha kecil menengah dan industri kreatif.

    Sebagai entrepreneur muda, Djoko Prihatin menunjukkan bahwa kerja keras dari nol bisa membawa pada kesuksesan nyata. Ia memulai kariernya dari usaha barbershop, lalu mengembangkannya menjadi jaringan bisnis yang lebih luas. Dalam memimpin KADIN, ia menerapkan konsep “GPS Impact” yang menekankan pertumbuhan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, dan dampak sosial positif bagi Kota Malang.

    Selain Djoko Prihatin, Kota Malang juga melahirkan banyak tokoh inspiratif di berbagai bidang. Heli Suyanto, Wakil Wali Kota Batu, menunjukkan dedikasi tinggi dalam mengembangkan sektor pariwisata dan agribisnis. Di bawah kepemimpinannya, Kota Batu tumbuh menjadi destinasi wisata unggulan di Jawa Timur dengan pendekatan berbasis alam dan edukasi.

    Tokoh inspiratif ini mencerminkan dinamika positif yang terus berkembang di Malang Raya. Mereka tidak hanya memimpin di bidangnya masing-masing, tetapi juga menggerakkan inovasi dan perubahan. Jejak rekam mereka dalam memajukan sektor ekonomi, pariwisata, dan pembangunan sosial menginspirasi generasi muda untuk ikut berkontribusi.

    Kota Malang memang menjadi ladang subur bagi lahirnya tokoh-tokoh inspiratif. Kekayaan sejarah, potensi ekonomi, serta sumber daya manusia yang berkualitas menciptakan ekosistem yang kondusif bagi para changemaker. Universitas-universitas ternama di kota ini juga memperkaya khazanah intelektual dan memicu lahirnya gagasan-gagasan inovatif.

    Akhirnya, Djoko Prihatin membuktikan bahwa visi yang jelas, kerja keras, dan komitmen terhadap kemajuan bersama mampu menghasilkan perubahan positif. Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar soal jabatan, melainkan tentang memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

    Baca juga : Sherly Tjoanda: Dari Ibu Tiga Anak ke Gubernur Maluku Utara

  • Angela Tanoesoedibjo Mendorong Peran Perempuan di Media

    Angela Tanoesoedibjo Mendorong Peran Perempuan di Media

    CEO iNews Media Group, Angela Tanoesoedibjo, menegaskan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam mendorong kemajuan Indonesia. Sebagai pemimpin media, Angela memahami betul kekuatan media dalam membentuk narasi publik dan menciptakan platform yang mampu mengangkat isu-isu perempuan.

    Komitmen tersebut diwujudkan secara nyata melalui kepemimpinannya di iNews Media Group. Secara aktif memberikan ruang yang layak bagi suara perempuan dalam berbagai pemberitaan dan program yang mereka produksi.

    Salah satu bentuk konkret dari komitmen ini adalah penyelenggaraan Women’s Inspiration Awards (WIA) 2025. Angela tidak hanya menyuarakan dukungan secara verbal, tetapi juga mengimplementasikan visinya.

    Women’s Inspiration Awards (WIA) 2025 platform penting dalam memberikan pengakuan kepada perempuan-perempuan inspiratif Indonesia atas kontribusi mereka di berbagai bidang.

    Lebih jauh lagi, pengalaman Angela mulai dari dunia bisnis hingga pemerintahan. Perspektif uniknya dalam memahami berbagai tantangan yang dihadapi perempuan.

    Perannya sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam kabinet Indonesia Maju periode 2019–2024. Turut memperkaya pemahamannya terhadap kebijakan publik yang berpihak kesetaraan gender. Sekaligus memperkuat keyakinannya akan pentingnya peran sektor swasta dalam pemberdayaan perempuan.

    Tak hanya berhenti di tingkat kebijakan, Angela juga aktif membangun kolaborasi lintas sektor untuk memperluas dampak program-programnya.

    Kontribusi di Media

    Angela pernah terlibat dalam program SheHacks, yang bertujuan mendorong pemberdayaan perempuan di bidang teknologi. Serta berpartisipasi dalam acara Girls in ICT Day untuk mendukung perempuan muda memasuki sektor teknologi informasi.

    Pengakuan atas kontribusinya datang dari berbagai pihak, termasuk Fortune Indonesia. Dalam edisi 40 Under 40, Fortune menghadirkan tokoh-tokoh muda dari berbagai latar belakang. Mulai dari pebisnis, eksekutif, seniman, olahragawan, penggerak sosial, hingga insan pemerintahan.

    Di antara mereka, Angela terpilih sebagai salah satu tokoh muda inspiratif. Sebuah penghargaan yang menegaskan kredibilitasnya sebagai pemimpin yang memberikan dampak signifikan bagi kemajuan bangsa.

    Lebih dari sekadar program temporer, dukungan Angela terhadap perempuan merupakan bagian dari visi jangka panjang. Terintegrasi dalam setiap aspek kepemimpinannya.

    Melalui iNews Media Group terus mendorong terciptanya konten dan program yang mengusung kesetaraan gender, memberikan inspirasi, dan membuka peluang bagi perempuan untuk berkembang.

    Sebagai pemimpin media yang berpengaruh, Angela memanfaatkan posisinya untuk menciptakan perubahan sistemik. Selain itu, tidak hanya menyediakan platform bagi perempuan yang telah sukses. Tetapi juga membangun ekosistem yang mendukung perempuan di berbagai tingkatan agar dapat mencapai potensi maksimal mereka.

    Dengan langkah-langkah nyata, inovasi berkelanjutan, dan komitmen yang konsisten, Angela Tanoesoedibjo telah menunjukkan bahwa kepemimpinan media dapat menjadi kekuatan transformatif dalam mendukung kemajuan perempuan dan menciptakan perubahan positif bagi masyarakat Indonesia.

    Baca juga : Stephanie Case: Menaklukkan 100K Ultramarathon Sambil Menyusui

  • Zero Waste Beauty Gerakan Konsumen Sadar Lingkungan

    Zero Waste Beauty Gerakan Konsumen Sadar Lingkungan

    Tahun 2025 menghadirkan transformasi revolusioner dalam industri kecantikan. Gerakan Zero Waste Beauty bangkit dengan kekuatan yang tak terbendung, mengubah cara konsumen memandang produk kecantikan.

    Konsumen modern kini menilai setiap produk berdasarkan dua kriteria utama yaitu efektivitas dan dampak lingkungan. Gerakan ini muncul sebagai respons langsung terhadap krisis sampah plastik global dan jejak karbon industri kosmetik yang mencapai miliaran ton setiap tahunnya.

    Konsumen Mengubah Pola Pembelian Secara Drastis Perubahan mendasar sedang terjadi dalam perilaku konsumen. Mereka aktif memburu produk dengan kemasan refillable dan memprioritaskan brand yang menerapkan sistem kemasan kembali.

    Lebih dari itu, konsumen kini memilih produk dengan formula konsentrat yang secara signifikan mengurangi volume packaging. Generasi Z dan Milenial memimpin revolusi ini dengan melakukan riset mendalam tentang sustainability practices sebelum memutuskan pembelian.

    Mereka tidak lagi bertindak impulsif, melainkan menerapkan strategi “conscious consumption” yang matang. Sebagai dampak langsung dari perubahan mindset ini, konsumen mulai berinvestasi pada produk berkualitas tinggi yang tahan lama.

    Mereka secara sadar menggantikan kebiasaan impulse buying produk murah berkualitas rendah dengan filosofi “lebih baik satu produk premium yang awet daripada beberapa produk disposable.” Industri Merespons dengan Inovasi Kemasan Revolusioner Menghadapi tuntutan konsumen yang semakin vokal, industri kecantikan meluncurkan serangkaian inovasi kemasan yang mengagumkan.

    Para engineer mengembangkan kemasan edible dari bahan alga, menciptakan tube pasta gigi dalam bentuk tablet, dan membangun sistem refill station di toko-toko kosmetik. Sementara itu, brand-brand raksasa seperti Unilever, L’Oréal, dan P&G menginvestasikan miliaran dollar untuk mengembangkan kemasan biodegradable dan sistem sirkuler.

    Mereka berlomba menciptakan solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga praktis untuk konsumen. Paralel dengan perkembangan tersebut, konsep “package-free beauty” berkembang dengan pesat.

    Produsen meluncurkan produk berbentuk solid bars untuk shampoo, kondisioner, dan sabun wajah yang sama sekali tidak memerlukan kemasan plastik. Teknologi printing 3D bahkan memungkinkan konsumen mencetak kemasan sendiri di rumah menggunakan bahan ramah lingkungan.

    Dampak Zero Waste Beauty

    Gerakan Menciptakan Dampak Ekonomi dan Sosial yang Luas Transformasi ini menghasilkan ekosistem ekonomi baru yang menguntungkan semua pihak. Startup-startup lokal yang berfokus pada produk ramah lingkungan tumbuh subur, menciptakan ribuan lapangan kerja baru sambil mendorong gelombang inovasi.

    Bersamaan dengan itu, program take-back dari brand besar membangun sistem ekonomi sirkular yang efektif. Program ini tidak hanya mengurangi limbah secara dramatis, tetapi juga memberikan insentif menarik kepada konsumen untuk berpartisipasi aktif.

    Tantangan Menghadang, Namun Masa Depan Cerah Terbentang Meski momentum positif terus menguat, gerakan ini menghadapi beberapa tantangan serius. Harga produk sustainable yang masih relatif tinggi menjadi barrier utama bagi sebagian konsumen.

    Selain itu, keterbatasan akses di daerah-daerah tertentu masih menghambat penyebaran gerakan ini secara merata. Namun demikian, dukungan regulasi pemerintah yang semakin kuat dan kesadaran konsumen yang terus meningkat menciptakan optimisme tinggi.

    Para ahli memproyeksikan Zero Waste Beauty akan menjadi standar wajib industri dalam waktu dekat. Evolusi Nilai yang Mengubah Paradigma Industri Gerakan Zero Waste Beauty 2025 bukan sekadar tren sesaat, melainkan representasi konkret dari evolusi nilai konsumen yang mengutamakan keberlanjutan planet.

    Konsumen kini memahami bahwa pilihan mereka hari ini akan menentukan kondisi bumi untuk generasi mendatang. Akhirnya, gerakan ini menandai era baru yang revolusioner. Era dimana kecantikan dan kepedulian lingkungan tidak lagi berdiri terpisah.

    Melainkan berjalan beriringan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Industri kecantikan sedang menulis ulang definisi “cantik” cantik bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk planet yang kita tinggali.

    Baca juga : Dari Kecantikan Menuju Kebahagiaan: Merawat Diri untuk Jiwa yang Lebih Sehat

  • Tren Work-Life Balance 2025

    Tren Work-Life Balance 2025

    Tahun 2025 membawa perubahan fundamental dalam cara masyarakat memandang hubungan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Generasi baru mulai menjadikan filosofi “Work-Life Balance “ sebagai mantra untuk menolak kultur hustle dan mengutamakan keseimbangan hidup secara holistik.

    Pandemi COVID-19 mempercepat perubahan ini dengan mengubah persepsi terhadap makna bekerja. Para pekerja mulai menyadari bahwa produktivitas tidak selalu sebanding dengan jam kerja yang panjang. Oleh karena itu, mereka kini lebih menerima konsep “working smart, not hard” yang mendorong fokus pada hasil, bukan pada durasi kerja.

    Selanjutnya, Generasi Milenial dan Z mengambil peran utama dalam memimpin transformasi ini. Mereka secara aktif menuntut fleksibilitas kerja dan menolak budaya lembur yang berlebihan. Alih-alih mengejar penumpukan aset, mereka lebih memprioritaskan kualitas hidup, kesehatan mental, dan waktu untuk pengembangan diri.

    Seiring berjalannya waktu, banyak industri mulai menerapkan remote work dan hybrid working model sebagai standar baru. Para pekerja kini memilih tempat dan waktu kerja yang paling sesuai dengan ritme produktivitas mereka. tren work-life balance di tahun 2025

    tren work-life balance di tahun 2025

    Di sisi lain, sejumlah perusahaan global mulai mengadopsi sistem four-day work week. Penelitian membuktikan bahwa pengurangan hari kerja justru meningkatkan produktivitas, kreativitas, dan kepuasan kerja. Para pekerja memanfaatkan waktu libur tambahan untuk recharge, lalu kembali bekerja dengan energi yang lebih segar.

    Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental pun mencapai puncaknya pada tahun 2025. Banyak perusahaan mulai menyediakan program wellness yang lebih komprehensif, termasuk konseling psikologis, sesi yoga, dan praktik mindfulness. Mereka juga mulai menerapkan mental health days sebagai bagian dari kebijakan yang normal dan tidak lagi dianggap tabu.

    Dalam konteks ini, banyak orang mulai menggantikan pendekatan work-life balance yang kaku dengan work-life integration. Mereka tidak lagi memisahkan kehidupan profesional dan personal secara tegas, melainkan mengelola keduanya agar saling melengkapi. Mereka juga menyesuaikan prioritas sesuai fase kehidupan yang sedang dijalani.

    Lebih lanjut, kemajuan teknologi seperti Artificial Intelligence dan otomatisasi memberi peluang besar kepada manusia untuk fokus pada pekerjaan yang bermakna dan kreatif. Kini, pekerja menyerahkan tugas-tugas repetitif dan administratif kepada teknologi, sehingga mereka bisa lebih mengembangkan soft skills dan mengejar passion masing-masing.

    Untuk menjaga keseimbangan digital, banyak orang mulai menggunakan digital wellness tools. Aplikasi yang memblokir notifikasi di luar jam kerja dan alat pelacak kesejahteraan semakin banyak mereka manfaatkan untuk menetapkan batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi.

    Meski begitu, perubahan ini tetap menghadirkan tantangan. Perusahaan harus menyesuaikan sistem evaluasi kinerja agar tidak lagi bergantung pada kehadiran fisik. Selain itu, mereka perlu membangun ulang budaya organisasi agar tetap mendukung fleksibilitas tanpa kehilangan semangat kolaborasi dan inovasi.

    Di saat yang sama, individu pun harus meningkatkan kemampuan self-management. Mereka perlu mengembangkan disiplin diri dan menetapkan batasan yang sehat untuk memanfaatkan sistem kerja fleksibel secara maksimal.

    Akhirnya, tren work-life balance di tahun 2025 mencerminkan perubahan nilai masyarakat yang kini lebih menghargai kualitas hidup daripada sekadar kuantitas kerja. Perubahan ini bukan hanya soal waktu, melainkan tentang menciptakan kehidupan yang lebih bermakna, manusiawi, dan berkelanjutan.

    Baca juga : Tren Tiktok “gapapa kan?”

  • Kecanduan Konten Pendek Generasi Krisis Fokus di Era TikTok

    Kecanduan Konten Pendek Generasi Krisis Fokus di Era TikTok

    TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts membentuk cara tumbuh Generasi Z di tengah revolusi digital. Konten berdurasi 15–60 detik mengubah cara mereka mengonsumsi informasi dan hiburan. Namun, di balik kepraktisannya, konten ini menyimpan ancaman serius terhadap kemampuan fokus dan konsentrasi.

    Platform media sosial merancang algoritma yang secara sengaja memanfaatkan sistem reward dopamin di otak. Setiap kali pengguna melakukan scroll, menyukai, atau menemukan konten baru, sistem ini memberikan stimulus kepuasan instan yang mendorong mereka terus mencari lebih banyak. Konten pendek memperkuat pola ini karena menyajikan gratifikasi cepat yang mudah dicerna, sehingga menciptakan siklus konsumsi yang sulit dihentikan.

    Aplikasi-aplikasi ini juga menyematkan fitur autoplay dan infinite scroll untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Transisi mulus antar konten membuat pengguna kehilangan kesadaran waktu dan terus terjebak dalam pola konsumsi pasif.

    Dampak Konten Pendek

    Konsumsi konten pendek secara berlebihan telah mengakibatkan penurunan attention span yang signifikan pada Generasi Z. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata durasi fokus manusia telah menurun dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya 8 detik saat ini. Fenomena ini menciptakan kesulitan dalam mengerjakan tugas yang membutuhkan konsentrasi mendalam.

    Generasi Z mengalami kesulitan membaca teks panjang, menonton film tanpa gangguan, atau mengikuti pembelajaran yang membutuhkan atensi berkelanjutan. Mereka terbiasa dengan stimulasi visual yang cepat dan beragam, sehingga aktivitas yang monoton atau membutuhkan kesabaran menjadi sangat menantang.

    Krisis fokus ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang akademik, siswa mengalami kesulitan memproses informasi kompleks dan mempertahankan konsentrasi selama pembelajaran. Kemampuan berpikir kritis dan analitis juga terganggu karena terbiasa dengan informasi yang tersaji secara instant dan superficial.

    Di tempat kerja, fenomena ini menciptakan tantangan produktivitas. Generasi Z cenderung mudah terdistraksi dan kesulitan menyelesaikan tugas yang membutuhkan fokus mendalam dalam waktu lama.

    Mengatasi kecanduan konten pendek membutuhkan pendekatan holistik. Digital detox secara berkala, pengaturan waktu screen time, dan menciptakan zona bebas gadget dapat membantu memulihkan kemampuan fokus. Praktik mindfulness dan meditasi juga terbukti efektif melatih konsentrasi.

    Institusi pendidikan perlu mengadaptasi metode pembelajaran yang mengakomodasi karakteristik Generasi Z sambil tetap melatih kemampuan fokus mereka. Integrasi teknologi dalam pembelajaran harus dilakukan secara bijak untuk mendukung, bukan menggantikan, proses berpikir mendalam.

    Kesadaran akan dampak negatif konsumsi konten pendek adalah langkah pertama menuju perubahan. Generasi Z perlu mengembangkan literasi digital yang sehat dan belajar menggunakan teknologi sebagai alat, bukan membiarkan diri dikuasai olehnya.

    baca juga : Akses Pendidikan di Indonesia Masih Jadi Privilege?

  • Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Jiwa Generasi Digital

    Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Jiwa Generasi Digital

    Generasi Z, yang lahir antara 1997-2012, menghadapi krisis kesehatan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Data dari American Psychological Association menunjukkan bahwa 91% Gen Z melaporkan mengalami gejala stres fisik atau emosional. Peran masif media sosial dalam membentuk realitas sosial menghasilkan angka tertinggi dibandingkan generasi sebelumnya

    Media sosial menciptakan paradoks yang unik bagi Gen Z. Mereka adalah generasi yang paling terhubung secara digital, namun paradoksnya mereka juga melaporkan tingkat kesepian dan isolasi sosial tertinggi. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter telah menjadi ruang utama untuk interaksi sosial. Namun, ironisnya menciptakan jarak emosional yang lebih dalam.

    Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, bukan kesejahteraan pengguna. Hasilnya, Gen Z terpapar konten yang memicu kecemasan, perbandingan sosial yang tidak sehat, dan validasi yang bergantung pada metrik digital. Seperti likes, views, dan followers. Ketergantungan pada validasi eksternal ini mengikis kepercayaan diri intrinsik dan menciptakan siklus kecemasan berkelanjutan.

    Dampak Psikologis yang Kompleks

    Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial berlebihan pada Gen Z berkorelasi dengan meningkatnya tingkat depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Fenomena “compare and despair” menjadi sangat nyata ketika mereka terus-menerus. Dengan membandingkan kehidupan mereka dengan highlight reel orang lain di media sosial.

    Fear of Missing Out (FOMO) telah berevolusi menjadi Fear of Missing Everything (FOME). Di mana Gen Z merasa tertekan untuk selalu update dengan tren terbaru, berita viral, dan aktivitas teman-teman mereka. Tekanan ini menciptakan chronic stress yang berdampak pada kualitas tidur, konsentrasi, dan kesehatan mental secara keseluruhan.

    Gen Z juga menghadapi bentuk baru dari perundungan melalui cyberbullying yang dapat terjadi 24/7 tanpa batas geografis. Cancel culture dan public shaming di media sosial menciptakan lingkungan yang tidak aman. Dengan berekspresi dan membuat kesalahan, padahal proses trial and error adalah bagian normal dari perkembangan remaja.

    Fenomena toxic positivity di media sosial juga menciptakan tekanan untuk selalu tampil bahagia dan sukses. Mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya normal dan perlu diproses. Hal ini menyebabkan emotional suppression yang berbahaya bagi kesehatan

    Meskipun tantangan berat, Gen Z juga menunjukkan resiliensi luar biasa. Mereka lebih terbuka membicarakan kesehatan mental, aktif mencari bantuan profesional, dan menggunakan platform digital untuk edukasi mental health. Gerakan digital detox, mindful social media use, dan pembentukan komunitas support online positif. Menunjukkan bahwa generasi ini tidak hanya menjadi korban, tetapi juga agen perubahan untuk kesehatan mental yang lebih baik.

    Kunci utama adalah menciptakan literasi digital yang sehat. Mengembangkan resiliensi emosional, dan membangun koneksi otentik di luar dunia digital. Generasi yang lahir dan besar di era teknologi ini.

    Baca juga : Kerja Ikhlas, Cleaner Masjid Dapat Hadiah Haji dari Kerajaan Saudi

  • Monthly Check-In Strategi Tim Unggul dengan Evaluasi Bulanan

    Monthly Check-In Strategi Tim Unggul dengan Evaluasi Bulanan

    Perusahaan mengadakan rapat evaluasi bulanan sebagai instrumen penting dalam manajemen modern yang harus dijalankan secara konsisten. Praktik ini meningkatkan kinerja tim dan mendorong kesuksesan organisasi secara menyeluruh.

    Evaluasi bulanan memungkinkan manajemen untuk memantau progres secara rutin, memastikan bahwa setiap proyek atau inisiatif berjalan sesuai rencana.

    Dengan mengadakan pertemuan bulanan, manajemen mengidentifikasi hambatan sejak dini dan mengambil tindakan korektif sebelum situasi memburuk. Langkah ini mencegah pemborosan waktu, sumber daya, dan anggaran3 yang tidak perlu.

    Rapat evaluasi membuka ruang dialog di mana setiap anggota tim menyampaikan pandangan, kendala, dan ide-ide inovatif. Komunikasi dua arah ini membangun kepercayaan antara manajemen dan karyawan serta meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan. Ketika perusahaan menghargai masukan karyawan, motivasi kerja mereka meningkat secara signifikan.

    Dalam dunia bisnis yang dinamis, manajemen menyesuaikan strategi dan prioritas melalui evaluasi bulanan. Rapat ini memberi ruang untuk beradaptasi dengan perubahan pasar atau kondisi internal. Dengan demikian, perusahaan mempertahankan daya saing di tengah persaingan yang ketat.

    Melalui evaluasi rutin, manajemen mengidentifikasi kebutuhan peningkatan keterampilan atau pelatihan tambahan. Perusahaan kemudian menyusun program pengembangan yang tepat sasaran, sehingga investasi dalam human capital menjadi lebih efektif dan terukur.

    Rapat evaluasi mencegah konflik antar departemen atau individu dengan membahas isu-isu potensial secara terbuka dan konstruktif. Pendekatan ini menghindarkan organisasi dari gangguan produktivitas akibat miskomunikasi.

    Rapat evaluasi bulanan menanamkan budaya perbaikan berkelanjutan dalam organisasi. Karyawan secara aktif mencari cara yang lebih baik, efisien, dan inovatif dalam menjalankan tugas mereka.

    Dengan mengimplementasikan rapat evaluasi bulanan secara konsisten, perusahaan tidak hanya meningkatkan kinerja tim dalam jangka pendek, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan jangka panjang.

    Melalui evaluasi bulanan, manajemen mengumpulkan data konkret tentang return on investment dari berbagai inisiatif. Dengan data tersebut, mereka mengukur efektivitas program dan mengambil keputusan berbasis bukti untuk periode selanjutnya.

    Baca juga : Kitabisa.com: Platform Crowdfunding Sosial Terbesar di Indonesia

  • Dari Kegelapan Menuju Terang Melalui Pendidikan dan Kesetaraan

    Dari Kegelapan Menuju Terang Melalui Pendidikan dan Kesetaraan

    MALANG, 24 Mei 2025 – Seminar Kampung Season 3 tentang Refleksi terhadap pemikiran R.A. Kartini dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” sukses terselenggara pada Minggu (25/5) di Balai dusun Busu, Desa Slamparejo Kec. Jabung. Menghadirkan Presiden Mahasiswa UIN Maliki Malang, Muammar Shidiq dan Maharina Novia Z, Marketing Communication Rumah Baca Cerdas A. Malik Fadjar. Seminar ini menjelaskan relevansi yang kuat dengan tantangan masa kini, khususnya dalam isu kesetaraan gender dan pendidikan perempuan. 

    “Kartini menegaskan bahwa wanita dan pria memiliki hak yang sama dalam segala aspek kehidupan. Visinya tentang kesetaraan ini menjadi kontras dengan praktik pernikahan dini yang masih terjadi di era modern, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diperjuangkannya,” jelas Muammar Shidiq. 

    Maka dari itu, pendidikan menjadi kunci utama transformasi sosial menurut Kartini. Ia percaya bahwa melalui pendidikan tinggi, perempuan dapat mengubah budaya patriarki yang mengakar, termasuk tradisi menikah dini yang membatasi potensi perempuan.

    Di era Kartini, kemampuan mengubah lingkungan nenek moyang dan pengalaman tradisional menjadi bukti kekuatan pendidikan dalam mentransformasi masyarakat. Peran perempuan tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi sebagai agen perubahan sosial.

    Lebih lanjut dalam Seminar kampung bertema “Perempuan dan Peradaban”, Muammar menegaskan “Warisan pemikiran Kartini mengajarkan bahwa perubahan pola pikir melalui pendidikan dapat merevolusi budaya dan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan, dimana setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang”.

    Menurut Kartini, perempuan memiliki peran penting sebagai agen perubahan di masyarakat. Melalui pendidikan tinggi, perempuan dapat mengubah pola pikir, budaya, dan lingkungan di daerah asal mereka. Para individu akan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh sebagai modal untuk mentransformasi tradisi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

    Baca juga : Safira Hunar Bahas How to Branding Yourself in Digital Era

  • Tren Tiktok “gapapa kan?”

    Tren Tiktok “gapapa kan?”

    Fenomena “Gapapa Kan” di TikTok kini menjadi salah satu tren yang menarik di media sosial. Para pembuat konten umumnya menampilkan perilaku atau situasi yang mungkin kontroversial, lalu menutupnya dengan pernyataan retoris “gapapa kan?” sebagai cara meminta validasi atau meredam kritik.

    Dari perspektif psikologi sosial, tren ini menunjukkan kebutuhan kuat akan validasi di era digital. Ketika mereka mengucapkan “gapapa kan?”, para kreator sebenarnya meminta persetujuan dari audiens, meskipun dengan gaya santai.

    Hal ini memperlihatkan bagaimana pengguna media sosial makin bergantung pada validitas eksternal. TikTok pun berperan dalam membentuk lanskap baru dalam hal persetujuan sosial.

    Dari Berbagai Sudat Pandang

    Secara sosiologis, tren ini mencerminkan pergeseran norma sosial. Dulu, masyarakat menganggap perilaku tertentu tabu atau tidak pantas, tetapi kini banyak pengguna menunjukkan hal tersebut secara terbuka dengan dalih “gapapa kan?”.

    Dari sudut pandang ekonomi atensi, tren ini semakin menarik. Dalam persaingan ketat di TikTok untuk menarik perhatian, para kreator menggunakan frasa “gapapa kan?” untuk mendorong keterlibatan audiens. Pernyataan ini memancing penonton agar memberi reaksi, baik berupa persetujuan maupun penolakan, sehingga algoritma TikTok akan semakin menyebarkan konten mereka.

    Dengan menyisipkan frasa “gapapa kan?”, para kreator menerapkan bentuk soft power secara halus. Dari segi budaya, tren ini mencerminkan masyarakat yang semakin permisif.

    Tren ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab platform. Dengan algoritma yang cenderung mempromosikan konten kontroversial demi engagement, TikTok secara tidak langsung turut mendorong penyebaran tren-tren yang kadang berisiko atau problematik.

    Dalam era ketika batas antara ruang pribadi dan publik semakin kabur, tren ini memperlihatkan ketidaknyamanan kolektif terhadap ambiguitas moral dan etika di media sosial. Dengan mencari validasi lewat frasa sederhana ini, para pembuat konten justru mengakui keraguan mereka sendiri terhadap perilaku yang mereka tampilkan.

    Tren “gapapa kan?” di TikTok bukanlah sekadar hiburan remeh. Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam dinamika sosial, psikologis kolektif, dan budaya digital. Media sosial kini bukan hanya tempat berbagi konten, tetapi juga arena untuk menegosiasikan norma-norma baru dalam masyarakat masa kini.

    Baca juga : Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya

  • Profil Ibrahim Sjarief Assegaf Suami Najwa Shihab

    Profil Ibrahim Sjarief Assegaf Suami Najwa Shihab

    Najwa Shihab menikah dengan Ibrahim Sjarief Assegaf, seorang pengusaha yang memiliki latar belakang pendidikan dan keluarga yang cukup terpandang.

    Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Ibrahim Sjarief Assegaf

    Ibrahim menempuh pendidikan tinggi di bidang ekonomi dan bisnis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pendidikan formalnya mendukung perjalanan kariernya sebagai pengusaha sukses di Indonesia.

    Secara lebih spesifik, Ibrahim Assegaf memiliki dasar pendidikan yang kuat di bidang hukum. Ia menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, salah satu institusi pendidikan ternama di Indonesia. Selama masa kuliah, kecerdasannya terlihat dari keaktifannya mengikuti berbagai kegiatan akademis dan organisasi.

    Tidak puas dengan pencapaian tersebut, Ibrahim tidak berhenti pada gelar sarjana dan melanjutkan pendidikan pascasarjana di luar negeri. Sebagai hasilnya, ia berhasil meraih gelar Master of Laws (LL.M) dari Harvard Law School, Amerika Serikat yang merupakan salah satu fakultas hukum terbaik di dunia. Tentunya, pencapaian ini membuktikan dedikasi dan kecemerlangan intelektualnya dalam bidang hukum.

    Dari segi latar belakang keluarga, Ibrahim berasal dari keluarga Assegaf yang memiliki garis keturunan Arab-Indonesia. Pada kenyataannya, keluarga Assegaf dikenal sebagai salah satu keluarga terpandang dengan tradisi bisnis yang kuat.

    Akhirnya, pernikahan keduanya menggabungkan dua latar belakang yang berbeda – Najwa dari dunia jurnalistik dan Ibrahim dari dunia bisnis yang saling melengkapi dalam membangun keluarga yang harmonis.

    Karier Profesional yang Gemilang

    Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ibrahim Assegaf membangun karir yang cemerlang di bidang hukum. Ia bergabung dengan firma hukum terkemuka di Indonesia dan dengan cepat membangun reputasi sebagai pengacara berbakat dengan keahlian khusus di bidang hukum bisnis dan transaksi komersial.

    Ibrahim adalah salah satu pendiri Assegaf Hamzah & Partners, sebuah firma hukum yang berkembang menjadi salah satu kantor hukum terdepan di Indonesia. Firma ini menangani kasus-kasus kompleks dan besar yang melibatkan perusahaan multinasional dan proyek-proyek strategis.

    Baca juga : Shai Gilgeous-Alexander: Bintang Muda Menuju Puncak NBA sebagai MVP 2024-25