MANUNGSA— Dunia yang berputar cepat dan penuh tuntutan kerap menganggap berhenti sejenak untuk merawat diri sebagai kelemahan, bahkan kemewahan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi “produkivitas” sebagai simbol nilai diri, self-care adalah tindakan yang egois. Padahal, self-care berarti memberi kita kesempatan untuk menjadi manusia sepenuhnya, bukan hanya orang yang terus bekerja.
Self-Care Bukan Bentuk Egoisme
Banyak yang masih menganggap bahwa perawatan diri (self-care) ada;ah tindakan egois, hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Namun, budaya produktivitas eksploitatif lah yang melahirkan asumsi ini—sebuah sistem yang hanya menganggap waktu, tenaga, dan tubuh manusia hanya bernilai ketika “berguna”.
Audre Lorde, aktivis feminis kulit hitam, menantang konsep ini dengan menulis, “Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare” (Sister Outsider, 1988). Dengan kata lain, merawat diri adalah bentuk pertahanan terhadap sistem yang sering kali meniadakan nilai manusia di luar peran produktifnya.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh American Psychological Association (APA) bahkan menunjukkan bahwa tekanan untuk terus produktif dapat meningkatkan risiko burnout, depresi, dan isolasi sosial (APA, 2019). Oleh karena itu, memilih untuk beristirahat atau menetapkan batas waktu kerja tidak hanya penting secara pribadi, tetapi juga bentuk protes terhadap sistem kerja yang toxic.
Budaya Toxic Productivity dan Ilusi Nilai Diri

Dunia kerja modern, khususnya di lingkungan urban dan digital, mengangkat kesibukan sebagai simbol prestise dan kompetensi. Semakin sibuk seseorang, semakin pula tinggi anggapan bahwa ia berharga. Namun, Dr. Devon Price psikolog sosial, meneyebut ini sebagai “produk dari kapitalisme yang mengondisikan kita untuk merasa bersalah jika tidak terus bekerja” (Price, 2021)
Laporan Deloitte 2022 mengungkapkan bahwa milenial dan Gen Z kini menghadapi tingkat stres yang tinggi akibat tekanan untuk terus produktif, bahkan di luar jam kerja. Dalam hal ini, self-care bukan hanya pelepasaan sesaat, melainkan langkah menyelamatkan kesehatan mental jangka panjang.
Aksi Self-Care yang Bisa Dilakukan
Kita bisa memulai praktik self-care dari hal-hal sederhana sehari-hari. Seperti menolak pekerjaan tambahan saat tubuh lelah, mengambil waktu tanpa gadget, hingga tidur yang cukup. Walau tampak sederhana, tindakan-tindakan ini menyampaikan pesan bahwa manusia bukan mesin.

Lebih jauh, ketika individu dalam satu komunitas saling mendukung praktik perawatan diri, dampaknya menjadi kolektif. Freelancer mengadvokasi kebijakan kerja fleksibel, sementara berbagai perusahaan mengampanyekan cuti haid dan kesehatan mental—keduanya merupakan contoh nyata bagaimana self-care menginspirasi perubahan struktural.
Menyadari Hak Untuk Beristirahat
Di tengah arus hustle culture yang membius, memilih untuk berhenti dan merawat diri bisa terasa seperti langkah mundur. Tetapi justru dalam diam dan istirahat itu, seseorang bisa memulihkan kesadarannya—bahwa hidup bukan tentang menjadi alat produksi tanpa henti.
Merawat diri adalah pengingat bahwa kita manusia. Dan dalam dunia yang memuliakan kesibukan, menjaga kewarasan adalah tindakan paling berani.
Baca juga: Introvert atau Ekstrovert? Ternyata Kamu Bisa Jadi Keduanya
Referensi:
- Audre Lorde. 1988. Sister Outsider: Essays and Speeches. Crossing Press.
- American Psychological Association. 2019. Stress in America Report.
- Dr. Devon Price. 2021. Laziness Does Not Exist. Simon & Schuster.
- Deloitte. 2022. Deloitte’s Gen Z and Millennial Survey reveals two generations striving for balance and advocating for change.
Tinggalkan Balasan