Akademis vs Eksistensi FOMO Mahasiswa

FOMO atau “Fear of Missing Out” semakin mengakar di kalangan mahasiswa Indonesia. Istilah ini menggambarkan kecemasan yang dirasakan seseorang saat ia merasa tertinggal dari pengalaman atau peristiwa menarik yang dialami orang lain. Di lingkungan kampus yang dinamis, mahasiswa menghadapi FOMO sebagai tantangan psikologis yang memengaruhi kehidupan sosial sekaligus performa akademik mereka.

Di era digital, mahasiswa meluaskan kehidupan mereka ke ruang virtual yang menjadi arena baru untuk menunjukkan eksistensi sosial. Mereka aktif mengunggah momen kebersamaan dengan teman, prestasi akademik, dan berbagai kegiatan lainnya agar banyak orang dapat melihatnya. Akibatnya, mereka merasa tertekan untuk terus menampilkan eksistensi di dunia fisik maupun virtual.

Mahasiswa kini mengukur identitas mereka tidak hanya dari pencapaian akademis, tetapi juga dari aktivitas dan kehadiran mereka dalam berbagai kegiatan sosial. Mereka mengikuti kegiatan organisasi dan partisipasi komunitas yang menjadi parameter baru dalam menentukan “kesuksesan” sebagai mahasiswa.

Banyak mahasiswa merasa cemas dan mengikuti setiap kegiatan yang dianggap penting karena mereka takut kehilangan momen berharga atau kesempatan membangun jaringan.

Dampak FOMO

FOMO memberikan dampak signifikan pada kehidupan akademis mahasiswa. Mereka seringkali memecah konsentrasi antara kebutuhan belajar dan dorongan untuk terus mengikuti perkembangan sosial. Perhatian yang terbagi ini mengurangi keefektifan mereka dalam belajar dan memahami materi.

Mahasiswa yang mengalami FOMO tinggi cenderung menunda tugas akademis demi mengikuti aktivitas sosial, sehingga mereka menciptakan lingkungan stres dan kecemasan yang sulit diputus. Dari perspektif kesehatan mental, para mahasiswa yang mengalami FOMO menunjukkan peningkatan gejala depresi dan kecemasan.

Mereka membandingkan secara kontras kehidupan mereka dengan teman sebaya yang tampak lebih menarik dan bermakna di media sosial. Perasaan tidak puas dengan pengalaman pribadi dan menurunnya rasa percaya diri muncul akibat hal ini. Mahasiswa dengan FOMO tinggi juga sering mengalami gangguan tidur karena mereka terus mengecek media sosial hingga larut malam, khawatir melewatkan informasi penting.

Semakin mahasiswa berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi sosial mereka, semakin mereka merasa teralienasi dari pengalaman otentik. Kehadiran fisik saja tidak lagi menjamin keterlibatan emosional ketika mereka lebih memperhatikan dokumentasi untuk media sosial. Mereka menjadikan interaksi sosial kurang bermakna karena motivasi mereka hanya untuk menunjukkan kehadiran, bukan menjalin koneksi sejati.

Untuk mengatasi FOMO, mahasiswa harus meningkatkan kesadaran diri dan kemampuan menetapkan prioritas. Mereka perlu belajar mengenali bahwa mereka tidak harus mengikuti semua kegiatan dan bahwa nilai suatu pengalaman terletak pada keterlibatan mendalam, bukan penampilan eksternal. Pihak institusi pendidikan juga dapat menciptakan lingkungan yang menekankan kualitas pembelajaran dan interaksi sosial daripada sekadar kuantitas kegiatan.

Pada akhirnya, mahasiswa perlu mengembangkan keterampilan krusial untuk menyeimbangkan kebutuhan akademis dan kehidupan sosial mereka. Dengan mengelola FOMO secara efektif, mahasiswa dapat memanfaatkan potensi penuh dari tahun-tahun formatif mereka di perguruan tinggi bukan hanya sebagai masa untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai waktu untuk pertumbuhan pribadi yang bermakna.

Baca juga : Rahasia Sehat dan Bahagia ala Jennifer Bachdim

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *