Perayaan Iman yang Menyatu dengan Budaya Papua
Di antara kehijauan pegunungan Papua dan dentuman tifa yang bergema dari rumah-rumah tradisional, komunitas umat Katolik berkumpul merayakan Hari Iman dengan cara yang khas. Yang membuat perayaan ini berbeda dari upacara keagamaan di tempat lain adalah integrasi yang erat dengan warisan budaya setempat. Tas tradisional noken terlihat di pundak para perempuan, anak-anak melantunkan pujian dengan melodi tradisional, dan pemimpin rohani mengenakan pakaian liturgi yang dihiasi corak khas Papua.
Perayaan keagamaan ini melampaui sekadar ritual ibadah. Ia menjadi titik temu antara dua elemen yang kerap dianggap terpisah: spiritualitas dan tradisi lokal. Di tanah Papua, keduanya tidak hanya berdampingan, tetapi melebur menjadi satu.
Noken: Lebih dari Sekadar Aksesori
Noken bukanlah semata-mata tas anyaman yang dikenakan di kepala atau bahu. Bagi masyarakat Papua, noken menyimpan filosofi yang dalam sebagai lambang kehidupan, harapan, dan ikatan komunal. Wajar jika noken menjadi bagian integral dari upacara keagamaan. Pastor Marthen Arebo dari Wamena menjelaskan kepada BBC Indonesia bahwa “Noken mengajarkan tentang berbagi tanggung jawab bersama.”
Sejak UNESCO mengakuinya sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2012, noken telah menjadi penghubung antara nilai-nilai leluhur dan kehidupan modern. Setiap tanggal 4 Desember memperingati sebagai Hari Noken untuk menghormati warisan budaya ini. Dalam praktik keagamaan Katolik daerah Papua, menggunakan noken untuk membawa persembahan atau melengkapi busana misa, menunjukkan bahwa spiritualitas berkembang dalam konteks budaya.
Liturgi yang Berakar pada Tradisi
Pada gereja-gereja terpencil seperti yang terdapat Keuskupan Agung Merauke, menyelenggarakan misa dengan nyanyian liturgi menggunakan bahasa setempat dan irama musik tradisional. Paduan suara tampil dengan pakaian adat, sementara prosesi membawa salib mengiringi tarian. Pendekatan ini bukan tanpa landasan. Gereja Katolik di Papua telah lama menerapkan inkulturasi, yaitu memadukan kekayaan budaya lokal dengan nilai-nilai Iman dan Budaya dalam Napas Orang Papua.
Uskup Agats, Mgr Aloysius Murwito, OFM, menyatakan kepada media Katolikana bahwa iman yang berakar pada budaya akan lebih kokoh. “Evangelisasi bukan tentang mengganti budaya, melainkan mencerahinya dengan cahaya Injil,” katanya.
Optimisme di Tengah Kesulitan
Meski perayaan berlangsung meriah, umat Katolik Papua menghadapi berbagai tantangan berat. Keterisolasian geografis, terbatasnya akses pendidikan, serta konflik sosial-politik menjadi bagian dari kenyataan sehari-hari. Dalam kesederhanaan dan keteguhan iman, mereka menemukan daya tahan.
Suster Elvira dari Kongregasi Putri Reinha Rosari yang melayani di pedalaman Yahukimo menceritakan bahwa anak-anak Papua belajar berdoa sambil menganyam noken. “Kami mengajarkan mereka tentang doa, kasih sayang, sekaligus kebanggaan akan budaya mereka. Anak-anak memahami bahwa Tuhan ada dalam kehidupan mereka,” tuturnya.
Dalam perayaan Hari Iman tahun ini, anak-anak mempersembahkan noken buatan mereka sendiri sebagai wujud kasih kepada sesama dan alam. Gesture sederhana penuh dengan makna.
Noken dan Keberlanjutan Iman
Melalui karya pastoral dan budaya, Gereja Katolik di Papua tidak hanya memelihara iman, tetapi juga memastikan kelestarian budaya. Banyak pastor dan pemimpin adat berkolaborasi dalam mendokumentasikan dan mengajarkan tentang noken serta bahasa daerah kepada generasi muda.
Keuskupan Jayapura mengembangkan program Sekolah Alam Noken, tempat anak-anak mempelajari keterampilan membuat noken sambil mendalami Kitab Suci dalam konteks lokal. Program ini melibatkan para ibu Papua, tokoh adat, dan komunitas religius, dengan keyakinan bahwa iman akan semakin kuat jika dibungkus dalam identitas yang utuh.
Iman yang Merangkul, Bukan Menggantikan
Catatan sejarah menunjukkan bahwa kehadiran Gereja Katolik di Papua sejak awal abad ke-20 telah mengalami berbagai dinamika. Pernah ada masa ketika budaya lokal “kurang sakral.” Namun kini, Gereja belajar dari pengalaman dan memilih merangkul budaya, bukan menggantinya.
Dalam misa besar Hari Iman di Sentani tahun ini, seorang imam muda, Pastor Mikael Pigai, menyampaikan homili dalam bahasa daerah Mee. Jemaat merespons dengan tawa, tangis, dan amin yang penuh semangat. “Tuhan berbicara dalam bahasa kita. Ia hadir dalam tifa, dalam noken, dan dalam hati kita,” kata Pastor Mikael, yang merupakan putra asli Papua.
Perayaan iman umat Katolik di Papua tidak hanya mencerminkan kesetiaan pada ajaran gereja, tetapi juga kebanggaan terhadap identitas budaya. Noken menjadi lebih dari sekadar objek: ia adalah lambang bagaimana iman dan adat dapat berjalan beriringan secara harmonis.
Di tengah berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan politik, umat Katolik Papua terus merajut harapan dalam setiap serat noken. Dengan tenang, mereka menunjukkan kepada dunia bahwa iman yang hidup bukanlah yang terputus dari akarnya, melainkan yang tumbuh dari tanah.
Baca juga: FamilyMart Indonesia Luncurkan Program “Satu Kopi, Satu Aksi”
Tinggalkan Balasan