Saat Marah: Menulis untuk Mengingat, Bukan Membenci

marah menulis

dari Marah ke Menulis

Malang, 29 Mei 2025 – Setiap orang pasti pernah marah. Marah kepada orang, kepada keadaan, perkataan, bahkan pada diri sendiri. Marah adalah pengalaman emosional yang wajar dan manusiawi untuk terjadi. Tapi, bagaimana jika kemarahan itu kita abadikan dalam tulisan sebagai catatan? Apakah tulisan itu akan menjadi bukti kebencian, atau pengingat yang menyelamatkan?

Menulis Untuk Mengurangi Rasa Marah

Marah bukan hal yang selalunya tentang buruk. Marah menandakan ada sesuatu yang tidak berjalan baik mungkin karena merasa tidak dihargai, dilukai, dikhianati, atau sekadar lelah yang menumpuk. Tulisan yang lahir dari amarah yang belum kita pahami sering kali hanya menjadi pelampiasan, bukan sarana perenungan.

Tapi, bukan berarti kita tidak boleh menulis saat marah. Sebaliknya, kita bisa menjadikan menulis sebagai jalan keluar paling aman untuk mengurai rasa yang membara dan menghadapi kemarahan. Dengan menulis, kita menciptakan ruang pribadi untuk jujur dan menyuarakan hal-hal yang tak mampu kita ucapkan secara langsung.

Tulisan yang Mengingatkan, Bukan Menyudutkan

Menulis untuk mengingat berarti menjadikan tulisan sebagai cermin. Kita menulis bukan untuk menyalahkan, tapi untuk merefleksikan. Saat kita menulis dengan jernih meskipun sedang marah, kita bisa menciptakan pengingat yang kuat tentang batas-batas yang pernah orang lain langgar, keputusan yang kita ambil saat emosi memuncak, dan orang-orang yang sempat kita salah pahami.

Misalnya, menulis tentang pertengkaran dengan sahabat lama bukan untuk membuka luka lama, melainkan untuk mengingat bagaimana hubungan itu pernah berarti. Kita bisa menuliskan bagaimana situasi berkembang, apa yang kita rasakan, dan apa yang akhirnya memisahkan. Dengan begitu, kita tidak sedang menanam kebencian, tapi belajar dari pengalaman.

Menulis adalah Proses Memahami

Banyak orang mengira bahwa menulis adalah hasil akhir, padahal sejatinya menulis adalah proses. Saat kita menulis tentang kemarahan, kita sedang membuka ruang bicara dengan diri sendiri. Kita belajar menyusun ulang emosi, mengurai sebab-akibat, dan menempatkan diri kita sebagai pengamat, bukan hanya pelaku.

Menulis saat marah memang bisa menghasilkan tulisan yang tajam, penuh emosi, dan jujur. Tapi setelahnya, saat emosi mereda, kita bisa membaca kembali tulisan itu dan melihatnya dengan perspektif baru. Terkadang kita sadar bahwa kita pun salah atau kita jadi lebih mengerti mengapa orang lain bersikap seperti itu.

Proses ini yang membuat tulisan berubah fungsi, dari pelampiasan menjadi pemahaman, dari kemarahan menjadi pengingat, dari emosi menjadi pelajaran. Banyak orang menulis saat marah lalu langsung mempublikasikannya di media sosial.

Saat marah, kita sebaiknya menulis untuk diri sendiri terlebih dahulu. Kita bisa menyimpan tulisan itu di buku catatan pribadi, catatan digital, atau aplikasi yang tidak bisa langsung diakses publik. Setelah itu, kita bisa memberi waktu pada diri sendiri untuk membaca ulang tulisan itu dengan sudut pandang yang lebih bijak.

Karena Kita Pernah Marah, Maka Kita Pernah Merasa

Marah adalah bukti bahwa kita pernah peduli. Kita tidak akan marah jika kita tidak merasa punya keterikatan. Dan karena itu, menulis saat marah bukanlah bukti kebencian, melainkan bukti bahwa kita masih terhubung dengan perasaan kita sendiri.

Kita bisa mewariskan kejujuran melalui tulisan yang lahir dari emosi, asalkan kita menulisnya dengan tanggung jawab. Marah bisa menjadi catatan tentang siapa kita dulu, bagaimana kita bereaksi, dan bagaimana kita tumbuh.

Mengingat bahwa kita pernah terluka, pernah salah, pernah kecewa. Tapi kita juga pernah belajar, pernah mencoba memahami, dan pernah memilih untuk tidak membenci. Karena itu, mari terus menulis.

Baca juga : Sherly Tjoanda: Dari Ibu Tiga Anak ke Gubernur Maluku Utara

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *